tirto.id - Peta Suriah dan kondisi terkininya banyak dicari usai negara tersebut dikuasai oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) sejak Minggu (8/12/2024) waktu setempat.
Pemimpin kelompok bersenjata HTS, Abu Mohammed al-Julani, mengumumkan bahwa pihaknya telah menggulingkan rezim Bashar Al-Assad. Ia menegaskan bahwa rakyat Suriah adalah pemilik sah negara tersebut dan sejarah baru sedang ditulis.
“Rezim [al-Assad] telah memenjarakan ribuan warga sipilnya secara tidak adil dan tanpa mereka melakukan kejahatan,” kata al-Julani kepada kerumunan orang yang berkumpul di Masjid Umayyah, dikutip Al Jazeera.
“Kami [rakyat Suriah] adalah pemilik sah [negara ini]. Kita telah berjuang, dan hari ini kita telah dihargai dengan kemenangan ini.”
“Berapa banyak orang yang mengungsi di seluruh dunia? Berapa banyak orang yang tinggal di tenda-tenda? Berapa banyak yang tenggelam di lautan?” tanya al-Julani, yang kini menggunakan nama aslinya, Ahmed al-Sharaa.
“Sejarah baru, saudara-saudaraku, sedang ditulis di seluruh wilayah setelah kemenangan besar ini,” katanya sebelum mengingatkan kerumunan orang bahwa dibutuhkan kerja keras untuk membangun Suriah baru yang akan menjadi ‘mercusuar bagi bangsa Islam’.
Pemimpin tersebut menyerukan doa untuk mengucap syukur atas kemenangan tersebut. “Allah tidak akan mengecewakan kalian,” kata al-Julani. “Kemenangan ini adalah untuk semua warga Suriah; mereka semua adalah bagian dari kemenangan ini.”
Sementara itu, dikutip dari laporan New York Times, Presiden Suriah, Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia. Kabar tersebut merujuk laporan media pemerintah Rusia dan dua pejabat Iran. Namun, belum ada konfirmasi resmi mengenai kebenarannya.
Di lain pihak, Perdana Menteri, Mohammad Ghazi al-Jalali, tetap tinggal dan mengatakan bahwa ia siap untuk bekerja sama dengan HTS.
Pemerintah al-Assad berhasil menahan pasukan oposisi selama lebih dari satu dekade dengan dukungan militer Iran dan Rusia. Namun pemerintahan tersebut runtuh dengan kecepatan yang mencengangkan selama seminggu terakhir, berpuncak dengan oposisi yang menguasai Damaskus pada hari Minggu pagi.
Bashar al-Assad merupakan tokoh sentral dalam perang saudara yang berlarut-larut dan menghancurkan yang dimulai pada tahun 2011. Keluarganya yang merupakan Alawit, sebuah sekte minoritas yang merupakan cabang dari Islam Syiah telah memimpin Suriah sejak kudeta tahun 1970.
Bashar al-Assad awalnya menggambarkan dirinya sebagai seorang reformis modern, tetapi ia menanggapi protes damai selama Musim Semi Arab dengan tindakan keras dan brutal, yang memicu pemberontakan nasional.
Dinasti keluarganya mengebom dan menahan ribuan penentangnya, membangun badan-badan keamanan internal yang menakutkan untuk meredam kerusuhan. Ketika HTS maju akhir pekan ini, pasukan oposisi bersenjata tersebut mengambil alih banyak penjara terkenal di mana rezim Assad telah memenjarakan, menyiksa, dan mengeksekusi tahanan politik selama beberapa dekade.
Kondisi TerkiniSuriah
Jurnalis CNN, Clarissa Ward, melaporkan dari ibukota Suriah, Damaskus, bahwa pada Senin dini hari, terdengar beberapa bunyi serangan. Tidak jelas siapa yang melakukan serangan tersebut.
Reuters melaporkan bahwa Israel telah melakukan tiga serangan udara di ibukota Suriah pada hari Minggu. Namun, belum ada konfirmasi mengenai serangan tersebut, militer Israel menolak berkomentar.
Sementara itu, Al Jazeera mewartakan, Amerika Serikat (AS) menyebut bahwa pihaknya telah melakukan puluhan serangan udara terhadap target-target ISIL (ISIS) di Suriah setelah runtuhnya rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Komando Pusat AS (CENTCOM) mengatakan pada hari Minggu bahwa mereka telah menyerang lebih dari 75 target, termasuk para pemimpin ISIL (ISIS), para operator dan kamp-kamp mereka, untuk memastikan bahwa kelompok bersenjata tersebut tidak mengambil keuntungan dari berakhirnya kekuasaan al-Assad.
CENTCOM mengatakan bahwa mereka sedang melakukan penilaian kerusakan setelah serangan tersebut, yang melibatkan pesawat tempur termasuk Boeing B-52 Stratofortress dan McDonnell Douglas F-15 Eagle, tetapi tidak ada indikasi adanya korban sipil.
“Tidak perlu diragukan lagi, kami tidak akan membiarkan ISIS untuk membentuk kembali dan mengambil keuntungan dari situasi saat ini di Suriah,” kata Komandan CENTCOM, Jenderal Michael Erik Kurilla, dalam sebuah pernyataan.
“Semua organisasi di Suriah harus tahu bahwa kami akan meminta pertanggungjawaban mereka jika mereka bermitra atau mendukung ISIS dengan cara apa pun.”
Serangan-serangan tersebut terjadi ketika Presiden AS Joe Biden menggambarkan kejatuhan al-Assad sebagai “momen yang penuh risiko” dan “kesempatan bersejarah”.
Dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi dari Gedung Putih, Biden mengatakan bahwa kejatuhan al-Assad di tangan oposisi HTS merupakan kesempatan bagi rakyat Suriah yang telah lama menderita untuk “membangun masa depan yang lebih baik bagi negara kebanggaan mereka”.
“Ini juga merupakan momen yang penuh risiko dan ketidakpastian. Ketika kita semua beralih ke pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, Amerika Serikat akan bekerja sama dengan mitra-mitra kami dan para pemangku kepentingan di Suriah untuk membantu mereka mengambil kesempatan untuk mengelola risiko,” kata Biden.
Berusaha untuk mengklaim sebagian kredit atas kejatuhan al-Assad, Biden mengatakan bahwa kejatuhannya dimungkinkan oleh penurunan dukungan untuk pemerintahnya dari Rusia, Iran, dan Hizbullah.
“Selama bertahun-tahun, pendukung utama Assad adalah Iran, Hizbullah dan Rusia. Namun selama seminggu terakhir, dukungan mereka runtuh, karena ketiganya jauh lebih lemah saat ini dibandingkan saat saya menjabat,” kata Biden.
Berakhirnya 53 tahun kekuasaan keluarga al-Assad secara tiba-tiba telah menimbulkan ketidakpastian atas situasi keamanan di Timur Tengah, termasuk kehadiran sekitar 900 tentara AS di Suriah.
Di lain pihak, Presiden AS terpilih Donald Trump, pada hari Sabtu membuat pernyataan yang mengindikasikan bahwa pemerintahannya tidak akan terlibat dalam konflik di negara tersebut.
“Suriah memang berantakan, tetapi bukan teman kita,” tulis Trump di Truth Social, sebelum beralih ke huruf besar untuk penekanan. “Amerika Serikat seharusnya tidak ada hubungannya dengan itu. Ini bukan pertarungan kita. Biarkan itu berjalan. Jangan terlibat!”
Peta Negara Suriah
Suriah adalah sebuah negara yang terletak di pantai timur Laut Mediterania di barat daya Asia. Secara geografis, Suriah terletak di antara garis lintang 32° dan 38° LU, dan garis bujur 35° dan 43° BT.
Total luas wilayah Suriah sekitar 185.180 kilometer persegi. Pada tahun 2024, negara ini diperkirakan memiliki penduduk sebanyak 25 juta jiwa.
Suriah memiliki garis pantai yang relatif pendek, yang membentang sekitar 110 mil (180 km) di sepanjang Laut Mediterania antara negara Turki dan Lebanon.
Suriah berbatasan dengan Turki di sebelah utara, Irak di sebelah timur dan tenggara, Yordania di sebelah selatan, dan Lebanon dan Israel di sebelah barat daya.
Ibu kota Suriah adalah Damaskus (Dimashq), di Sungai Barada, yang terletak di sebuah oasis di kaki Gunung Qasioun (Qāsiyūn).
Iklim negara ini bervariasi dari pantai Mediterania yang lembab, melalui zona padang rumput semi-kering, hingga gurun gersang di bagian timur.
Suraih sebagian besar terdiri dari dataran tinggi yang gersang, meskipun bagian barat laut yang berbatasan dengan Mediterania cukup hijau. Al-Jazira di timur laut dan Hawran di selatan merupakan daerah pertanian yang penting.
Sungai Eufrat, sungai terpenting di Suriah, melintasi negara ini di bagian timur. Suriah merupakan salah satu dari lima belas negara yang disebut sebagai “tempat lahirnya peradaban.” Tanahnya membentang di “barat laut lempeng Arab.”
Gas alam ditemukan di ladang Jbessa pada tahun 1940. Minyak bumi dalam jumlah komersial pertama kali ditemukan di timur laut pada tahun 1956. Ladang minyak yang paling penting adalah ladang minyak al-Suwaydiyah, Karatchok, Rmelan di dekat al-Hasakah, serta ladang minyak al-Omar dan al-Taym di dekat Dayr az-Zawr.
Ladang-ladang tersebut merupakan perpanjangan alami dari ladang minyak Irak di Mosul dan Kirkuk. Minyak bumi menjadi sumber daya alam utama dan ekspor utama Suriah setelah 1974.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra