Menuju konten utama

Perbudakan Modern ABK RI di Kapal Cina: Upah Murah & HAM Dilanggar

Pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan Indonesia rentan mengalami perbudakan modern.

Perbudakan Modern ABK RI di Kapal Cina: Upah Murah & HAM Dilanggar
Anak Buah Kapal Cina dibuang ke Samudra. youtube officiall/mbc news

tirto.id - Empat belas anak buah kapal (ABK) berbendera Cina akhirnya sampai Indonesia, Jumat. Sebelumnya 29 ABK Indonesia lebih dahulu kembali ke Indonesia dari Korea Selatan.

Mereka telah bekerja di bawah perusahaan Tiongkok yang punya beragam kapal sejak tahun lalu.

Di antaranya Long Xing 629, tempat ABK Indonesia mengalami dugaan perbudakan modern dan menyaksikan rekannya meninggal dan jasadnya dilarung ke laut.

Berita ABK Indonesia memantik simpati publik sejak pekan ini. Pemerintah Indonesia menyatakan ada 46 ABK yang bekerja di kapal Cina.

Kronologi Kematian Empat ABK

Environmental Justice Foundation (EJF), yayasan yang berfokus pada isu keadilan lingkungan, dan pengacara publik Advocates for Public Interest Law (APIL) memaparkan kronologi meninggalnya empat anak buah kapal milik perusahaan Cina. Mereka mengaku telah dihubungi oleh awak kapal yang telah dievakuasi di Korea Selatan.

Menurut EJF, kematian pertama ABK Indonesia terjadi pada 21 Desember 2019 di Kapal Long Xing 629. Seorang ABK lain meninggal beberapa hari kemudian setelah dipindahkan ke Long Xing 802, kapal dari perusahaan yang sama: Dalian Ocean Fishing Co. Ltd., beralamat di Distrik Zhongshan, Dalian, kota pelabuhan besar di Provinsi Liaoning, Cina.

Setelah dua orang meninggal, seluruh ABK dipindahkan ke dua kapal lain yang masih satu perusahaan untuk transit ke Busan, Korsel. Dalam perjalanan, satu ABK meninggal lagi di Kapal Tian Yu 8, akhir Maret 2020. Pada saat itulah, seorang awak kapal mengabadikan pelarungan jasad temannya ke laut.

Saat sampai di Busan, April 2020, ia melaporkan ke aparat setempat. Belakangan, videonya viral setelah media Korea Selatan menyiarkannya.

Nahas, seorang ABK meninggal lagi setelah sampai di Korsel pada 27 April. Ia meninggal saat karantina sebelum tiba di pesisir memasuki Busan.

MBC, stasiun televisi nasional Korea Selatan, melaporkan tiga nama ABK yang meninggal adalah Ari, 24 tahun; Alfatah, 19; dan Sefri, 24. Jasad ketiganya telah dilarung.

ABK yang melaporkan kasus itu menyebut penyebab meninggalnya rekan mereka diawali bengkak pada kaki sehingga mati rasa, lalu badan bengkak, lalu sesak napas.

Ada aturan yang membenarkan pelarungan jasad ke laut, tapi masalah besar penyebab mereka meninggal belum sepenuhnya terungkap.

Data Western & Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC), organisasi pelestari ikan bermigrasi tinggi seperti tuna, memberikan data pemilik kapal Cina. Tiga dari empat kapal yang mengangkut ABK Indonesia teregistrasi. Mereka satu perusahaan hanya berbeda kepemilikan.

Kapal Long Xing 629 terdaftar atas nama Zhou Feng; Long Xing 802 dimiliki Huang Zhenbao; dan Tian Yu 8 dipunyai Kanghongcai. Ketiganya terdaftar sebagai kapal penangkap ikan tuna. Hanya saja, dalam praktiknya seperti dilaporkan MBC, kapal itu justru menangkap ikan hiu yang diduga di ambang kepunahan.

Mereka memotong sirip ikan hiu dan ditaruh dalam wadah berukuran setidaknya 45 kilogram, lalu dijual ke kapal lain di atas laut (transhipment). Perburuan sirip hiu diduga membuat kapal Cina takut terkena masalah hukum sehingga enggan merapat ke negara terdekat untuk mengobati ABK Indonesia yang sakit dan akhirnya meninggal, menurut laporan MBC.

Upah Murah & Paspor Disita

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengklaim proses pelarungan jenazah tiga ABK telah mendapat persetujuan keluarga. Kapan Tian Yu 8 disebut telah memberikan kompensasi kepada keluarga korban.

Retno mengklaim Indonesia telah memperoleh komitmen dari Tiongkok untuk menyelidiki kasus tersebut terhadap perusahaan pemilik kapal.

“Ke depan, melalui pembenahan sektor hulu, khususnya dengan penyusunan regulasi proses recruitment dan penempatan awak kapal ikan (long line), perlindungan dan hak awak kapal akan menjadi lebih baik,” kata Retno mencuit di Twitter.

Padahal, menurut investigasi MBC, ABK Indonesia menandatangani kontrak berisi klausul protokol penanganan ketika mereka meninggal: dikremasi dan abu dikirim ke keluarga atau dimakamkan di negara terdekat. Tapi, hal itu tak pernah dilakukan kapten kapal.

Para ABK Indonesia diduga menerima upah murah. Dalam perjanjian, mereka menerima 300 dolar AS per bulan. Kenyataannya, dalam sebulan, mereka menerima 42 dolar AS per bulan atau kurang dari 1 dolar AS per hari. Upah yang harus diterima, berkurang drastis karena dipotong untuk biaya rekrutmen dan uang jaminan.

Kehidupan ABK terkungkung karena paspor disita oleh kapten kapal. Dalam menjalani kehidupan di kapal, meminum air dari penyulingan air laut telah memicu gangguan kesehatan bagi ABK Indonesia.

Pemerintah Indonesia Harus Usut Pelanggaran HAM

Pekerja migran sektor kelautan sejak lama rentan menjadi budak modern.

Menurut catatan Migrant Care, organisasi sipil Indonesia yang berfokus pada pekerja migran, kerawanan sektor kelautan dan perikanan—terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan—menjadikan mereka terjerembab praktik perbudakan modern.

Pada 2014-2016, kondisi ABK Indonesia dalam perbudakan modern merupakan masalah terburuk berdasarkan pemeringkatan Global Slaveri Index. Kondisinya tak berubah hingga saat ini. Terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan di luar negeri dalam perangkap perbudakan modern.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyebut perbudakan modern di kapal Cina baru-baru ini menunjukkan tak ada perbaikan strategis dan langkah mitigasi menangani kerentanan pekerja migran sektor kelautan Indonesia.

“Sudah ada pernyataan normatif dari pemerintah, tapi belum ada yang menjamin pemenuhan hak-hak ABK tersebut,” kata Wahyu Susilo kepada Tirto.

Undang-Undang 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan aturan khusus mengenai pelindungan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan. Namun, menurut Susilo, “hingga saat ini aturan turunan tersebut belum terbit.”

Ia menuntut agar Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran mengambil langkah proaktif memanggil para agen penyalur ABK untuk meminta pertanggungjawaban korporasi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka harus menjalani mekanisme hukum dan diadili.

Baca juga artikel terkait PEKERJA MIGRAN INDONESIA atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz