tirto.id - Makan gonggong di Pulau Penyengat
Lengkap rasanya menengok Benteng Kursi
Gurindam Dua Belas akan selalu kuingat
Sebagai nasihat karya Ali Haji
Itulah sebuah pantun yang diucapkan seorang rekan saya bernama Heri Cahyadi saat meninggalkan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Kamis (28/11/2019). Saya dan enam rekan lainnya berkesempatan mengunjungi kota di hulu Riau ini selama empat hari dan yang paling mengesankan adalah saat mengunjungi Pulau Penyengat.
Pulau kecil ini terletak di gugusan Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Meski kecil, pulau ini menyimpan berbagai cerita sejarah bahkan dulunya pulau ini menjadi pusat keilmuan, tak hanya agama tapi juga bidang-bidang keilmuan lainnya.
Atas peran ini, Pulau Penyengat juga dinobatkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional pada tahun 2018 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam lembar Keputusan Menteri No.112/M/2018.
Keputusan Menteri ini memutuskan bahwa Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat menjadi Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional, dengan luas lahan 91,15 hektare dan memiliki 46 buah peninggalan Cagar Budaya.
Berbicara mengenai budaya Melayu, sulit dilepaskan dari keberadaan Pulau Penyengat ini. Meski kecil, pulau ini pernah menjadi pusat kajian Melayu Islam yang ternama. Tak hanya soal agama, berbagai disiplin ilmu juga pernah ada di pulau ini.
Siapa tak kenal Raja Ali Haji, pencipta Gurindam Dua Belas. Selain Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji juga dianggap sebagai peletak dasar gramatika Bahasa Melayu yang kelak disebut Bahasa Indonesia. Ada dua karyanya yang menunjukkan ia sebagai peletak cikal bakal Bahasa Indonesia yakni Bustan al-Katibin, yakni mendeskripsikan tata cara penulisan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan Arab-Melayu.
Ada pula Kitab Pengetahuan Bahasa yang merupakan kamus bahasa Melayu, yang mula-mula terbit pada tahun 1929 di Singapura.
"Atau sekarang disebut KBBI [Kamus Besar Bahasa Indonesia]," kata pegiat pariwisata Tanjungpinang Raja Farul yang menjadi pemandu wisata saya di Pulau Penyengat dan Tanjung Pinang.
Di pulau ini juga menjadi gudang naskah-naskah kuno keilmuan. Pada 1886, Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi telah mendirikan sebuah perpustakaan umum di Pulau Penyengat yang dikenal sebagai Khutub Kanah. Perpustakaan ini memiliki ribuan koleksi yang dibeli atau pun hadiah langsung dari Mesir, Madinah dan India.
Naskah Kuno Minim Perawatan
Pendirian perpustakaan ini dilakukannya karena ia ingin masyarakat Kerajaan Riau Lingga saat itu tak perlu keluar dari Pulau Penyengat untuk bisa mendapatkan banyak ilmu. Salah satu kitab ternama dalam perpustakaan ini adalah al-Qanun fi al-Tibb, yakni ensiklopedi tentang kedokteran yang ditulis Ibnu Sina.
Naskah Perjalanan Istinthaq setebal 36 halaman berisi tentang astronomi juga ada di pulau ini. Ada semacam kajian ilmu falak disertai gambar dan simbol-simbol. Yang menarik dari naskah itu, selain deskripsi tentang astronomi yang mengisyaratkan pemahaman yang baik penulisannya atas dunia perbintangan dan ilmu falak, juga dalam setiap pasalnya, diawali dahulu dengan semacam keterangan yang disusun dalam bentuk syair berirama.
Perpustakaan pun ini seakan memberi bukti bahwa di Riau pernah tampil pemegang pemerintahan yang punya sentuhan budaya atau pejabat yang bernafaskan cendekiawan. Itulah mengapa Riau menjadi pusat bahasa dan budaya Melayu dalam abad ke 19, yang tak dapat dilepaskan dari peranan pustaka ini.
Apalagi dulu di pulau ini berdiri perkumpulan cendekiawan Melayu dengan nama Rusydiah Club. Lengkap pula ada percetakan di pulau ini. Dibandingkan Budi Oetomo yang berdiri pada 1908, perkumpulan ini telah lebih dulu berdiri pada 1890.
Dulu naskah-naskah ini tersimpan dalam Istana Al-Ahmadi, kediamannya. Namun, kondisi bangunan istana yang kian memprihatinkan mengakibatkan naskah-naskah ini dipindahkan ke dalam dua lemari dan diletakkan di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat.
Sekira 1.200 judul kitab kini kondisinya memprihatinkan akibat semakin tuanya usia kertas-kertas kitab tersebut. Warga Pulau Penyengat termasuk ketua pengurus masjid, Raja Abdurrahman mengakui kurang tahu cara merawatnya.
"Kami hanya memberikan kapur barus atau cengkeh kadang-kadang ya. Jadi kitab-kitab yang ada di lemari ini rusaknya bukan karena kutu atau segala macam tapi ya sudah dimakan usia, sudah lapuk ya," ucapnya.
Pernah sekira tahun 1960-an ada upaya membuat katalog, namun kini tak tahu lagi siapa pemegang katalog tersebut. Pengurus masjid yang terus berganti menjadi penyebab tak tahu siapa yang terakhir menjadi pemegang katalog ini.
Hanya sebagian kecil yang bisa diselamatkan dan disimpan di Arsip Nasional dan ada pula yang disimpan di Balai Maklumat.
Ironisnya, Raja Abdurrahman sebagai pemegang kunci lemari mendapatkan janji dari berbagai pihak untuk memperbaiki naskah-naskah ini. Namun, janji itu langsung menguap ketika para tamu meninggalkan Pulau Penyengat.
"Banyak yang datang janji-janji setelah itu pulang begitu aja," katanya.
Raja Farul, pemandu wisata saya yang juga merupakan warga asli Pulau Penyengat mengatakan kebanyakan naskah-naskah ini ditulis dengan huruf Arab gundul, yang membuat warga asli sulit untuk menafsirkannya. Baru sedikit naskah-naskah ini yang dialihbahasakan ke Arab-Melayu tetapi tetap saja terbatasnya kemampuan warga Penyengat saat ini membuat mereka tak bisa memahami seluruhnya.
"Kendala membaca Arab-Melayu ini di buku-buku naskah lama adalah sama kayak membaca tulisan tangan, kadang titik dan bentuk hurufnya beda," kata Farul.
Memang ada pemuda-pemudi Penyengat yang mengenyam pendidikan di pesantren dan mempelajari tulisan Arab gundul. Namun, mereka belum mau memfokuskan dirinya untuk membaca dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia.
Padahal, proses penerjemahan ini bisa menjadi cara untuk melestarikan naskah-naskah ini dan memiliki nilai manfaat tak hanya masyarakat Indonesia tetapi juga bagi bangsa Indonesia.
"Kadang-kadang ya setelah mereka kembali kan dapat pekerjaan lain jadi ya gak bisa mereka fokus menerjemahkan naskah," ucap Farul.
Tak Ada Dana Perawatan Naskah
Raja Abdurrahman juga mengakui ketiadaan dana menjadi persoalan untuk melestarikan naskah-naskah ini. Banyak yang menawarkan diri untuk menerjemahkan dan juga mereproduksi naskah secara cuma-cuma, tapi pihak pengurus masjid tak enak hati bila tak mengeluarkan dana sepeser pun untuk melayani mereka.
Tapi mereka juga tak mau kitab-kitab ini dibawa ke luar Pulau Penyengat, apalagi pernah ditawarkan untuk diperbaiki oleh orang Sabah, Malaysia.
"Tentu saja kami tak bersedia, itu akan jadi masalah buat kami," katanya.
Dato' Teja Alhabd, salah seorang penyair ternama di Provinsi Kepulauan Riau berharap adanya anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk melakukan pelestarian terhadap naskah-naskah kuno ini.
Ia melihat selama ini upaya melestarikan atau merawat naskah-naskah kuno hanya dilakukan secara pribadi atau kelompok saja. Itu pun hanya sekadar menyimpan saja sehingga perlu adanya komunikasi antara pemerintah pusat maupun daerah dengan masyarakat Pulau Penyengat.
Pemerintah pusat, kata Dato' Teja juga harus segera mendata kembali literatur-literatur keilmuan yang ada di seluruh nusantara, tak hanya di Penyengat saja.
"Instruksikan kepala-kepala daerah untuk lakukan ini, [pendataan literasi] harus disegerakan," jelas Dato' Teja.
Sementara itu Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi dan Seni Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Tendi Nuralam mengatakan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) lembaganya tak memiliki kewenangan untuk melakukan pelestarian langsung terhadap naskah-naskah kuno ini.
Kata Tendi, lembaganya lebih pada memanfaatkan naskah-naskah kuno ini agar bisa lebih dikenal wisatawan, baik wisawatan domestik maupun wisatawan mancanegara. Mempromosikan Pulau Penyengat dan wisata sejarah Tanjung Pinang merupakan salah satu yang diupayakan Kemenparekraf.
"Seperti kami tahun depan akan melakukan untuk dibuat mikronya, ya biar lebih lestari," ucap Tendi kepada reporter Tirto.
Tentunya, kata Tendi, pihaknya juga selalu bekerja sama dengan masyarakat Pulau Penyengat agar bisa naskah-naskah atau kitab-kitab keilmuan ini dikenal luas masyarakat.
"Karena kami juga harus musyawarah dengan pemuka masyarakat," pungkas Tendi.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri