Menuju konten utama

"Kalau Mau Serius, Perawatan Naskah Kuno Tidak Mahal"

Manuskrip atau naskah kuno asal Indonesia tak semuanya tersimpan di dalam negeri melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan lainnya. Sebagian tersimpan di luar negeri khususnya di Belanda. Benarkah lebih banyak naskah yang tersimpan di negara orang?

Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando Foto/dok.pribadi]

tirto.id - Sebanyak 26 ribu manuskrip atau naskah kuno asal Indonesia disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden di negara Belanda. Sementara di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) jumlahnya sekitar 16 ribu. eMeski koleksi Leiden lebih besar, ternyata dalam hal substansi, koleksi di Perpusnas lebih lengkap.

“Semua guru besar dan peneliti di Indonesia mengatakan, data di Perpusnas lengkap,” kata Syarif Bando, Kepala Membaca Perpusnas, saat ditemui tirto.id, di kantornya, pada Jumat (2/9/2016).

Apa kendala pihak Perpusnas dalam upaya pelestarian naskah-naskah kuno? Benarkah anggaran untuk pelestarian naskah begitu kecil dibanding pagu anggaran dunia pendidikan yang mencapai Rp400 triliun?

Berapa banyak koleksi naskah kuno milik Indonesia yang berada di luar negeri?

Memang banyak kalau di Leiden karena Belanda pernah menjajah kita. Seluruh naskah kuno yang ada di negara jajahannya dikumpulkan. Kalau data resmi tidak ada, hanya perkiraan sekitar 26.000 yang ada di Leiden. Apalagi Leiden pernah memberikan duplikat naskah sebanyak 20.000 kopi ke Indonesia. Tapi setelah diseleksi, kita hanya butuh 4.000 kopi karena 16.000 sisanya sudah ada di Perpusnas.

Kemudian naskah yang dalam bentuk digital, sampai hari ini kita sudah punya kurang lebih 4.300-an. Duplikat naskah manuskripnya kita punya kurang lebih 10.300 naskah. Kalau microfilm dalam berbagai topik ada sekitar 4.329 naskah.

Naskah itu jenisnya ada dua, yakni microfilm yang sudah di-scan, dimasukkan microfilm dan dibaca dengan microreader. Juga ada naskah kuno yang total 14.300 naskah. Sebanyak 10.300 naskah sudah dimiliki Perpusnas sejak awal, sedangkan 4.000 naskah dari Leiden. Dibandingkan yang ada di Leiden sebanyak 26.000, kita sudah punya separuhnya.

Benarkah biaya perawatan naskah kuno di Indonesia mahal?

Pelestarian atau konservasi namanya. Biaya pelestarian naskah kuno tidak mahal. Hanya pengerjaannya harus diserahkan kepada orang yang punya keahlian, yakni konservator yang memiliki profesi keahlian di bidang profesi naskah kuno. Sebab peralatan yang kita butuhkan itu scanner. Mungkin itu yang mahal.

Tergantung mereknya, ada produk Jerman, ada produk Jepang. Paling mahal Rp1,8 miliar buatan Jerman. Lalu ada storage atau tempat penyimpanan yang tahan terhadap perubahan cuaca, karena umumnya naskah sudah sangat tua. Manuskrip atau naskah kuno itu ada yang sudah lebih dari 50 tahun. Jadi memang tidak ada jalan lain kecuali dialihmediakan.

Untuk alih media ke microfilm kita butuh personal computer, scanner, microfilm, juga kamera digital. Termasuk kertasnya untuk proses scan digital dan pdf. Jadi sebetulnya tidak terlalu mahal kalau kita mau serius. Cuma memang yang justru yang kita prioritaskan mengeksplorasi isi naskah kuno untuk melempar ke masyarakat sebagai informasi yang penting. Karena subtansi naskah kuno itu me-review ilmu-ilmu yang sudah ada sebelumnya dari perkembangan yang sudah ada sekarang.

Apakah Indonesia kekurangan konservator?

Konservator merupakan suatu keahlian sendiri seperti dokter. Kalau kita melaminating lalu mengubah bentuknya, nanti dikira penjilidan. Ilmunya khusus memang. Misalnya jangan memegang bahan perpustakaan kalau tangan kotor atau berminyak. Jangan dilipat atau ditulisi sebab nanti harus diperbaiki.

Manuskrip itu ada yang sudah berumur lebih dari 50 tahun, sehingga bahan bakunya rapuh. Makanya Perpusnas mengambil peran konservator untuk menyelamatkan informasi yang ada di dalamnya. Konservasi itu menyangkut penyelamatan naskah kuno dan informasi yang ada di dalamnya.

Dialihmediakan lalu dialihaksarakan. Alih bahasa itu hal pertama yang membuat mahal. Ketika mau alih bahasa, perlu tiga ahli bahasa. Misal ahli bahasa Belanda, ahli bahasa Indonesia dan ahli kesusastraan.

Biaya mahal kedua saat memverifikasi. Mau alih media dulu atau alih bahasa dulu? Tapi mana yang lebih dulu, hanya masalah persepsi. Tidak ada aturan bakunya. Tapi saya pastikan, kita lebih penting mengejar ketersediaan informasi ke masyarakat daripada tetek-bengek.

Seberapa penting naskah nasional menyumbang ilmu pengetahuan?

Teman saya seorang profesor bahasa Belanda, dia menelusuri semua naskah kuno yang ada di tempat kami. Katanya, soal kemaritiman sudah ada jurnal yang membicarakan Indonesia yang memiliki panjang pantai kedua di dunia.

Semua guru besar dan peneliti di Indonesia mengatakan, data di Perpusnas lengkap. Kita harus menghilangkan mitos kalau naskah kuno Indonesia di Belanda lebih lengkap sehingga kita harus belajar ke sana. Untuk menghindari biaya yang besar belajar di sana, cukup di Perpusnas saja dan tidak perlu ke Belanda.

Jadi ke depan, berapapun naskah kuno yang kami miliki, hal penting yang dibutuhkan masyarakat adalah subjek bahasanya. Itu yang kami angkat ke permukaan. Persoalan bagaimana mendalaminya, ya silahkan datang ke Perpusnas.

Jadi apa kendala utama dalam hal konservasi ini?

Kami sudah punya konservator. Tapi kendala yang fundamental adalah anggaran Perpusnas yang kecil. Kami harus membagi anggaran dengan seluruh perpustakaan di Indonesia, mulai dari SD, SMP, SMA, universitas, perpustakaan desa, perpustakaan kecamatan, perpustakaan kabupaten, perputakaan provinsi dan perpustakaan khusus. Total jumlahnya sekitar 250.000 perpustakaan.

Jadi banyak yang harus diperhatikan. Memang pelestarian konservasi naskah kuno kecil sekali anggrannya. Tapi ke depan kita coba prioritaskan. Kami juga rancang i-pusnas untuk mengupload naskah kuno 6 bulan ke depan.

Berapa sebenarnya anggarannya?

Pagu aggaran 2017 sebesar Rp500 miliar untuk Sabang sampai Merauke. Bayangkan saja, mulai dari membina tenaga perpustakaan, hingga membina tenaga untuk mencetak naskah dari dalam dan luar negeri.

Padahal fungsi kami dengan dunia pendidikan sama. Mereka berpijak UU Nomor 20 tahun 2003, kami UU 43 tahun 2007 tentang “Perpustakaan”. Anggaran pendidikan itu 20 persen dari APBN atau sekitar Rp400 tliliun. Padahal kami termasuk bagian penting dari pendidikan.

Sejak kapan indonesia mulai peduli merawat naskah kuno?

Sejak Perpusnas lahir di tahun 1980 atau semenjak 36 tahun yang lalu. Padahal ada naskah kuno yang dibuat tahun 1800-1700-an. Sudah sangat tua dan baik isinya.

Sistematika konservasinya bagaimana?

Koleksi ini seperti jimat. Mencari jimat di badan orang itu susah. Perlu ketelatenan untuk menelusurinya, sama seperti naskah kuno. Belanda memploklamirkan diri sebagai salah satu negara dengan naskah kuno terbanyak di dunia. Mereka mengklasifikasikan berdasar bangsa yang dijajah. Tapi banyak manuskrip di Indonesia yang hanya bisa disentuh saat hari-hari tertentu. Cara mendapatkannya pun harus dibeli atau semacam memberikan mahar. Adan proses pertukaran. Ada yang menyerahkan sukarela, tapi sebagian dengan harga.

Jadi apapun yang kami kelola, itu yang kami pakai. Biasanya kami tertarik karena subtansi isinya. Manuskrip di Leiden banyak tentang adat istiadat Indonesia, sistem pemerintahan Indonesia sebelum dijajah dan potensi alam Indonesia. Belanda negara pertama yang bilang bahwa negara terkaya di dunia adalah Indonesia. Seluruh kesuburan tanah di Eropa, jika dikumpul jadi satu, tak akan menyamai kesuburan tanah di Jawa. Itu ada di “Babad Tanah Jawi”.

Dari naskah kuno, kita tahu bahwa Belanda tidak pernah invasi ke indonesia, tapi berdagang. Tapi setelah mereka tahu perilaku raja-raja. Dikasih upeti lalu diadu domba. Akhirnya mereka masuk. Sementara raja tidak mau terlihat cela. Makanya bisa dijajah Belanda ratusan tahun.

Berapa nilai mahar untuk pertukaran naskah kuno yang dimiliki masyarakat?

Ribuan tempat saya datangi dan diperlihatkan naskah silsiah keluarga yang mereka jaga jauh lebih berharga dari berlian. Nilai tukarnya relatif, tapi kebanyakan yang penting ada pertukaran. Takut kualat. Lebih banyak yang tidak logis. Pasti Anda tidak percaya kalau saya katakan pertukarannya dengan seekor ayam jantan, sabut kelapa, sepotong gula, atau sebiji pisang.

Banyak naskah yang masih disimpan masyarakat. Kami juga pernah melayani masyarakat yang bersengketa tanah dan asal-usul keluarga berdasar naskah kuno berbahasa Belanda. Itu di Makassar. Kami yang memberi pengesahan atas bahasa Belanda. Naskahnya diteken. Isinya rincian tanah yang mereka miliki. Kita melegalkan. Memang tidak bisa dihitung berapa banyak naskah seperti itu di Indonesia.

Saya sendiri yakin banyak. Kita sebagai negara jajahan, dalam hal naskah menyangkut waris masih banyak dipegang dalam bahasa Belanda. Kita merdeka baru 70 tahun, sedangkan urusan tanah sudah ratusan tahun.

Tapi kami tetap melegitimasi. Dokumen ini, bahasanya ini, kepemilikannya ini, lahirnya ini, tahunnya ini. Kita tidak ada catatan, tapi di seluruh provinsi pernah menangani hal seperti itu.

Setelah mendapatkan naskah kuno, bagaimana proses selanjutnya?

Inventarisasi di buku induk. Lalu konservasinya mulai dari inventarisasi tingkat kerusakan. Mana yang harus dikirim microfilm, alih media, duplikat ulang, mana yang dilaminating atau distribusikan.

Berapa biaya untuk semua proses itu?

Kalau cuma menjilid buku berapa sih? Kami hampir tidak ada biaya untuk pelaksanaan karena hanya perlu scanner, kertas, dll. Tapi seperti yang saya sebutkan tadi, harus ada alatnya.

Negara mana saja yang menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia?

Selain Belanda, misal naskah Panji ada di hampir seluruh negara Asia seperti Myanmar, Thailand, Malaysia, atau Inggris. Sebab Bengkulu dulu jajahan Inggris. Kemudian Belanda menjajah Singapura. Kemudian mereka bertukar. Jadi banyak juga naskah kita di sana.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti