Menuju konten utama
Mozaik

Perang & Dakwah, Kisah di Balik Hari Jadi Kota-Kota di Indonesia

Hari jadi sejumlah kota di Indonesia diambil dari tanggal peristiwa yang sangat jauh di belakang, melampaui titimangsa pendirian republik.  

Perang & Dakwah, Kisah di Balik Hari Jadi Kota-Kota di Indonesia
Header Mozaik Hari Jadi Kota-Kota. tirto.id/Gery

tirto.id - Salah satu perayaan rutin yang digelar pemerintah di Indonesia adalah Hari Ulang Tahun (HUT) kota, yang biasanya dirangkai dengan perhelatan pariwisata dan budaya, seperti berbagai atraksi dan lomba.

Bagaimana kota-kota menentukan hari jadi mereka, baik dari aspek politis maupun historis?

Penetapan hari jadi kota-kota di Indonesia sebenarnya tidak segampang memilih satu tanggal. Definisi kota sendiri belum benar-benar tuntas sampai sekarang, apalagi jika yang disebut "kota" itu lahir di masa lalu.

Kosakata Inggris mengenal dua istilah, yakni city dan town, serta Belanda membedakan antara stad dan stadje, menunjukkan gagasan pemisah antara kota kecil dan kota sedang atau besar. Sementara kata "kota" dalam bahasa Indonesia sering kali kabur.

Dan hal demikian lebih rumit lagi jika menyebut "sejarah kota". Apakah kota yang sekarang, pada tanggal yang diklaim sebagai hari lahirnya merupakan sebuah kota dalam definisi modern?

Untuk memperoleh gambaran alasan penetapan hari jadi kota, dapat kita urai sejarah hari jadi beberapa kota berikut.

Palembang, Dari Masa Sangat Lampau

Palembang disebut sebagai kota tertua di Indonesia karena hari jadinya ditetapkan tanggal 17 Juni 688. Tanggal ini merujuk pada Prasasti Kedukan Bukit yang menyatakan pembentukan sebuah pemukiman (wanua) yang ditafsirkan sebagai kota pada tanggal 16 Juni 688 Masehi di wilayah Palembang sekarang. Ada selisih satu hari antara tanggal penetapan dan tanggal rujukan.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh CJ Batenburg pada 29 November 1920, tapi baru dipublikasikan pada tahun 1924 oleh van Ronkel dan dikaji secara filologis oleh Krom tahun 1926.

Namun, ada bagian yang hilang dari baris ke-8 prasasti dalam huruf Pallawa bahasa Sanskerta tersebut, yang seharusnya diisi dengan nama atau angka bulan pembentukan permukiman.

Kemudian, dengan merujuk fragmen prasasti-prasasti lain yang ditemukan setelahnya, sejarawan lain (JG De Casparis dan Boechari) "mengisi" bagian yang hilang itu dengan kata âsâda, sehingga muncullah penanggalan 16 Juni 1688. Kata wanua dalam bahasa Melayu lama bisa merujuk permukiman secara umum, desa, negeri, atau bahkan negara, jadi belum tentu berarti kota.

Selisih hari jadi dengan tanggal rujukan pada prasasti tersebut menimbulkan pertanyaan dari sejumlah pihak, khususnya yang memahami sejarah.

Namun, keputusan ini ditetapkan pada 6 Mei 1972 oleh Wali Kota Palembang, RA Arifai Tjek Yan, setelah serangkaian diskusi dengan tim perumus hari jadi. Alasan memundurkan hari jadi ke 17 Juni supaya lebih mudah diingat karena 17 kerap dianggap angka sakral di Indonesia.

Tanjung Pinang, Pengkhianatan Kompeni

Kota lainnya yang menarik dibahaa adalah Tanjung Pinang di Provinsi Kepulauan Riau, yang menetapkan hari jadinya 6 Januari 1784. Tanggal ini merujuk kepada peristiwa peperangan antara Kerajaan Riau, Lingga, Johor, Pahang dengan VOC Belanda dalam kurun 1782-1784.

Pada 6 Januari 1784, Kerajaan Riau di bawah pimpinan Raja Haji Fisabilillah berhasil memukul mundur pasukan Belanda serta menghancurkan kapal Belanda het Malaks Welvaren. Hal ini membuat Belanda menarik mundur seluruh pasukannya ke Malaka.

Peristiwa tersebut sudah dikaji oleh penulis dan pejabat Belanda, Elisa Netscher (1825-1880), dalam karyanya Beschrijving van een gedeelte der residentie Riouw (1854).

Pemicu perang antara Riau dengan Belanda pada 1782-1784 adalah kesewenang-wenangan Gubernur VOC terhadap Raja Haji dan orang-orang Riau yang telah bermaksud baik menyerahkan hasil rampasan dari kapal Inggris Betsy yang tanpa izin memasuki Riau. Ini sesuai perjanjian persahabatan Riau-Belanda untuk menghukum upaya akses ilegal kapal-kapal bangsa Eropa non Belanda.

Bukannya berterima kasih, kapal dan seisinya justru disita dan dijual hanya untuk kepentingan VOC, sehingga Raja Haji memaklumkan perang. Di tanggal yang ditetapkan sebagai hari jadi tersebut, kapal-kapal Belanda secara serentak menembaki pertahanan pasukan Riau dengan komponen utama orang-orang Bugis. Mereka pun mencoba melakukan pendaratan di Tanjung Pinang.

Namun, upaya ini gagal karena pasukan Riau melakukan serangan balasan besar-besaran. Salah satu kapal penting VOC meledak dan kapal-kapal lain rusak parah. VOC kemudian balik kanan ke pos mereka di Malaka.

Tanjung Pinang saat itu telah berabad-abad menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh suku-suku bangsa lain di Nusantara dan juga bangsa-bangsa Timur asing lainnya, terutama Cina dan India, sebelum VOC memaksakan aturan monopoli.

Kemundurannya yang drastis sebagai pusat perdagangan terjadi setelah Singapura didaulat Inggris jadi pelabuhan penting yang baru. Jadi, wilayah tersebut boleh jadi termasuk kategori kota di Nusantara bahkan jauh sebelum 1784.

Alasan mengapa tidak mengambil hari jadi ke tanggal di abad-abad sebelumnya kemungkinan karena faktor ketiadaan sumber sejarah yang valid kapan Tanjung Pinang mulai menjadi permukiman penting. Sehingga, akan lebih praktis menjadikan satu tanggal kejadian heroik yang telah terverifikasi sebagai hari jadi kota.

Padang, Pertempuran Melawan VOC

Hampir sama dengan Tanjung Pinang, penetapan hari jadi Kota Padang merujuk kepada peristiwa heroik penduduk lokal melawan kekuatan VOC, dengan puncak pertempuran pada 7 Agustus 1669. VOC sudah bercokol di Padang sejak 1663 setelah pindah dari Pulau Cingkuk dan pelan-pelan melenyapkan pengaruh Aceh di seluruh pantai barat Sumatra.

Sebagai catatan, tanggal dan kejadian pemberontakan ini tidak disebut sedikit pun dalam tulisan para pakar Belanda tentang Sumbar, seperti EB Kielstra, de Stuers maupun Elisa Netscher. Boleh jadi, ada sumber-sumber Belanda lain yang merujuk tanggal tersebut dan di luar pengetahuan penulis.

Namun, kiranya, jika peristiwa tersebut memang signifikan, tentu kekeliruan fatal para penulis Belanda abad ke-19 yang bebas mengakses arsip lama pemerintahan Belanda tersebut sama-sama luput mencatatnya.

Dari tulisan EB Kielstra, Onze Kennis van Sumatra’s Westkust, diketahui Belanda tertarik dengan Padang justru setelah diundang oleh Panglima Aceh untuk berdagang pada 1660.

Sebelum tahun itu, Padang sudah menjadi salah satu tempat perdagangan terpenting di pantai barat Sumatra khususnya komoditas lada dan emas, biasa menerima para pedagang dari India, Portugis, dan Inggris.

Jadi, sudah merupakan sebuah kota atau negeri yang cukup ramai dalam pemahaman saat itu. Kedatangan VOC semakin memarakkan negeri ini dengan mulai membangun gudang-gudang serta kantor-kantor dan permukiman Eropa.

Akan tetapi, perlawanan rakyat sekitar Padang terhadap VOC bukan sekali dua. Perang tiga tahun sebelumnya, 1666, justru yang terbesar dan amat fatal bagi VOC karena komisarisnya, Gruys, serta ratusan prajurit Eropa tewas di tangan orang-orang Pauh dan Aceh akibat salah perhitungan dan terlalu meremehkan.

Pada 1670, markas VOC kembali dikepung gabungan kekuatan Aceh, Pauh, dan Koto Tangah. Sembilan tahun kemudian, 1679, orang-orang Pauh dengan XIII Kota bersekutu menyerang benteng VOC di Padang.

Warsa 1688, juga terjadi pemberontakan yang segera dipadamkan. Di abad ke-18, juga terjadi sejumlah perang antara VOC dengan penduduk pribumi. Serangan ke loji VOC tanggal 7 Agustus 1669 tidak pernah disebut oleh tulisan EB Kielstra tersebut.

Sang penulis hanya menyebut terbakarnya gudang besar VOC pada malam 5 Agustus 1669 akibat kecerobohan seorang anggota garnisun menyalakan lampu di kamarnya.

Proses penetapan hari jadi Kota Padang pun tidak singkat dan sederhana. Diputuskan dalam SK Wali Kota pada 1986 setelah suara bulat DPRD, proses diskusi panjang yang melibatkan publik dan rapat-rapat tim perumus sudah dimulai jauh hari sejak 1974. Sampai saat ini, tidak ada polemik serius yang mempertanyakan alasan sesungguhnya dari pemilihan tanggal hari jadi Kota Padang.

Makassar, Masuknya Islam

Salah satu kota yang diketahui pernah mengubah hari jadinya adalah Makassar. Awalnya, kota terbesar di kawasan timur Indonesia ini mengambil tanggal pembentukan stadgemeente Makassar atau pemerintahan kota otonom pada 1 April 1906 melalui keputusan Gubernur Sulawesi Hindia Belanda saat itu, Henri Nicolas Alfred Swart.

Selain Makassar, yang telah membentuk stadgemeente adalah Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya. Maka itu, hari jadi Makassar awalnya diperingati setiap 1 April.

Namun, setelah nyaris satu abad dipakai, tanggal peringatan tersebut berubah dengan terbitnya Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2000. Yang menjadi rujukan adalah momen masuknya Islam ke Makassar yang dibawa oleh Dato' Ri Bandang asal Minangkabau, seorang ulama yang berhasil mengislamkan Raja Gowa dan Raja Tallo pada 1605.

Setelah dua tahun penyebaran Islam, di hari Jum’at tanggal 9 November 1607 diadakan salat Jumat pertama di Mesjid Tallo di mana dinyatakan secara resmi bahwa penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk Islam. Waktu ini juga diadakan salat Jumat di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Maka hari jadi Makassar selanjutnya diperingati setiap tanggal 9 November.

Infografik Mozaik Hari Jadi Kota-Kota

Infografik Mozaik Hari Jadi Kota-Kota. tirto.id/Gery

Mengubah Hari Jadi Lebih Relevan

Sejarah penetapan hari jadi di empat kota tersebut menunjukkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan cukup beragam.

Palembang merujuk ke masa lalu yang cukup jauh untuk menunjukkan pembentukan permukiman awal seiring pendirian Sriwijaya. Hal yang memancing penasaran adalah apakah saat itu definisi kota atau kota kecil sudah dapat dilekatkan pada wanua dimaksud.

Tanjung Pinang dan Padang memiliki alasan yang hampir sama, merujuk pada peristiwa heroik penduduk lokal terhadap penjajahan Eropa.

Yang dipilih adalah kejadian yang diketahui paling perdana menjadi peristiwa heroik paling signifikan. Meskipun, pada saat sebelum kejadian berlangsung tidak ada perubahan pada entitas ke-kota-an dua tempat dimaksud.

Baik Tanjung Pinang maupun Padang sudah merupakan pelabuhan ramai bahkan sebelum kedatangan bangsa Eropa, dengan kata lain sudah merupakan sebuah "kota" dalam pengertian masa lampau.

Misalnya jika nanti ada catatan sejarah lain yang menyebutkan ada peristiwa heroik lebih perdana dan lebih signifikan dibanding tanggal yang dipilih sebagai hari jadi, apakah ada kemungkinan mengubahnya?

Makassar menjadi contoh bahwa merevisi hari jadi bukanlah pelanggaran hal sakral, cukup dengan menerbitkan peraturan daerah, sama halnya dengan penetapan hari jadi tiga kota sebelumnya dengan penetapan wali kota.

Pada kasus Makassar, tanggal hari jadi yang mulanya berbau kolonial, diubah ke tanggal lain terjadinya momen yang memiliki relevansi lebih khas kedaerahan dan arti lebih simbolis, memadukan sejarah, budaya lokal, dan dakwah Islam.

Di sisi lain, mungkin ada yang penasaran mengapa hari jadi yang dipilih justru jauh lebih tua dari berdirinya Negara Republik Indonesia. Mengapa misalnya tidak mengambil satu tanggal pembentukan pasca kemerdekaan karena memiliki bukti dan catatan lebih kuat.

Baca juga artikel terkait HARI ULANG TAHUN atau tulisan lainnya dari Novelia Musda

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi