Menuju konten utama
Mozaik

Peristiwa Tanjung Morawa, Darah Petani & Jatuhnya Kabinet Wilopo

Konflik agraria di Tanjung Morawa pada 1953 menewaskan lima orang petani dan memperkeruh hubungan PNI-Masyumi di Kabinet Wilopo.

Peristiwa Tanjung Morawa, Darah Petani & Jatuhnya Kabinet Wilopo
Header Mozaik Sengketa Tanjung Morawa. tirto.id/Quita

tirto.id - “depan kantor tuan bupati/tersungkur seorang petani/karena tanah/karena tanah”

Puisi “Matinya Seorang Petani” ditulis Agam Wispi pada 1955 sebagai protes sekaligus pengingat terhadap huru-hara yang terjadi di Kampung Perdamaian, Kecamatan Tanjung Morawa, Provinsi Sumatra Utara, pada 16 Maret 1953.

Seturut Karl J. Pelzer dalam Planters Against Peasants: the Struggle in East Sumatra 1947-1958 (1982), akar sengketa bermula dari kembalinya hak konsesi perusahaan perkebunan Belanda, Deli Planters Vereeniging, imbas dari pengakuan kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar 1949.

Saat mereka kembali setelah pergi pada masa pendudukan Jepang, lahan seluas 255.000 hektare di wilayah Negara Sumatra Timur itu telah ditinggali dan digarap oleh penduduk setempat, para buruh Jawa dan Tionghoa, serta pendatang dari Tapanuli Utara.

Deli Planters Vereeniging lalu mulai melakukan pengusiran. Namun, sebagian besar penduduk memilih bertahan. Warga merasa sebagai pemilik yang sah lahan.

Pada Agustus 1950, Negara Sumatra Timur bubar dan melebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Menteri Dalam Negeri saat itu, Anak Agung Gde Agung, mengangkat Abdul Hakim--Kepala Bagian Agraria dalam Kementerian Dalam Negeri--sebagai Gubernur Sementara Sumatra Utara dan Ketua Panitia Persiapan Negara Kesatuan Untuk Sumatra Timur.

Untuk menyelesaikan masalah antara warga dengan Deli Planters Vereeniging, Abdul Hakim kemudian mengeluarkan program yang dikenal dengan nama “Rencana Sarimin” dan membentuk Komisi Khusus Urusan Pertanahan Pertanian pada 28 September 1950.

Sejak saat itu hingga Abdul Hakim dilantik sebagai Gubernur Sumatra Utara, serangkaian pertemuan dengan pihak perusahaan perkebunan dilaksanakan untuk mencari solusi pemindahan penduduk di atas lahan perkebunan Deli Planters Vereeniging.

Hasilnya, pada 1951, Deli Planters Vereeniging bersedia mengembalikan sekitar 130.000 hektare dari kepada pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri saat itu, Iskaq Tjokrohadisurjo, tujuannya untuk mempercepat pemindahan penduduk.

Tak lama setelah itu, pemerintah mengeluarkan pemakluman: jika penduduk masih menolak pergi dari lahan perkebunan Deli Planters Vereeniging, maka akan dicap sebagai penghuni liar.

Front Tani Sumatra Timur yang terdiri dari Barisan Tani Indonesia (BTI), Rukun Tani Indonesia (RTI), dan Chung Hu Tjik Kong Hui (Persatuan Buruh Tani Tionghoa), bersama PKI Deli Serdang dan PNI Sumatra Timur beserta organisasi taninya yang bernama Persatuan Tani Nasional Indonesia (PETANI), menentang pengembalian tanah.

Mereka teguh menuntut pemerintah untuk menasionalisasi semua perusahaan asing. Pertimbangan lain adalah faktor kesuburan tanah dan ketidakpastian jaminan kesejahteraan penduduk di tempat barunya.

Sistem pembagian tanah untuk penduduk dengan cara pengundian (lotre) yang ditetapkan oleh Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah pada 27 Juni 1951, juga menjadi sorotan organisasi-organisasi tani karena berpotensi menimbulkan konflik antar penduduk di tempat tinggal barunya.

