tirto.id - Dewasa ini, istilah "Pesta Demokrasi" lekat dengan segala jenis pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, mulai dari pemilihan presiden, kepala daerah, hingga anggota legislatif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan istilah "Pesta Demokrasi" dalam materi promosi Pemilu Serentak 2019. Politisi dari beragam kelompok juga kerap mempertukarkan dua istilah tersebut. Presiden Joko Widodo menyatakan memakai "pesta demokrasi" guna merujuk Pemilu Serentak 2019.
"Rakyat menyambut pesta demokrasi itu dengan kegembiraan, dengan antusiasme yang tinggi, serta kedewasaan politik yang semakin matang," ujar Jokowi dalam pidato kenegaraannya, Kamis (16/8/2018).
Pelbagai media, termasuk Tirto, kerap menggunakan "Pesta Demokrasi" sebagai kata ganti Pemilu. Para media juga menggunakan istilah tersebut dalam materi promosi liputan Pemilu, seperti yang dilakukan Metro TV atau Net TV. Bahkan, BBC Indonesia menggunakan istilah itu dalam nama program khusus berita Pemilu tahun depan.
Di Indonesia, bicara pesta demokrasi berarti bicara Pemilu sehingga demokrasi, baik di tingkat individu warga negara maupun lembaga negara, seolah hanya dilaksanakan melalui Pemilu.
Lantas, bagaimana bisa Pemilu di Indonesia bisa dipertukarkan dengan istilah "pesta demokrasi"?
Soeharto dan Pemilu 1982
Pemilu di Indonesia yang pertama kali dijuluki "pesta demokrasi" ialah Pemilu 1982. Yang memberi julukan itu, tidak lain, adalah Soeharto, presiden daripada Indonesia.
Soeharto menyematkan julukan itu saat berpidato di Pembukaan Rapat Gubernur/Bupati/Walikota se-Indonesia di Jakarta, Senin, 23 Februari 1981.
"Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam," kata Soeharto.
Isi pidato itu juga mencerminkan pandangan Soeharto mengenai Pemilu—pandangan yang kemudian memengaruhi jalannya Pemilu di Indonesia. Menurutnya, Pemilu dilaksanakan untuk memperkokoh persatuan nasional, mendewasakan kehidupan demokrasi, dan menggelorakan semangat pembangunan. Sebaliknya, Pemilu bukan untuk mencerai-beraikan persatuan nasional, melemahkan kehidupan demokrasi, dan menghambat persatuan nasional.
Pemilu 1982 merupakan Pemilu ketiga di era Orde Baru. Setelah Soeharto menjabat presiden pada 1967, pemerintahannya menyelenggarakan Pemilu pertama kali pada 1971. Di Pemilu 1971, Golongan Karya, kekuatan baru dalam politik di Indonesia, menang telak dengan perolehan suara mencapai 62,8 persen. Golkar juga memenangkan Pemilu berikutnya, Pemilu 1977, dengan perolehan suara sebesar 62,11 persen.
Kemenangan Golkar tidak lepas dari intervensi Soeharto yang menguasai kendali pemerintahan saat itu. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 (Permen 12) melarang anggota Golongan Karya yang menjabat di DPRD menjadi anggota partai politik lainnya. Sedangkan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 melarang semua pegawai negeri termasuk anggota ABRI terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai politik. Orde Baru juga menyingkirkan tokoh-tokoh radikal di setiap partai.
Sementara itu, sebelum Pemilu 1977, jumlah partai politik dipangkas melalui kebijakan fusi partai yang digelorakan pada 1973. Partai yang beraliran Islam digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan yang nasionalis atau non-Islam digabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Studi Gordon R. Hein mengenai Pemilu 1982 yang dipublikasikan dalam makalah "Indonesia in 1981: Countdown to The General Election" (1982) menyebutkan pemerintah mewajibkan pegawai negeri dan keluarganya untuk memilih Golkar di Pemilu. Dengan begitu, Golkar memiliki jaringan komunikasi dan mobilisasi elektoral hingga tingkat daerah. Sementara itu, PPP dan PDI dicegah kampanye di tingkat daerah kecuali di 45 hari masa kampanye.
"Alasan pemerintah membatasi kegiatan partai di tingkat daerah ialah agitasi politik terus-menerus di kalangan rakyat tidak kondusif bagi stabilitas dan pembangunan daerah. Penduduk desa Indonesia mesti tetap menjadi massa mengambang yang dihindarkan dari konflik politik partisan kecuali di periode singkat dalam Pemilu yang dibikin 5 tahun sekali," sebut Hein.
Di satu sisi, sebelum Soeharto menyampaikan pidato "Pesta Demokrasi", pelbagai kalangan sudah melancarkan kritik kepadanya. Para mahasiswa, atas dukungan sejumlah jenderal Angkatan Darat, melancarkan demonstrasi besar pada 1974. Demonstrasi besar pertama di era Orde Baru itu, kemudian, disebut Malapetaka 15 Januari 1974.
Lalu, pada 5 Mei 1980, 50 orang yang tergolong tokoh-tokoh nasional menandatangani petisi yang menggugat Soeharto karena ingin menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh organisasi, termasuk partai politik, di Indonesia. Seruan yang disebut Petisi 50 itu lalu disampaikan ke DPR pada 13 Mei 1980.
Penggerak Malari 1974 ditangkap dan dipenjara. Para jenderal yang ditengarai terlibat dimutasi. Sedangkan para tokoh Petisi 50 dilarang ke luar negeri, dipersulit bisnis dan pekerjaannya, dan tidak boleh datang ke acara yang dihadiri Soeharto.
Melalui pidato "Pesta Demokrasi" itu pula, The Smiling General menegaskan kembali pandangannya soal kritik.
Kritik tidak dimatikan. Begitu kata Soeharto. Namun, kritik mesti disampaikan secara sopan, tidak melunturkan rasa kekeluargaan yang menjadi adat budaya bangsa, dan tidak menggoyahkan stabilitas politik yang menurutnya "sudah terbina secara baik".
"Dan kita percaya, jika kita dapat melaksanakan Pemilihan Umum yang demikian, maka demokrasi kita akan terus tumbuhkan bertambah subur dan makin kokoh," ujar Soeharto.
Buat Apa Pemilu?
John Pamberton menuliskan dalam "Notes on the 1982 General Election in Solo" (1986) bahwa mungkin karena Pemilu dianggap upacara rutin (yang pemenangnya sudah ketahuan sejak awal), pemerintah merasa perlu menjuluki Pemilu 1982 sebagai "Pesta Demokrasi".
Kata "Pesta Demokrasi" kerap diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi "Festival of Democracy". Namun, kata "festival" yang menggambarkan perayaan, menurut Pamberton, sebetulnya kurang tepat menggantikan kata "pesta".
Pamberton menyatakan istilah "pesta" merujuk pada jamuan resmi terkait upacara umum atau ritual domestik. Jadi, Pemilu 1982 lebih tepat dibayangkan sebagai jamuan upacara pernikahan, khususnya yang berlangsung dalam adat Jawa. Dalam acara itu, para tamu duduk di kursi yang telah disediakan dan menyaksikan rangkaian acara yang sudah bisa ditebak.
Kecenderungan Pemilu berjalan seperti ritual telah tampak sejak Pemilu sebelumnya. Dalam penelitiannya mengenai Pemilu 1977, "The Indonesian Election: A National Ritual" (1980), antropolog N.G. Schulte Nordholt menuliskan periode kampanye dinilai sebagai masa penuh tensi dan kacau-balau.
Setelah ini, ada masa tenang sebelum hari pemilihan. Pada masa tenang, aktivitas politik dilarang. Masa tenang ini menata atmosfer damai jelang hari pemilihan. Sedangkan hari pemilihan ialah hari pemulihan keutuhan masyarakat dan alam yang kacau.
Kompas edisi 25 Februari 1981 memuat tanggapan Ketua Fraksi PPP Nuddin Lubis mengenai pidato "Pesta Demokrasi" Soeharto. Baginya, pidato itu "tidak luar biasa dan tidak membuat kami-kami ini plong".
Pemilu ialah ritual nasional yang didesain untuk mereproduksi legitimasi rezim tanpa menantang kekuasaannya. Simpulan itu diajukan Nordholt untuk menggambarkan pemilu di era Orde Baru.
Nordholt juga menyampaikan simpulan dalam bentuk pertanyaan retoris: "Apa guna pemilu jika hasilnya sudah dimanipulasi sejak awal?"
Editor: Maulida Sri Handayani