tirto.id - Ahli hukum pidana dari Universitas Trisaksi, Abdul Ficar Hadjar menilai langkah Baiq Nuril meminta amnesti kepada presiden merupakan hal yang tepat.
Menurut dia, hal itu sejalan dengan komitmen pemerintah dalam melindungi korban pelecehan seksual.
Selain itu, untuk memberikan amnesti presiden tidak memerlukan undang-undang, cukup dengan mengeluarkan keputusan presiden.
Ficar juga menilai pemberian amnesti kepada Nuril bisa jadi yuresprudensi dalam penegakan hukum ke depan yang memperhatikan rasa keadilan masyarakat.
"Jadi peluangnya cukup besar karena amnesti jg bisa dilakukan. Ttidak ada pembatasan terhadap kasus hukum selain politik," ujar dia, saat dihubungi, Selasa (9/7/2019).
Dengan mengajukan amnesti, Nuril tidak perlu mengaku bersalah sebagaimana syarat memperoleh grasi.
"Justru tidak [perlu mengaku bersalah], kalau itu grasi namanya. Makanya Baiq Nuril tidak grasi," ujar dia.
Ia menilai, opsi pengajuan peninjauan kembali (PK) kedua setelah PK pertama ditolak, tidak tepat bagi Baiq Nuril. Ia menjelaskan, peninjauan kembali hanya bisa dilakukan sekali.
"MA mengesampingkan putusan MK karena menerbitkan SE [surat edaran] yang menyatakan PK pidana hanya satu kali," kata dia.
Dalam Surat Edaran MA (SEMA) nomor 7 tahun 2014 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. SEMA ini merupakan tindak lanjut dari putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014
Polemik kasus Baiq Nuril kembali mencuat setelah Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) pada 4 Juli 2019. Ia sempat dibebaskan melalui vonis tingkat pengadilan pertama pada 2017, lalu kalah tingkat kasasi pada 2018.
MA mengukum Nuril divonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE 19/2016 dengan hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara.
Saat ini kuasa hukum Baiq Nuril Maknun tengah menyiapkan permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali