tirto.id - “Dan apa yang dinamakan Indonesia, Saudara-saudara? Yang dinamakan Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke. Yang dinamakan Indonesia ialah apa yang dulu dikenal sebagai perkataan Hindia-Belanda.”
Demikian pidato Presiden Sukarno di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Irian Barat adalah masalah krusial bagi pemerintahan Sukarno. Tanpa Irian Barat, Indonesia belumlah Indonesia.
Saat Sukarno berpidato, sudah 11 tahun Indonesia menempuh diplomasi untuk merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda. Pada titik itu Sukarno sudah habis kesabaran.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 negosiasi soal posisi Irian Barat adalah yang paling alot. Karenanya, untuk mencegah deadlock, KMB memutuskan bahwa status politik Irian Barat akan dirundingkan lagi dalam jangka waktu setahun setelah tanggal pengakuan kedaulatan. Namun, lewat setahun Belanda selalu mangkir.
“Inilah pembohongan besar-besaran, kecurangan gede-gedean yang dijalankan oleh pihak Belanda,” kata Sukarno dalam pidato yang kemudian diterbitkan dengan judul Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat! itu.
Disebut dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid V (SNI V, 2008, hlm. 436-440), selama 11 tahun itu Indonesia telah mengusahakan penyelesaian bilateral dengan Belanda. Namun, karena Belanda tak mengindahkannya, Indonesia membawa persoalan Irian Barat ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Usaha diplomasi itu selalu berakhir dengan pengabaian dan kebuntuan hingga bikin Sukarno muntab. “Di dalam PBB pun tiada hasil sama sekali. Malahan di dalam PBB itu ada pihak yang berkata: Menyetujui Belanda menguasai Irian Barat,” kata Sukarno.
Pidato itu kemudian ditutup dengan apa yang kini dikenal sebagai Tri Komando Rakyat alias Trikora. Intinya, gagalkan pembentukan “negara boneka Papua” dan kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat. Itu sekaligus penanda dimulainya kampanye militer merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda.
Sukarno Hanya Sempat Merancang
Dari perspektif Sukarno, Irian Barat adalah wilayah terbelakang. Daratannya dipenuhi gunung dan rawa-rawa yang sulit ditembus. Dalam pikirannya, penduduk di sana adalah orang primitif yang masih menggunakan kapak batu, kulit kerang, dan tongkat untuk beraktivitas. Orang Papua hidup nomaden karena tanahnya kurang subur. Keuntungan minyak buminya pun tak seberapa bagi Belanda.
Lalu mengapa Bung Besar begitu ngotot merebutnya dari Belanda?
Dalam pengakuannya yang dicatat Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 346) Sukarno berkata, “Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?”
Terdengar naif, memang, tetapi Sukarno juga sadar akan potensi alam Papua. Laman media sejarahHistoria menyebut bahwa dari laporan tim geologinya Sukarno tahu bahwa Papua tak hanya menyimpan minyak bumi, tetapi juga uranium. Di zaman atom seperti saat kala itu, temuan itu tentu penting.
“Jadi saudara-saudara, sudah nyata sekali pihak Belanda di Irian Barat ialah untuk mengambil kekayaan kita. Dan kita pun mempunyai alasan-alasan ekonomis untuk menuntut kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik,” kata Sukarno.
Irian Barat akhirnya “kembali” masuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia pada Mei 1963. Dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi AS, Belanda setuju menganggarkan 30 juta dolar pertahun untuk pembangunan Irian Barat melalui PBB. Sementara Indonesia berkewajiban menyelenggarakan “penentuan nasib sendiri” bagi rakyat Papua pada Desember 1969.
Segera setelah itu pemerintah Sukarno segera merancang program-program pembangunan Papua. Wakil Menteri Pertama Koordinator Urusan Irian Barat Subandrio di hadapan DPRD Irian Barat pada 22 Juli 1963 menyebut bahwa Pemerintah Pusat akan fokus pada penguatan keamanan, konsolidasi pemerintahan sipil, dan menggerakkan perekonomian lokal di tahun pertama setelah penyerahan Papua.
Sebagai permulaan, Pemerintah Pusat akan berfokus pada pembangunan daerah pedalaman. “Yang menjadi rencana daripada Pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi ialah, bahwa Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan lembah Baliem,” kata Subandrio.
Untuk menggerakkan semua program itu, Pemerintah Pusat memanfaatkan dana dari PBB yang disebut Fund for West Irian (Fundwi). Kompas edisi 7 Agustus 1967 menyebut dana Fundwi itu digunakan Sukarno untuk membiayai proyek-proyek perhubungan udara dan transportasi darat. Namun, kucuran dana Fundwi sempat terhenti sejak Maret 1964, ketika Indonesia keluar dari keanggotaan PBB.
