Menuju konten utama

Peraturan Tanah Absentee, Contoh Kasus, dan Pengecualiannya

Dalam beberapa kasus, ada beberapa kondisi yang membuat kepemilikan tanah seseorang tidak sah secara hukum. Salah satunya kepemilikan tanah absentee.

Peraturan Tanah Absentee, Contoh Kasus, dan Pengecualiannya
Petani menanam bibit padi di areal persawahan kawasan Ujung Menteng, Kanal Banjir Timur, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Pesatnya pembangunan lahan properti di Ibu Kota menyebabkan makin menyusutnya luas persawahan karena telah beralih fungsi. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Kebijakan dan administrasi kepemilikan tanah sejak dulu banyak mengalami polemik karena aturan-aturannya cukup rumit. Aset atau investasi berupa tanah memang cukup menjanjikan, tetapi dapat menciptakan kerugian bila tak berhati-hati.

Diantara sejumlah aturan yang melekat dalam kepemilikan tanah, tanah absentee menjadi salah satu yang perlu digarisbawahi. Tanah absentee merupakan salah satu fenomena yang penting diperhatikan dalam kepemilikan sertifikat tanah.

Apa yang Dimaksud dengan Tanah Absentee?

Kepemilikan tanah dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah. Namun, terdapat beberapa kondisi yang menjadikan kepemilikan tanah tidak sah. Salah satunya adalah kepemilikan tanah secara absentee.

Tanah absentee adalah tanah yang dimiliki oleh individu, organisasi, atau entitas hukum, yang berada di daerah berbeda dengan domisilinya. Tanah absentee disebut juga dengan istilah kepemilikan tanah secara guntai.

Karenanya, calon pemilik tanah tak hanya perlu memeriksa keaslian sertifikat tanah, tetapi juga aturan kepemilikan tanah lainnya.

Contoh kasus tanah absentee adalah ketika Fulan, seorang pengusaha kaya raya, memiliki berhektare-hektare sawah di Desa A sedangkan dirinya tinggal di Kota M. Sawah yang dimiliki Fulan itu termasuk contoh tanah absentee, tidak sah secara hukum.

Lantas, mengapa dilarang memiliki tanah pertanian secara absentee? Apa dasar hukum tanah absentee?

Dasar Hukum Tanah Absentee

Peraturan tentang tanah absentee merujuk pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Di dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA dijelaskan:

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.“

Aturan inilah yang menjadi landasan awal dari ketetapan legal atau tidaknya keberadaan tanah absentee di Indonesia.

Peraturan tentang tanah absentee kemudian dijelaskan lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961. Namun, PP tersebut mengalami perubahan tiga tahun setelahnya.

Peraturan tanah absentee terbaru termuat dalam PP No. 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Kendati diubah, beberapa pasal dalam peraturan pemerintah sebelumnya masih berlaku. Artinya, tidak semua pasal dalam dasar hukum tanah absentee sebelumnya dihapus dan diganti.

Kepemilikan tanah absentee bagi para pensiunan pegawai negeri diatur secara khusus dalam PP No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian secara Guntai (Absentee) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

Apakah Kepemilikan Tanah Absentee Diperbolehkan?

Kepemilikan tanah absentee secara jelas dan tegas dilarang dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Pasal 3d PP No. 41 Tahun 1964 dijelaskan:

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan di mana ia bertempat tinggal”

Dalam pasal tersebut dipaparkan secara jelas tentang larangan kepemilikan tanah dengan cara absentee. Artinya, pemilik tanah tidak diperkenankan untuk memiliki tanah di luar domisili atau tempat tinggalnya.

Untuk melegalkan hak miliknya atas tanah yang akan dibeli atau dipindahtangankan, pemilik wajib berpindah domisili. Pemilik tanah mesti bertempat tinggal di kawasan yang masih tergolong satu kecamatan dengan tanah tersebut. Hal itu dibuktikan dengan dokumen kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Lantas, mengapa dilarang memiliki tanah pertanian secara absentee?

Tujuan pelarangan kepemilikan tanah absentee diulas dalam buku karya Boedi Harsono bertajuk Hukum Agraria Nasional: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (2003).

Dalam buku tersebut, Boedi Harsono menjelaskan, tujuan pelarangan kepemilikan tanah absentee adalah untuk memberikan hasil dari tanah pertanian agar bisa dinikmati oleh masyarakat perdesaan tempat letak tanah pertanian. Hal ini dikarenakan apabila pemilik tanah bertempat tinggal di daerah tanah tersebut, hasil pertaniannya akan lebih maksimal.

Larangan kepemilikan tanah absentee digalakkan untuk mengadang terlantarnya sumber daya tanah serta pengendalian lahan oleh warga negara asing.

Kepemilikan tanah absentee dilarang karena berpotensi menjauhkan cita-cita dan semangat prinsip landreform yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan agraria nasional. Landreform adalah prinsip yang mengedepankan redistribusi lahan pertanian kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan.

Layaknya setiap kebijakan yang tegas demi terwujudnya penegakan hukum, pihak-pihak yang melanggar kepemilikan tanah secara absentee akan dikenai sanksi pidana.

Dasar hukum tanah absentee, khususnya terkait sanksi, terdapat dalam Pasal 3 ayat (5) dan (6) PP No. 224 Tahun 1961 (Lembaran Tahun 1961 No. 280).

Meski demikian, terdapat beberapa pihak yang dikecualikan dari larangan tanah absentee yang mengikat ini.

Siapa Saja yang Dikecualikan dari Larangan Absentee?

Pihak yang dikecualikan dalam kepemilikan tanah absentee sesuai peraturan tanah absentee terbaru adalah pegawai negeri. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1977 Tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

Disebutkan dalam poin a PP No. 4 Tahun 1977, “Bahwa para pegawai negeri dikecualikan dari ketentuan mengenai larangan untuk memiliki tanah pertanian secara guntai (absentee) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 280) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 112).”

Di poin b dijelaskan pengecualian tersebut tidak berlaku bagi para Pensiunan Pegawai Negeri. Hal ini dikarenakan umumnya pegawai negeri yang sudah pensiun dianggap akan sulit dapat berpindah tempat tinggal di daerah kecamatan letak tanah yang dimiliki.

Namun, merujuk pasal 2, khusus pensiunan pegawai negeri, kepemilikan tanah absentee tetap dibolehkan. Syaratnya, maksimal kepemilikan tanah absentee di Daerah Tingkat II adalah dua per lima (2/5) bagian dari total luasan.

Ketentuan di atas juga berlaku bagi janda pegawai negeri. Termasuk pula janda pensiunan pegawai negeri, dengan syarat dirinya tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.

Baca juga artikel terkait KEPEMILIKAN TANAH atau tulisan lainnya dari Aisyah Yuri Oktavania

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Aisyah Yuri Oktavania
Penulis: Aisyah Yuri Oktavania
Editor: Fadli Nasrudin