Menuju konten utama

Pidato di Yogya, Grace Natalie Keluhkan Intoleransi Dianggap Normal

Ketua PSI Grace Natalie menilai saat ini sedang terjadi fenomena "normalisasi intoleransi" karena banyak politikus dan pejabat tidak bersikap tegas menentang tindakan kelompok intoleran. 

Pidato di Yogya, Grace Natalie Keluhkan Intoleransi Dianggap Normal
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyampaikan pidato politik saat hadir pada acara #Festival11 di Yogyakarta, Senin (11/2/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengeluh saat ini intoleransi telah dianggap sebagai sesuatu yang normal. Tidak heran, kata dia, kasus-kasus intoleransi banyak muncul.

Selama ini, kata Grace, telah terjadi pembiaran terhadap tindakan intoleran kelompok tertentu kepada mereka yang berbeda keyakinan, seperti penutupan paksa rumah ibadah dan ceramah agama bermuatan kebencian.

"Lama-lama menjadi sesuatu yang kita anggap biasa. Ini lah fenomena berbahaya yang disebut aktivis peneliti perempuan Sandra Hamid sebagai 'normalisasi intoleransi'," kata Grace saat menyampaikan pidato politiknya, Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta pada Senin (11/2/2019).

Gejala normalisasi intoleransi ini, menurut Grace, dipicu oleh kampanye kultural yang mengajak orang hanya berpikir secara biner: "hitam - putih, kaum kita - musuh kita."

"Dan menghadapi gelombang yang semakin besar itu, kaum nasionalis-moderat di partai politik, lebih memilih cara aman, agar lolos dari stigma antiumat, demi kepentingan elektoral semata," kata dia.

Selama ini, ia melihat tidak ada protes dari partai politik tentang praktik-praktik intoleransi. Grace pun mempertanyakan sikap partai-partai saat ada perayaan keagamaan diserang, tempat ibadah ditutup paksa, dan kriminalisasi disertai perseskusi seperti yang dialami Meliana di Tanjung Balai.

Oleh karena itu, Grace berjanji PSI akan lantang menetang kasus intoleransi untuk menjamin hak dasar warga negara.

Grace menambahkan laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2017 mencatat salah satu persoalan hak asasi paling menonjol selama lima tahun terakhir adalah tindakan melarang, merusak, atau menghalangi pendirian rumah ibadah.

Peraturan Bersama Menteri mengenai Pendirian Rumah Ibadah, kata dia, menurut Komnas HAM pada praktiknya membatasi prinsip kebebasan beragama. Grace menilai aturan telah dipakai untuk membatasi bahkan mencabut hak konstitusional warga dalam hal kebebasan beribadah.

Bahkan, ia mencatat berdasarkan data dari SETARA Institute, selama 11 tahun terakhir terjadi 378 gangguan terhadap rumah ibadah di seluruh Indonesia.

"Situasi semakin memburuk karena pejabat, birokrat, dan politisi daerah, memanfaatkan menguatnya sentimen SARA dengan cara 'meng-entertain' sikap intoleran masyarakat, dengan cara mengeluarkan kebijakan yang dianggap bisa menyenangkan umat tertentu," kata dia.

Grace menuding para pejabat dan politikus itu mencari aman ketika berhadapan dengan kelompok intoleran.

"Di tingkat nasional, PSI akan mendorong deregulasi aturan mengenai pendirian rumah ibadah. PSI akan mendorong penghapusan Peraturan Bersama Menteri Mengenai Pendirian Rumah Ibadah," ujar dia.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Addi M Idhom