Dihunjam Peluru Tajam

Perdana Menteri berganti dari Sukiman kepada Wilopo. Di tengah pemindahan sebagian kecil penduduk ke lahan baru, pemerintah melalui Jawatan Dinas Pertanian Kabupaten Deli Serdang menetapkan lahan seluas 6 hektare di Kampung Perdamaian, Kecamatan Tanjung Morawa, sebagai lahan percontohan pertanian dan pembibitan ikan air tawar.

Sementara di lahan yang ditetapkan pemerintah itu telah ditempati dan digarap oleh sekitar 220 orang Tionghoa. Pemerintah Daerah segera memberi peringatan, khususnya kepada 10 keluarga Tionghoa yang tinggal di lahan yang telah ditentukan. Mereka diwajibkan mengosongkan lahannya setelah padi dipanen pada akhir tahun 1952.

Mereka rencananya akan dipindahkan ke tempat tinggal baru di daerah Pantai Cermin dan Galang. Setiap warga Tionghoa dijanjikan akan mendapatkan lahan seluas 0,5 hektare dengan jalan menyewa.

Pada 17 Desember 1952, camat setempat mengadakan pertemuan dengan penduduk Tionghoa untuk menegaskan kembali maksud pemerintah. Ia juga menyatakan pemerintah akan mengganti kerugian tanaman, dan setiap keluarga akan diberi pesangon sebesar Rp. 300 serta ongkos pemindahan ke tempat tinggal barunya.

Warga tetap menolak. Selain pesangon yang dirasa kecil, persetujuan juga tak kunjung diberikan oleh Chung Hu Tjik Kong Hui (Persatuan Buruh Tani Tionghoa).

Dari 10 hingga 13 Januari 1953, sejumlah organisasi tani seperti RTI, BTI, PETANI, Sarikat Tani Indonesia (SAKTI), Serikat Tani Indonesia (SEKATA), hingga Persatuan Tani Indonesia (PERTI), berkumpul di gedung bioskop Capitol, Medan, menggelar Konferensi Besar Tani Se-Sumatra Utara. Ini adalah renspons terhadap rencana pemerintah di Tanjung Morawa,

SM Tarigan (BTI), Asjro Effendi (PETANI Sumatra Utara) dan Manuaba (anggota parlemen dan Ketua Umum PETANI), dalam pidatonya menyoroti rencana pemerintah dan menuntut untuk segera membuat undang-undang agraria nasional yang demokratis dan berpihak kepada kepentingan rakyat.

Pada hari terakhir konferensi, dihasilkan sebuah resolusi yang menuntut Pemerintah Daerah Sumatra Utara dan Pusat untuk menghentikan pembagian tanah. Jika resolusi tidak diterima dan dilaksanakan, maka organisasi-organisasi tani akan mengajukan mosi tidak percaya kepada Gubernur Sumatra Utara.

Tanggal 26 Januari 1953, Tjia A Tjong--salah satu petinggi Chung Hu Tjik Kong Hui cabang Tanjung Morawa--melayangkan surat berisi delapan tuntutan kepada Camat Tanjung Morawa. Inti tuntutannya: pemerintah harus menjamin kelayakan hidup penduduk Tionghoa di tempat barunya.

Camat Tanjung Morawa kemudian mengadakan pertemuan dengan sekretaris dan juru bicara Chung Hu Tjik Kong Hui pada 4 Februari 1953. Ia menyampaikan, tuntutan yang dilayangkan tidak dapat dipenuhi. Alasannya, berdasarkan pertimbangan Kantor Penyelenggara Pembagian Tanah, hal itu berpotensi merusak program yang telah direncanakan pemerintah.

Camat memberi tawaran alternatif, jika penduduk Tionghoa tidak menghendaki tempat baru yang telah ditawarkan sebelumnya, maka mereka dapat memilih tinggal di wilayah Tadukan Raga. Namun, setelah dilakukan peninjauan tanah secara langsung, penduduk kembali menolak karena kondisi tanah kurang subur.

Dengan kekesalan yang memuncak, camat mengajak kepala polisi untuk membujuk penduduk, khususnya 10 warga untuk bersedia pindah. Namun, hal ini tak meruntuhkan pendirian mereka, bujukan kembali menuai kebuntuan.

Selanjutnya, melalui maklumat pemerintah, jika hingga 15 Maret 1953 penduduk tak kunjung pindah, maka tindakan tegas akan dilakukan dengan traktor. Sehari sebelum tenggta, polisi kembali dengan membawa traktor milik Jawatan Pertanian Daerah.

Di lokasi pengusiran, BTI dan beberapa serikat tani lainnya berkumpul melakukan penjagaan tanah penduduk Tionghoa di Kampung Perdamaian.

Kalah jumlah dan tensi mulai tinggi, rencana meratakan tanah dengan trakor urung dilakukan. Traktor ditinggalkan di pinggir jalan dan diawasi selama 24 jam oleh massa yang jumlahnya semakin banyak.

Dua hari kemudian, 16 Maret 1953, 60 orang polisi tiba di Kampung Perdamaian bersama dengan Camat Serdang Hilir dan Camat Tanjung Morawa. Mereka berhadapan dengan 1.500 massa yang berasal dari organisasi tani, PKI dan PNI Sumatra Timur, serta penduduk lokal.

Kericuhan segera pecah. Setelah tembakan peringatan tak digubris, polisi melepaskan tembakan ke arah massa yang sontak tunggang-langgang.

"[Beberapa peluru mengenai massa hingga] menewaskan empat orang Tionghoa dan satu orang Indonesia serta melukai tujuh belas lainnya," tulis Karl J. Pelzer dalam Planters Against Peasants: the Struggle in East Sumatra 1947-1958 (1982).

Infografik Mozaik Sengketa Tanjung Morawa

Infografik Mozaik Sengketa Tanjung Morawa. tirto.id/Quita

Mosi Sidik Kertapati

Hari berikutnya, Mobrig (Mobile Brigade)--sekarang Brimob, melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap memengaruhi penduduk Tionghoa dalam penolakan relokasi.

Berdasarkan penyelidikan pamong praja, PKI di Deli Serdang dianggap berada di balik peristiwa tersebut. Hal ini berangkat dari penemuan dokumen dan surat-surat rahasia yang menyerukan para anggota partai di Deli Serdang untuk melakukan demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah dalam kasus sengketa tanah.

Hal ini segera dibantah Komisaris PKI Deli Serdang. Jusuf Adjitorop, Komisaris Comite Central PKI, menyebut dugaan tersebut sebagai fitnah. Menurutnya, sebagai partai oposisi, PKI berhak mengkritik pemerintah dalam sengketa tanah di Sumatra Utara, termasuk Tanjung Morawa.

Ia juga menyoroti tembakan yang dilakukan polisi pada 16 Maret 1953 sebagai tindakan yang melampaui batas. Berdasarkan hasil penyelidikan, polisi yang menembakkan peluru dinyatakan tidak bersalah. Alasannya, saat itu dalam kondisi darurat.

Mr. Mohamad Roem selaku Menteri Dalam Negeri membela keputusan gubernur Sumatra Utara. Menurutnya, sebagaimana dikutip Yani Nurdiani "Persengketaan Tanah di Sumatera Timur Kasus Tanjung Morawa 1952-1953" (1990), "[peristiwa ini] tidak mempunyai hubungan langsung dengan politik agraria Kementerian Dalam Negeri, karena soal itu menyangkut tanah-tanah yang diduduki oleh bangsa asing, yang mana sesungguhnya tanah-tanah itu milik pemerintah."

Pada 19 Maret 1953, anggota parlemen yang terdiri dari tokoh-tokoh PNI dan PKI serta organisasi tani, seperti Sidik Kertapati (SAKTI) dan S. Sardjono (BTI), melayangkan surat protes kepada Ketua DPRS, Mr. Sartono, untuk segera melakukan penyelidikan terhadap Peristiwa Tanjung Morawa.

Tiga hari kemudian, Sidik Kertapati mengajukan mosi tidak percaya yang ditandatangani oleh perwakilan-perwakilan dari organisasi tani, PKI, Murba, dan PRN, terhadap Kabinet Wilopo, khususnya Menteri Dalam Negeri.

Selain itu, PNI Sumatra Timur mengancam akan meninggalkan partai jika PNI Pusat tidak mendukung mosi Sidik Kertapati. Menanggapi hal tersebut, Komite Eksekutif PNI "menyarankan agar Mohamad Roem meninggalkan Kabinet Wilopo," pungkas Karl J. Pelzer (1982).

Usulan itu ditolak Masyumi. Mengutip Java Bode (3/6/1953), di tengah ketidakpastian hubungan PNI-Masyumi dalam kabinet, pada 2 Juni 1953 Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi