Menuju konten utama

Perppu Ciptaker Dianggap Tak Sejalan dengan Reforma Agraria

KPA menilai Perppu Cipta Kerja telah meliberalisasi dan memprivatisasi tanah sehingga berdampak pada maraknya konflik agraria.

Perppu Ciptaker Dianggap Tak Sejalan dengan Reforma Agraria
Sejumlah buruh membentangkan sepanduk berisi protes atas pengesahan Perppu Ciptaker oleh Presiden Jokowi di DPR/MPR RI, Selasa (28/2/2023). Foto: Fransiskus Adryanto Pratama/Tirto

tirto.id - Sejumlah massa gabungan buruh hingga masyarakat sipil bakal menggelar unjuk rasa di gedung DPR/MPR RI, Selasa (28/2/2023). Mereka mendesak agar DPR membatalkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022.

Salah satu organisasi yang turun pada aksi unjuk rasa hari ini ialah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mempersoalkan dalil Presiden Jokowi yang menyebut kegentingan memaksa akibat geopolitik dan ketidakpastian hukum bagi investor sebagai dasar pengesahan beleid itu untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia.

Padahal, kata Dewi, pada waktu bersamaan Jokowi dan sejumlah menteri, menyatakan pertumbuhan perekonomian meningkat secara signifikan pascapandemi Covid-19.

"Anomali terjadi tidak hanya pada alasan pengesahan Perppu Cipta Kerja dan pernyataan kondisi perekonomian pascapandemi," kata Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (28/2/2023).

Dewi pun menyoroti pembangunan di Indonesia dengan berbagai penggusuran atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, ancaman kedaulatan pangan, fleksibilitas tenaga kerja, liberalisasi pendidikan, dan legitimasi perusakan lingkungan hidup serta berbagai bentuk pelanggaran HAM terhadap petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya makin masif terjadi.

Dewi mengatakan pengesahan beleid itu alih-alih melihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) inkonstitusional bersyarat.

"Pemerintah justru menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang melanggar konstitusi dan cita-cita bangsa Indonesia yang bebas dari segala bentuk penjajahan. Bahkan, pemerintah terus memaksakan keabsahan UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja demi membuka keran liberalisasi di berbagai sektor," ucap Dewi.

Dia mengatakan kesesatan sistem hukum dan bernegara ditunjukkan pemerintah tanpa malu-malu demi memenuhi kepentingan elit bisnis dan politik.

Dewi lantas menjelaskan ancaman di sektor agraria dan pangan buntut pengesahan Perppu Cipataker itu. Dia mengeklaim akibat Perppu Cipta Kerja telah meliberalisasi dan memprivatisasi tanah. KPA mencatat sepanjang 2020-2022 telah terjadi 660 letusan konflik agraria seluas 2,16 juta hektar.

"Di mana sedikitnya 14 petani tewas dan 317 orang dipenjara hanya untuk mempertahankan tanahnya," kata Dewi.

Menurut Dewi, persoalan itu menjadi bukti bahwa UU Cipta Kerja hanya memberikan kesengsaraan dan kemiskinan bagi petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.

"Kemudian masalah bank tanah masih sama dengan UU Cipta Kerja. Diatur pada Pasal 125-135 Perppu Cipta Kerja, bank tanah tidak ubahnya lembaga penyedia tanah bagi pelaku usaha dan menyelewengkan reforma agraria," kata Dewi.

Di sisi lain, Dewi menilai Perppu Cipta Kerja mempermudah eksploitasi sumber-sumber agraria yang diiringi kerusakan lingkungan akibat kemudahan izin berusaha korporasi, pelemahan partisipasi masyarakat, dan pelemahan pengawasan.

Selain itu, lanjut dia, substansi Perppu Cipta Kerja memperluas dan memperkuat ancaman perampasan tanah dan meningkatkan potensi kriminalisasi petani, masyarakat adat, dan pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan.

"Kemudian, pada konteks perlindungan kawasan pesisir, melalui Pasal 26A Perppu Cipta Kerja melakukan penghapusan syarat-syarat penanaman modal asing untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan," kata Dewi.

Dampak lain Perppu Cipta Kerja, kata dia, ancaman liberalisasi pangan melalui food estate dan kemudahan impor pangan. Pasalnya, lanjut Dewi, jutaan hektar tanah direkayasa menjadi lokasi penghasil barang mentah industri makanan seperti kentang, bawang, singkong dll.

"Padahal, pada praktiknya food estate telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Hal ini dibuktikan dengan jutaan ton komoditas pangan terutama beras, gula, garam, kedelai dll selama ini diperoleh dengan cara impor dari negara lain. Food estate dan impor pangan hanya memperkaya elit politik dan kartel pangan di Indonesia," tutup Dewi.

Baca juga artikel terkait PERPPU CIPTAKER atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto