Menuju konten utama

Perppu Ormas Berpotensi Memicu Diskriminasi dan Persekusi

Pembubaran ormas tanpa mekanisme pengadilan berpotensi menciptakan diskriminasi dan persekusi terhadap anggotanya.

Perppu Ormas Berpotensi Memicu Diskriminasi dan Persekusi
Menkopolhukam Wiranto (kedua kiri) memberikan keterangan terkait isu pro dan kontra pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jakarta, Jumat (12/5). Pemerintah menyatakan tidak akan berkompromi dengan ormas yang mengancam NKRI. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras/17.

tirto.id - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2/2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Ormas yang dijadikan landasan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berpotensi menciptakan persoalan terhadap anggota HTI di lapangan. Terlebih setelah HTI dibekukan beredar dokumen yang memuat daftar pengurus, anggota, dan simpatisan HTI di sejumlah instansi pemerintahan seluruh Indonesia.

“Ya sangat mungkin (orang HTI mengalami diskriminasi, persekusi, hingga kriminalisasi),” kata Ketua DPP PAN Yandri Susanto saat dihubungi Tirto, Ahad (23/7/2017).

Yandri mengatakan diskriminasi, persekusi, hingga kriminalisasi bisa menimpa anggota ormas yang dibubarkan lantaran pemerintah menghapus mekanisme pengadilan dalam membubarkan ormas. Menurutnya, dalih pemerintah bahwa mekanisme pembubaran ormas sebagaimana tercantum dalam UU No. 17/2013 tentang Ormas terlalu berbelit bukan alasan meniadakan mekanisme pengadilan sama sekali. Betapa pun, kata Yandri, pengadilan merupakan satu-satunya ruang bagi pemerintah membuktikan tuduhannya sekaligus ruang bagi ormas membela diri dari tuduhan pemerintah. “Kalau pembubaran ormas di UU Ormas 2013 dianggap terlalu lama, ya disederhanakan. Bukan berarti diberangus pengadilannya,” kata Yandri.

“Jadi kalau membubarkan ormas harus lewat pengadilan. Tidak bisa tafsir tunggal (penguasa/ pemerintah). Artinya pemerintah tidak percaya pengadilan.”

Sekretaris Fraksi PAN DPR RI ini sepakat tidak boleh ada ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Namun PAN menolak jika Pancasila hanya menjadi jargon politik yang sepi dari praktik hidup sehari-hari. Anggota Komisi II DPR RI ini menyimpulkan Perppu bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru. “Nilai Pancasila itu harus diterapkan bukan cuma jargon. Jangan kemudian menuduh pendukung lain tidak pancasila dan diberangus,” ujar Yandri.

Wakil Ketua Komisi II DPR Almuzammil Yusuf mengatakan Perppu No.2/2017 tidak saja berdampak terhadap pembubaran ormas, tapi juga mengkriminalisasi anggota ormas yang dibubarkan. “Yang terkena buka hanya pimpinannya tapi juga anggotanya,” ujar Muzammil kepada Tirto.

Menurut Muzammil, Perppu yang dikeluarkan pemerintah sangat berbahaya bagi demokrasi. Sebab pemerintah bisa sewenang-wenang membubarkan ormas tanpa proses pengadilan. Padahal, sebelum Perppu dikeluarkan UU Ormas mensyaratkan pemerintah untuk melakukan sejumlah langkah seperti: peringatan, penghentian bantuan, pembekuan kegiatan, hingga proses pengadilan. “Perppu ormas ini pendekatannya represif,” ujar Muzammil.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai, proses pengadilan tidak saja penting bagi pemerintah maupun ormas yang dibubarkan dalam mempertahankan argumentasi masing-masing. Tapi juga bisa menjadi pembelajaran bagi ormas lainnya tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan berdasarkan hukum di Indonesia. “Kami PKS akan menolak Perppu ini dalam sidang paripurna mendatang,” ujar Muzammil.

