Menuju konten utama

Ketua KPK Nilai UU Tipikor Tergolong Kuno karena Tak Sentuh Swasta

Kewenangan pemberantasan korupsi seharusnya diluaskan ke kalangan swasta.

Ketua KPK Nilai UU Tipikor Tergolong Kuno karena Tak Sentuh Swasta
Presiden Joko Widodo menerima "user name" dan "password" e-LHKPN dari Ketua KPK Agus Rahardjo di sela-sela Pembukaan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-12, serta Peluncuran Aplikasi e-LHKPN, di Jakarta, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menilai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) perlu direvisi. Hal ini karena menurutnya undang-undang tersebut hanya berfokus pada penanganan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara.

“Undang-Undang Tipikor kita dalam tanda kutip masih tergolong kuno. Karena kita hanya menyentuh keuangan negara,” kata Agus di Jakarta, Senin (11/12).

Indonesia sudah meratifikasi United Nation Convention of Anticorrupion (UNCAC) lewat UU nomor 7 tahun 2016. Agus mengatakan ratifikasi tersebut mestinya turut memperluas kewenangan pemberantasan korupsi dari pejabat negara hingga ke kalangan swasta. Salah satu contohnya adalah ketika pengusaha memberikan sesuatu kepada pihak bank untuk mendapatkan kredit usaha.

“Kita harus melebarkan, meluaskan, bahwa yang namanya suap menyuap di sektor swasta mestinya tidak diperkenankan,” ujarnya.

Agus juga meminta pemerintah menerapkan proses e-procurement (proses pembelian barang melalui sistem elektronik). Hal ini penting, karena dari Rp2200 triliun APBN, sebanyak Rp900 triliunnya dianggarkan untuk belanja. Sementara tingkat pemantauan belanja hanya sebesar Rp350 triliun.

“Kalau kemudian berkomitmen memasukkan e-procurement sebagai sarana pengadaan, kita akan ada efisiensi yang cukup besar,” kata Agus.

Presiden Jokowi pun merespons pernyataan Agus. Ia mengatakan pemerintah sudah berencana menerbitkan peraturan tentang e-planning (perencanaan berbasis elektronik) di Indonesia. Hal ini agar segala bentuk perencanaan yang terkait dengan keuangan negara bisa terawasi secara digital.

"Kami juga baru menyiapkan Perpres untuk penerapan e-budgeting, e-planning, dan penerapan e-procurement yang terintegrasi. Ini diharapkan akan semakin memperkecil ruang untuk hadirnya korupsi secara sistematis," kata Presiden.

Selain itu, Jokowi mengatakan pemerintah juga berencana mendirikan lembaga pemantau pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) secara nasional. Lembaga tersebut akan memantau 531 PTSP di seluruh Indonesia mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten kota. Jokowi menilai, lembaga tersebut penting untuk memastikan kinerja pemerintahan berjalan cepat dan transparan di seluruh daerah. Ia mengatakan sejumlah daerah berhasil melaksanakan PTSP setelah dibuat aturan yang memaksa.

"Kita ini bisa, kalau dipaksa diinjak sedikit nyatanya bisa," kata Jokowi.

Ribuan peraturan yang tidak jelas di Indonesia, menurut Jokowi, juga turut menjadi faktor tumbuhnya korupsi dan penghalang produktivitas bangsa. Ia mengatakan akan memberi hadiah bagi siapa saja yang bisa memangkas berbagai peraturan undang-undang tak produktif.

"42.000 peraturan yang harus kita pangkas. Nanti mau saya buat lomba siapa yang bisa mangkas peraturan-peraturan saya beri hadiah. Menjengkelkan," kata Jokowi.

Tidak Perlu Revisi

Peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia Reza Syawawi mempertanyakan alasan Ketua KPK ingin UU Tipikor direvisi. Menurutnya, saat ini UU Tipikor sudah memuat aturan soal pemberantasan korupsi yang melibatkan kelompok swasta.

"Sudah ada di UU Tipikor. Definisi 'orang' (dalam undang-undang) adalah individu dan korporasi. Untuk korporasi juga diatur khusus. Jadi tidak perlu revisi-revisi," ujarnya.

Mengacu pada hal tersebut Reza menilai aparat penegak hukum bisa saja menjerat perilaku korupsi yang dilakukan antar korporasi.

"Kan subjeknya dua saja, individu atau korporasi, yang disuap atau menyuap. Individu menyuap individu, individu menyuap korporasi atau sebaliknya. Atau korporasi menyuap korporasi. Semuanya pelaku. Tinggal dilihat konteks kasusnya," kata Reza.

Reza mengatakan UU Tipikor tidak saja menjadi acuan bagi KPK, tapi juga para penegak hukum lain dalam memberantas korupsi. Sehingga ia menilai baik polisi maupun kejaksaan juga bisa menjerat kalangan swasta yang terlibat korupsi.

"Kalau soal korporasi ya di UU 31 1999 itu. Polisi juga bisa jerat korporasi, jaksa juga," katanya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Jay Akbar & Maulida Sri Handayani