Tak terlalu jelas apakah program-program rancangan pemerintahan Sukarno berjalan atau tidak. Ia keburu dilengserkan Soeharto usai huru-hara 1965. Keran Dana Fundwi baru dibuka kembali ketika Soeharto naik jadi orang nomor satu di Indonesia.
Soeharto Mengeruk Sumber Daya Papua
Soeharto segera dihadapkan pada persoalan ekonomi Indonesia yang merosot. Tak seperti Sukarno yang cenderung anti modal asing, Soeharto lebih pragmatis. Ia memandang modal asing adalah jalan mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia dan peluang terbuka lebar di Papua yang sudah dilirik oleh Freeport.
Segera setelah ia diangkat sebagai ketua presidium Kabinet Ampera, Soeharto mengeluarkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada 10 Januari 1967. Sukarno sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tak efektif lagi sejak terbitnya Supersemar. Lalu sejak 12 Maret 1967 ia naik lagi jadi pejabat presiden usai pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.
Soeharto bergerak cepat. Salah satu kebijakannya yang berdampak panjang secara ekonomi—dan menyangkut pula pada nasib rakyat Papua—adalah pemberian kontrak karya kepada Freeport pada 7 April 1967. Dengan kontrak karya itu Freeport diberi karpet merah untuk mengeruk Erstberg alias Gunung Bijih yang kaya tembaga dalam periode 30 tahun.
Setelah itu Soeharto harus menjamin Papua tetap menjadi bagian Indonesia. Karena itu ia harus mengamankan suara penduduk Papua dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang mesti digelar pada 1969. Opsi Pepera cukup pelik: tetap ikut Indonesia atau merdeka.
Soeharto lalu mengutus Ali Moertopo untuk mengamankan suara rakyat Papua. Sejak 1964 Ali sudah ditunjuk Soeharto sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) untuk Irian Barat. Ketika Soeharto jadi presiden, Ali ikut membantu Ruslan Abdulgani, kala itu duta besar RI untuk PBB, mengawal masalah-masalah Irian Barat.
Untuk menarik hati orang Papua, Ali menggunakan langkah persuasi. Sejumlah besar pasokan barang kebutuhan pokok dan hadiah-hadiah untuk kepala-kepala suku dikirim ke Papua untuk memengaruhi suara mereka. Opsus merebut hati orang Papua dengan iming-iming tembakau merek Van Nelle de Weduwe dan bir, kesukaan mereka sejak Belanda masih bercokol.
“Pada 1969, Pepera dilaksanakan oleh wakil-wakil penduduk Papua—yang kerap menerima bantuan. Ali Moertopo bertugas memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang prointegrasi. Hasilnya sudah diduga. Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan Irian ingin bergabung dengan Indonesia,” tulis majalah Tempo edisi 14-20 Oktober 2013.
Freeport menjadi pembuka investasi asing di Indonesia yang dalam taraf tertentu membantu memulihkan perekonomian Indonesia. Namun, itu bukan tanpa ekses. Orang Papua yang bersinggungan langsung dengan tambang Freeport sering kali justru dirugikan.
Martin Sitompul di laman Historia menyebut suku Amungme yang turun-temurun mendiami daerah yang ditambang terusik. Bagi suku Amungme, Gunung Grasberg yang ditambang Freeport adalah tanah suci. Mereka mengkiaskan puncak Gunung Grasberg sebagai kepala ibu.
“Ketika beroperasi, aktivitas penambangan Freeport telah mengubah bentang alam Gunung Grasberg menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Danau Wanagon sebagai danau suci orang Amungme ikut hancur karena dijadikan pembuangan batuan limbah yang sangat asam dan beracun. Freeport juga mencemari tiga badan sungai utama di wilayah Mimika: Aghawagon, Otomona, dan Ajkwa. Ketiga sungai dijadikan tempat pembuangan limbah sisa produksi yang disebut tailing,” tulis Martin.
Keadaan ini terang saja memicu konflik di antara Freeport dan masyarakat Papua di sekitar tambang. Konflik terbuka, misalnya, tercatat pada 1977. Kala itu suku Amungme dan enam suku lainnya melayangkan protes kepada Freeport. Mereka memotong pipa penyalur bijih tembaga, membakar gudang, dan melepaskan kran tangki persediaan bahan bakar milik Freeport.
“Insiden ini terdengar sampai Jakarta. Soeharto kemudian menerapkan kebijakan keras lewat pendekatan keamanan. ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pun diturunkan,” tulis Martin Sitompul.
Sebagian besar warga Amungme ditangkap, sementara lainnya melarikan diri ke hutan di sekitar Lembah Tsinga. Rezim Soeharto lalu melabeli mereka sebagai pengacau yang dikaitkan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Setahun kemudian Irian Jaya ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Status itu bertahan hingga Soeharto lengser. Selagi penduduk Papua mengalami represi, tambang Freeport terus beroperasi.[]
Editor: Nuran Wibisono