Kekhawatiran bahwa pembubaran ormas berpotensi menciptakan diskriminasi, persekusi, bahkan kriminalisasi terhadap anggotanya cukup beralasan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo misalnya, terang-terangan meminta para PNS yang terlibat ormas berideologi selain Pancasila untuk mengundurkan diri. Selain itu, tidak lama setelah pemerintah mengumumkan pembekuan HTI, Tirto juga menerima sebuah dokumen berjudul: "Matriks daftar nama pengurus/anggota/ simpatisan HTI merupakan pegawai pemerintah (ASN, TNI, dan Polri) akademisi (PTS dan PTN), serta unsur lainnya" yang diterima redaksi. Dalam dokumen tersebut tercamtum nama-nama pengurus, anggota, dan simpatisan HTI yang bekerja sebagai PNS di seluruh provinsi di Indonesia.

Peredaran dokumen ini sempat menuai kritik Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Menurutnya peredaran dokumen tersebut adalah sebuah kekeliruan. “Ini bisa menjadi dosa Presiden Jokowi kalau dia (aparatur pemerintahannya) melakukan itu,” kata Fahri kepada Tirto.

Bagi Fahri, peredaran dokumen yang memuat daftar pengurus, anggota, dan simpatisan HTI bukan sekadar masalah etis, tapi sudah termasuk pelanggaran hukum. Ia mengatakan dokumen tersebut bisa memicu diskriminasi dan persekusi.

Pimpinan DPR bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat ini percaya dokumen itu tidak dibuat oleh masyarakat sipil. Ia berharap pemerintah, terutama Presiden, menghentikan peredaran dokumen tersebut. Sebab menurutnya dokumen itu juga bisa menjadi alasan penggulingan presiden. “Itu bukan saja tidak etis. Itu melanggar. Saya bisa saja mengatakan: presiden bisa saja di-impeach, loh, gara-gara begitu,” kata Fahri.

Baca juga:

Beredar Dokumen HTI Bisa Memicu Gelombang Persekusi

Fahri Hamzah: Dokumen HTI Bisa Menjadi Dosa Politik Jokowi

Sejumlah pihak yang dikonfirmasi Tirto membantah terlibat dalam proses pendataan maupun penyebaran orang-orang HTI. Tjahjo mengatakan ia sempat mendapatkan dokumen serupa. Namun, menurutnya, masih perlu diperiksa kembali akurasinya. “Di Kemendagri sedang pengecekan detail dulu, ada atau tidak. Yang ASN, kan, perlu dicek dengan benar, jangan sampai jadi fitnah,” ujar Tjahjo tanpa menjelaskan dokumen itu ia dapatkan dari siapa, pada hari Minggu lalu.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membantah pihaknya mengumpulkan data identitas yang tercantum dalam dokumen tersebut. Gatot malah menganggap dokumen yang sudah beredar itu sebagai hoax.

“Enggak ada itu. Percuma kalau hoax, saya enggak mau menanggapi hoax,” katanya, Kamis kemarin.

“Mana ada saya yang mengusulkan. Ngawur,” imbuhnya.

Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan kepolisian biasa melakukan pendataan terhadap organisasi. Langkah pendataan macam ini, kata Tito, akan menjadi bagian dari "mendalami permasalahan untuk menegakkan hukum" terhadap HTI.

Meski begitu, Tito enggan menjelaskan apa pihaknya sudah melakukan pendataan tersebut. “Itu pasti harus kami lakukan. Karena ini ormas yang sudah dibubarkan, dilarang. Pasti kami lakukan, kerjaannya polisi memang itu. Itu tugas polisi, ada bagian namanya badan intelijen,” ujar Tito.

Tito mengatakan bahwa pola pendataan profil dan identitas yang dilakukan oleh Polri selalu secara rahasia. Tugas macam ini diserahkan kepada intelijen atau Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.

“Mereka bisa bergerak tanpa mengundang reaksi berlebihan dari publik,” ujar Tito.

Baca lima laporan terkait: Pengikut HTI dalam Bayang-Bayang Pengawasan

Sedangkan juru bicara HTI, Ismail Yusanto mengatakan sudah membaca daftar tersebut dan sebagian nama yang ditulis dalam daftar tersebut benar adanya. Dalam daftar tersebut, sebagian besar adalah merupakan pengurus HTI. Ismail sendiri menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan pendataan seperti itu, apalagi mempublikasikannya.

“Kalau ini, kan, kerja intel," tuduh Ismail, Selasa (18/7) lalu. "Dandim (Komandan Kodim) mungkin [yang] akan [melakukan] begini," imbuhnya.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN ORMAS atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti