tirto.id - “Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk karena menghisap keringatnya orang-orang [yang] diserahi menggarap tanah itu.”
Demikian sepenggal pidato Presiden Sukarno dalam menyambut Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1960 di Jakarta. Pidato berjudul “Laksana Malaekat yang Menyerbu dari Langit, Jalan Revolusi Kita” itu dibacakan satu bulan sebelum peristiwa pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang pertama. Melalui reformasi agraria, praktik pengisapan tenaga petani akibat kolonialisme dan feodalisme dapat segera dihapus.
“Landreform di satu fihak berarti penghapusan segala hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, dan mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, di lain fihak landreform berarti memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia terutama kaum tani,” kata Bung Karno.
UUPA yang disahkan pada 24 September 1960 adalah peraturan yang secara khusus menghapus hak eigendom atas tanah. Secara umum, pelaksanaan reformasi agraria pertama di Indonesia meliputi larangan menguasai tanah pertanian melampaui batas, dan batas kepemilikan tanah.
Dengan peraturan ini, status tanah partikelir yang semula berada di tangan pengusaha perkebunan Belanda, dihapus dan dialihkan menjadi tanah hak guna usaha. Kondisi ini memungkinkan setiap warga negara Indonesia, khususnya petani penggarap, mendapat hak kepemilikan atas sebidang tanah.
Namun saat pertama kali diterapkan, UUPA bukan tanpa kendala. Andi Achdian dalam skripsinya di Universitas Indonesia yang berjudul “Tanah bagi yang tak bertanah landreform pada masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965” (1996), menuturkan bahwa UUPA yang keluar bersamaan dengan UU Pokok Bagi Hasil pada hakikatnya tidak punya cukup kekuatan untuk menggoyang kekuasaan pejabat daerah.
Kecurangan sistematis yang berkombinasi dengan resistensi pemilik tanah yang tidak ingin kehilangan haknya menciptakan situasi yang tidak berpihak pada petani kecil. Walhasil, pelaksanaannya di lapangan sangat berantakan.
“Persekongkolan ini membuat luas tanah pertanian yang siap dibagikan menjadi berkurang 1 persen dari luas keseluruhan,” tandasnya.
Persengkongkolan antara pejabat desa dan petani kaya yang umumnya merangkap tuan tanah pun tidak terelakkan. Mereka dengan mudah menarik keuntungan dari setiap pembagian tanah kepada petani penggarap. Tidak heran jika kemudian timbul aksi sepihak dari organisasi radikal yang menuntut percepatan program reformasi agraria.
Sebagai program yang populis, reformasi agraria seringkali dikambinghitamkan sebagai hasil kampanye kelompok komunis. Hal ini terjadi berbarengan dengan kegiatan PKI yang tengah gencar menyebarluaskan ideologinya di kalangan kaum tani. Singkatnya, situasi politik sepanjang tahun-tahun tersebut berperan menimbulkan sengketa tanah yang lebih sengit lagi.
Aspirasi PKI dalam Reformasi Agraria
Gagasan tentang pemecahan masalah agraria di Indonesia pertama kali diungkapkan secara terbuka oleh Sukarno dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1959. Selain menjadi salah satu penanda berdirinya struktur kekuasaan Demokrasi Terpimpin, pidato itu juga menguraikan pokok penting persoalan agraria di Indonesia. Baru pada awal tahun 1960, pembahasan lebih serius berupa pengesahan UU Pokok Agraria mulai dilakukan.
Terlepas dari UUPA yang terlihat seperti produk percobaan sistem kekuasaan Demokrasi Terpimpin, sejatinya gagasan ini tidak muncul dalam semalam. Pakar sosiologi perdesaan dan agraria, Gunawan Wiradi, menyebut UUPA telah melalui proses peninjauan selama 12 tahun dengan pergantian kepanitian sebanyak lima kali. Semuanya bermula dari pembentukan Panitia Agraria di Yogyakarta pada 1948.
Di masa-masa awal berdirinya Republik, keputusan pemerintah mendahulukan persoalan tanah dan kesejahteraan petani di Jawa mendapat dukungan dari semua partai politik. Kaum tani sebagai penduduk mayoritas di perdesaan dianggap patut mendapat hak mereka atas kepemilikan tanah. Melalui cara ini percepatan pertumbuhan produksi berbasis agraria dapat segera dilaksanakan.
“Tujuan yang hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera,” papar Wiradi dalam sebuah presentasi berjudul "Sejarah UUPA 1960 dan Tantangan Pelaksanaannya Selama 44 Tahun" (2004).
Namun setelah Pemilu 1955, kondisi politik Indonesia sudah benar-benar berubah. Perbedaan pendekatan berpikir yang kapitalistik dan sosialis tiba di titik yang tidak terdamaikan. Bahkan terdapat pandangan keliru yang menyamakan paham sosialis dengan komunisme. Akibatnya, usaha pemerintah memberikan hak tanah kepada kaum tak bertanah malah dinilai condong kepada agenda PKI.
“Dinamika politik dunia dalam konteks perang dingin yang makin menajam waktu itu, berdampak terhadap percaturan politik domestik, sehingga sikap partai-partai politik terhadap pelaksanaan reforma agraria pun menjadi sangat beragam,” catat Wiradi.
Menurut Wiradi, aksi sepihak yang dilancarkan PKI pun menambah rumit keadaan. Sejak tahun 1959, partai pimpinan DN Aidit itu mulai mendekatkan diri kepada Barisan Tani Indonesia (BTI). Sejak dibentuk pada 1945, organisasi tani ini mendulang reputasi di kalangan petani penggarap perkebunan tebu dan tembakau peninggalan pengusaha Belanda.
Hal ini kemudian menjadi salah satu pembahasan dalam laporan umum Kongres ke-VI PKI pada 16 September 1959. Aidit menegaskan bahwa pembentukan front nasional dengan jalan memperkuat ideologi partai hanya bisa dilakukan melalui bantuan massa kaum tani.
“Front nasional tanpa basis persekutuan erat antara kaum buruh dan kaum tani, dan tanpa dipimpin oleh kelas buruh, tidak mungkin menjadi senjata yang kuat,” tulis Ketua Comite Central PKI itu dalam bunga rampai Untuk Bekerja Lebih Baik di Kalangan Kaum Tani (1958: 7).
Ketika UUPA disahkan, PKI sudah menjadi partai politik yang garis politiknya tidak bisa dipisahkan dari gerakan kaum tani. Baik PKI maupun BTI sama-sama mengembangkan semangat revolusi agraria yang anti-feodalisme dan anti-imperialisme. Mereka mengembangkan pendekatan radikal agar tanah-tanah di desa yang dikuasai tuan tanah feodal dan orang-orang asing dibagi secara cuma-cuma kepada petani penggarap. Aidit bahkan menyatakan bahwa sistem pertanahan yang kerap menimbulkan sengketa tidak ada bedanya dengan feodalisme.
Menurut catatan Andi Achdian, sampai tahun 1963, pelaksanaan landreform berjalan tersendat-sendat akibat kecurangan-kecurangan pejabat daerah di lapangan. Aksi kaum tani yang digerakkan oleh kader PKI dan BTI di daerah pun pecah perlahan-lahan. Aksi sepihak pertama kali dilaporkan terjadi di Klaten pada Februari 1964 dan bergerak ke wilayah lain sampai pertengahan tahun 1965.
Sampai ketika peristiwa 30 September 1965 menggegerkan Indonesia, program landreform buatan pemerintah Demokrasi Terpimpin dianggap belum mencapai hasil yang diharapkan. Program ini lantas diabaikan pemerintah Orde Baru yang tidak tertarik melaksanakan reformasi agraria.
Gunawan Wiradi yang mengutip Ben White, Professor Emeritus Sosiologi Pedesaan pada International Institute of Social Studies (ISS), Den Haag, menyebut pelaksanaan UUPA 1960 di Indonesia sebagai suatu peristiwa yang tragis dan ironis.
Editor: Irfan Teguh Pribadi