tirto.id - “Semua sumber daya republik ini sebagian besar bukan milik kita. Itu sama seperti VOC.”
Pernyataan tersebut keluar dari mulut Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Djoko Santoso, di Surabaya, Senin (14/1/2019) kemarin. Dia mengatakan itu dalam rangka kampanye di hadapan Gerakan Milenial Indonesia (GMI) Surabaya.
VOC yang Djoko maksud adalah Vereenigde Oostindische Compagnie, sebuah korporasi raksasa asal Belanda yang memonopoli aktivitas perdagangan di nusantara, bahkan di Asia, sejak 1602. Mereka beli murah rempah-rempah petani pribumi, lalu menjual dengan harga tinggi di Eropa. Oleh pribumi, VOC kerap disebut kumpeni.
Meski hanya persekutuan dagang, VOC secara praktikal adalah perpanjangan tangan kerajaan di Hindia Timur alias nusantara.
Karena bagi Djoko kondisi seperti ini bermasalah, ia meminta masyarakat, terutama kaum muda, lebih berhati-hati. “Maka, jangan sampai lengah. Karena kalau lengah, kita lemah. Kalau lemah, kita bisa kalah,” ucap Djoko lagi.
Sekadar Jargon
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Ace Hasan Syadzily, mengatakan pernyataan itu tak perlu dipersoalkan. Sebab itu sekadar jargon belaka dalam konteks menggaet hati pemilih.
“Masyarakat sudah sangat cerdas untuk mencerna mana pidato yang hanya jargon dan retorika, dan mana yang sudah berbuat untuk rakyat,” kata Ace kepada reporter Tirto, Selasa (15/1/2019) siang.
Tak cukup sampai situ, ia juga menyebut pernyataan Djoko sekadar “halusinasi” dan “tidak melihat fakta.”
Mengikuti logika Djoko Santoso bahwa sumber daya dikuasai asing, Ace mengatakan yang terjadi kini justru sebaliknya. Aset-aset yang dikuasai asing, kata Ace, beberapa telah diambil alih pemerintah.
Salah satunya adalah Blok Mahakam. Blok migas terbesar di Indonesia yang terletak di Kalimantan Timur ini diambil alih oleh Pertamina. Blok Mahakam dikelola oleh anak usaha Pertamina, PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI).
Nasib Blok Rokan pun demikian. Blok yang terletak di Riau ini juga diambil alih dari perusahaan asal Amerika Serikat ke genggaman Pertamina. Terakhir adalah divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen.
“Di zaman pak Jokowi, beberapa aset sudah kembali ke bangsa kita,” kata Ace, membanggakan kinerja Jokowi.
Memang Beda
Memang tak ada tolak ukur lain yang diungkapkan Djoko tentang VOC jilid II kecuali kepemilikan sumber daya di tangan asing. Poin ini dikritik Andi Achdian, Doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia (UI).
Bagi Andi pernyataan tersebut terlalu menyederhanakan masalah.
“Mereka [VOC] punya kuasa seperti negara, Mereka bisa bikin tentara ketika itu,” kata Andi kepada reporter Tirto. Membikin tentara, kata Andi, jelas beda dengan meminta tentara mengamankan bisnis seperti kasus PT Freeport di Papua.
Hak memiliki tentara sendiri adalah satu dari delapan hak istimewa yang disebut hak octroi. Tujuh hak lain adalah hak monopoli perdagangan, mencetak dan mengedarkan uang, mengangkat dan menghentikan pegawai, mengadakan perjanjian dengan raja, mendirikan benteng, menyatakan perang dan damai, hingga mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Kata Andi, pernyataan Djoko salah karena, pertama, tidak ada perusahaan luar negeri yang punya semua hak istimewa seperti disebut di atas; dan kedua, tidak ada monopoli dagang karena sektor strategis dikuasai negara sesuai amanat UUD 1945.
Kalaupun ada persamaan era dulu dengan sekarang adalah masih eksisnya perusahaan multinasional. Dan korporasi ini lazim beroperasi di negara mana pun.
“Mungkin kalau dikatakan komparasi dengan konteks sekarang bahwa sifat multinasional dari usahanya, ya mungkin saja sama. Dalam artian mereka seperti Freeport, tapi tetap saja beda,” tambahnya.
Selain itu, satu hal yang masih sama adalah sistem ekonomi yang dominan: kapitalisme. Dan Prabowo, kata Andi, jelas tak bakal menawarkan sistem ekonomi lain jika misalnya terpilih sebagai presiden. “Saya tidak yakin Prabowo akan berbeda. Sekarang hampir seluruh dunia memakai sistem kapitalis, dan Prabowo, atau siapa pun yang jadi pemimpin Indonesia, rasanya sulit mengubah itu.”
Maka, sama seperti Ace, Andi menganggap pernyataan Indonesia dikuasai VOC memang hanya sekadar jargon dalam konteks kampanye.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino