tirto.id - “KAI akan menuntut pengemudi mobil mempertanggungjawabkan tindakannya karena tidak mendahulukan perjalanan kereta api sehingga menyebabkan kerusakan sarana dan gangguan perjalanan.”
Pernyataan tersebut disampaikan VP Public Relations KAI, Joni Martinus merespons kejadian tabrakan kereta di tanah sebidang dekat Jalan Rawageni, Kota Depok, Rabu (20/4/2022). Saat itu, perjalanan kereta api rute Jakarta-Bogor terganggu karena KRL KA 1077 (Bogor - Jakarta Kota) menabrak mobil Mobilio putih milik Ustaz Ahmad Yasin, salah satu warga Citayam sekaligus pimpinan pesantren Darul Quran Fantastis.
Meskipun lolos dari maut ketika melintasi perlintasan sebidang liat tersebut, KAI berencana menggugat Yasin dengan sejumlah pasal. Joni mengutip UU 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan UU 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan pengendara mendahului perjalanan kereta api.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 124 menyatakan pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api. Kemudian pada Pasal 114 UU 22/2009 menyatakan “Pada perlintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib: berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai di tutup dan atau ada isyarat lain, mendahulukan kereta api, dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintas rel.”
Joni juga menegaskan, KAI menutup perlintasan sebidang ilegal warga agar kejadian serupa tidak terulang. Mereka pun mengimbau publik untuk hati-hati dalam berkendara.
“KAI mengimbau masyarakat untuk berhati-hati saat akan melintasi perlintasan sebidang jalan raya dengan jalur kereta api. Pastikan jalur yang akan dilalui sudah aman, tengok kanan dan kiri, serta patuhi rambu-rambu yang ada,” tegas Joni.
Pihak Ahmad Yasin mengaku belum mengetahui bahwa KAI akan menggugat secara hukum akibat insiden tersebut. Akan tetapi, pihak Yasin menghormati pengajuan gugatan tersebut.
“Intinya, kami menghormati kalau misalnya PT KAI akan melakukan penuntutan, tentu dengan alasan-alasan terukur yang bisa kami terima dan pahami secara hukum,” kata Kuasa Hukum Ahmad Yasin, Syarif Hidayatullah, seperti dikutip kompas.com.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Pemerhati transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno menilai, insiden yang terjadi di Rawageni atau kecelakaan sebidang bukan kecelakaan kereta api bila mengacu pada undang-undang. Ia mengingatkan wewenang prasarana pendukung menyatakan bahwa pemerintah daerah yang bertanggung jawab, bukan KNKT.
Djoko juga menuturkan, perlintasan sebidang dibagi dalam dua bentuk, yakni perlintasan resmi dan perlintasan ilegal. Perlintasan sebidang tersebut merupakan wewenang pemerintah daerah karena KAI tidak memegang semua sarana infrastruktur.
“Kereta Api itu operator. Dia bukan penyelenggara prasarana. Dia adalah operasional. Artinya kepedulian pemda juga ada pada keselamatan. Sayangnya tidak banyak pemda menganggarkan masalah keselamatan, karena apa? di Undang-Undang 23 (tahun 2014) itu menyebutkan transportasi bukan kebutuhan dasar. Ini harus diubah juga," kata Djoko saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/4/2022).
Djoko pun menuturkan, beberapa daerah ada yang perhatian dan tidak soal keberadaan perlintasan sebidang ilegal. Di Solo waktu era Jokowi misalnya, Pemerintah Kota Solo menyediakan anggaran untuk menjaga keselamatan masyarakat. Menurut Djoko, langkah Jokowi sudah benar karena esensi kehadiran pemerintah adalah melindungi warganya.
“Terkadang ada pemda yang sadar, DPRD-nya nggak mau tahu. Susah juga kan. Gitu problemnya. Bahkan ada di Semarang, ada perlintasan sebidang ditutup, anggota dewan ikut demo. Celaka kan?" kata Djoko mempertanyakan.
Djoko juga mendorong agar perlintasan ilegal di Depok untuk ditutup setelah kejadian Rawageni. Ia beralasan, negara punya kewajiban untuk menjaga keselamatan rakyat.
“Harus ditutup. Jangan dibiarkan. Saya yakin Pemda Depok mengabaikan. Itu kewajiban pada keselamatannya lah. Nggak usah bicara yang lain. Keselamatan warga itu kewajiban kepala daerah,” kata Djoko.
Djoko menilai penuntutan kepada Ahmad Yasin sudah benar secara perseorangan. Ia bisa dituntut dengan pelanggaran KUHP akibat sarana KAI rusak dalam kejadian nahas tersebut. Hal tersebut pernah terjadi ketika kecelakaan kereta di Lamongan antara KAI dengan PO Harapan Jaya pada medio Maret 2022. Kala itu, mobil PO Harapan Jaya tertabrak kereta KA Rapih Doho sehingga KAI menggugat secara hukum Harapan Jaya dengan uang sebesar Rp443 juta.
“Kalau PT Kereta Api dia menuntutnya adalah karena warganya lalai, perorangan. Jadi bukan lewat Undang-Undang Kereta Api maupun Undang-Undang Lalu Lintas. Dia pakai KUHP karena dia dituntut oleh penumpang, bahkan sarananya juga rusak kayak di Lamongan. Akhirnya PO yang lewat mau ganti rugi," kata Djoko.
Djoko menambahkan, “Kalau gak mau di pengadilan juga tetap kalah nanti dia. Tetap kalah dia. Kalau [kasus] Depok, saya tawarkan gini. Mediasi saja. Mau ganti rugi atau sebagai ustaz mau ikut ceramah keselamatan,” kata Djoko mengusulkan.
Ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Affandi juga menilai, kasus kecelakaan di Rawageni tidak bisa disalahkan kepada Ahmad Yasin semata. Ia mengingatkan UU Lalu Lintas memberikan penekanan bahwa pemerintah daerah ikut bertanggung jawab dalam membantu penyelenggaraan perjalanan kereta yang api.
“Jadi kalau misalkan penyelenggara jalan itu bisa pemda, pemkot dan sebagainya, kalau sampai tidak memperbaiki jalan terus mengakibatkan kecelakaan itu ada dipidananya 6 bulan sampai 12 juta rupiah," kata Fachrizal kepada reporter Tirto, Jumat (22/4/2022).
Fachrizal menuturkan, masalah yang membuat perkara kompleks dalam kasus Rawageni adalah status lahan perlintasan mobil Ahmad Yasin adalah perlintasan sebidang ilegal. Warga dan pemda harus dimintai pertanggungjawaban akibat kemunculan persimpangan sebidang itu. Jika kasus Ahmad Yasin murni akibat ditabrak kereta di jalur legal, maka dia layak dituntut.
“Kalau itu memang ilegal, jadi harusnya enggak boleh mobil lewat di situ, kan. Berarti kalau misalkan ada tuntutan dari KAI, ya wajar kan mendahulukan, wong ini jalurnya saja ilegal dalam konteks pengendaranya, dalam konteks pemerintah daerahnya itu perlu dievaluasi," tutur Fachrizal.
Fachrizal menambahkan, “Harusnya kayak gini-gini [perlintasan] sesuai Undang-Undang Lalu Lintas, jalan harus dikendalikan oleh pemda. Harus bisa digugat class action, atau juga KAI menegur pemda, menggugat pemda.”
Ia menegaskan kasus tabrakan Ahmad Yasin juga tidak berarti semua kesalahan jatuh kepada pria yang berprofesi sebagai dosen itu. Ia menilai perlu ada evaluasi kepada pemda, terutama Pemkot Depok karena membiarkan jalur perlintasan sebidang ilegal tersebut tetap ada padahal diberi wewenang untuk menjaga keselamatan masyarakat sesuai amanat UU Lalu Lintas.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz