tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mendukung pemerintah dalam upaya merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Agus beralasan, revisi UU Tipikor bisa menjadi jalan mudah dalam pemberantasan korupsi secara optimal di sektor swasta.
“Saya lebih prefer sebetulnya di undang-undang Tipikornya yang diubah supaya cepat. Kebetulan di KPK sekarang ada draf revisinya,” kata Agus di Pancoran, Jakarta Selatan, pada Senin (11/12/2017).
Agus mengaku, dirinya memang sudah meminta sejumlah bawahannya untuk membuat revisi undang-undang tindak pidana korupsi. Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) ini mengatakan unsur-unsur tersebut sudah dimasukkan. Kini, ia menunggu respons pemerintah apakah ingin membahasnya atau tidak.
Pendapat Agus tersebut berbeda dengan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif. Menurut Laode, pemerintah tidak perlu merevisi UU Tipikor. “Tidak harus otomatis kita merevisi Undang-undang Tipikor itu sendiri, tapi karena sekarang ada RUU KUHP sedang berjalan, itu bisa kita masukkan norma-norma baru di dalam RUU KUHP,” kata Laode di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/12/2017).
Laode menilai, pemerintah sebaiknya cukup memasukkan unsur-unsur United Nation Convention of Anti Corruption (UNCAC) dalam RUU KUHP sehingga pemberantasan korupsi lebih optimal. Menurut Laode, hal tersebut lebih mudah daripada merevisi UU Tipikor.
Dalam konteks ini, Indonesia sudah meratifikasi UNCAC lewat UU Nomor 7 tahun 2016. Ratifikasi tersebut mestinya turut memperluas kewenangan pemberantasan korupsi dari pejabat negara hingga ke kalangan swasta. Salah satu contohnya adalah ketika pengusaha memberikan sesuatu kepada pihak bank untuk mendapatkan kredit usaha.
“RKUHP ada bab khusus terkait tindak pidana pertama terkait tindak pidana korupsi, narkotika, pelanggaran ham, dan terorisme. Salah satu adalah tindak pidana korupsi yang diadopsi 5 hal yang tidak dimuat di undang-undang tindak pidana korupsi kita,” kata Dhahana.
Saat ini, Dhanana mengklaim, masih ada kendala untuk sejumlah undang-undang. Ia mencontohkan UU ekstradisi dan perampasan aset yang masih mandeg pembahasannya. Dhahana menilai, kendala yang dihadapi dalam pengesahan UU baru adalah harus melewati mekanisme di DPR.
“Memang harus ada komunikasi politik intens ya antara pemerintah dengan DPR,” kata Dhahana.
Namun demikian, Dhahana menuturkan, pihaknya tidak menutup kemungkinan merevisi kembali UU Tipikor untuk memperkuat pemberantasan korupsi di sektor swasta. “Nanti ke depan di Tipikor ingin diubah enggak ada masalah," kata Dhahana.
Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reformasi (ICJR) Supriyadi Widodo menilai, saat ini pemerintah memang sudah mengakomodir prinsip-prinsip UNCAC dalam RUU KUHP, seperti perampasan aset, beneficial of ownership, hingga korupsi di sektor swasta. Mahkamah Agung (MA) bahkan telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
Akan tetapi, kata Supriyadi, permasalahan yang perlu digarisbawahi adalah definisi korupsi dalam RUU KUHP. “Kita belum clear soal RKUHP korupsi. Karena dengan memasukkan tindak pidana korupsi dalam RKUHP, kita belum cek apakah memang lebih kuat di KUHP apa kagak,” kata Supriyadi saat dihubungi Tirto, Senin (11/12/2017).
Supriyadi khawatir RUU KUHP justru bukan memperkuat pemberantasan korupsi, karena prinsip maupun pasal dalam RUU KUHP bisa saja tidak pro terhadap pemberantasan korupsi itu sendiri. Apalagi, kata dia, pembahasan tindak pidana khusus dalam pembahasan RUU KUHP tidak dibahas secara lebih lanjut.
Selain itu, kata Supriyadi, kekhawatiran lain adalah RUU KUHP nantinya berbenturan dengan UU Tipikor. Supriyadi menuturkan, tidak masalah jika RUU KUHP memiliki semangat yang sama dengan UU Tipikor. Akan tetapi, situasi akan berbeda apabila yang terjadi justru sebaliknya.
Ia khawatir akan ada konflik, misalnya apakah penegak hukum harus menggunakan UU Tipikor atau RUU KUHP dalam menangani kasus korupsi. “Posisinya di mana? Dalam konteks ini, tanya KPK karena KPK yang akan menggunakan sebagian besar nanti,” kata Supriyadi.
“Kalau menurut kami [dari] ICJR, kami belum sepakat mengkodifikasi yang memasukkan tindak pidana khusus di RKUHP tanpa pengkajian yang mendalam,” kata Supriyadi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz