Menuju konten utama

Hilangnya Warisan Budaya Indonesia

Para kolektor asing berani membayar tinggi naskah kuno atau artefak asli Indonesia. Harganya bisa mencapai miliaran rupiah. Pemerintah kurang merespons karena belum fokus dalam pengelolaan warisan budaya.

Hilangnya Warisan Budaya Indonesia
Petugas memperhatikan manuskrip syair Mahabharata versi Jawa Kuno yang dipamerkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Senin (14/9). Pameran yang berlangsung hingga 17 September 2015 dalam rangka Festival Naskah Nusantara itu bertujuan untuk memperkenalkan kekayaan naskah kuno yang milik Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/kye/15

tirto.id - Barang-barang tua dan antik sudah lama memiliki daya pikat tersendiri di mata kolektor. Apalagi jika barang tersebut berasal dari Indonesia yang dikenal akan keanekaragaman dan kepurbaan budayanya. Bagi sang kolektor, si barang antik dapat dijadikan penanda status sosial dan prestige tersendiri.

Sayangnya, seringkali barang-barang ini diperoleh dengan cara yang tidak legal, dicuri dari tempat konservasi dan diperjualbelikan dengan nilai rupiah fantastis. Indonesia menjadi negeri yang tidak ramah pada warisan budayanya.

Pada 18 Januari 2016 lalu, terselip berita kecil di salah satu koran nasional mengenai raibnya naskah kuno “Sam Kok, Jawa-Tiongkok” koleksi Museum Reksopustoko Mangkunegaran Solo, Jawa Tengah. Berita ini bahkan hampir nyaris tak disinggung publik dan tenggelam oleh jenis pemberitaan “penting” lainnya.

Padahal, naskah Jawa-Tiongkok yang seluruhnya berjumlah 118 naskah ini, menggambarkan pergumulan komunitas etnis Tiongkok di abad ke-19 untuk menjadi Jawa, sekaligus tetap memunculkan identitas etnis asalnya di sisi lain.

Naskah baru diketahui raib saat ada mahasiswa yang ingin melakukan penelitian terhadap naskah tersebut. Setelah dicek dalam katalog, benar naskah tersebut memang berada di Museum Reksopustoko Mangkunegaran Solo. Namun, setelah dicari dan ditelusuri di seluruh penjuru ruangan, naskah tidak ditemukan dan kemudian dinyatakan hilang.

Anehnya, staf museum membenarkan tentang banyaknya koleksi yang hilang dan muncul begitu saja. Mereka justru menyatakan, kemungkinan naskah masih berada pada seorang alih bahasa naskah yang sudah meninggal saat mengalihbahasakannya. Miris memang.

Kasus kehilangan warisan budaya seperti manuskrip kuno, tak hanya terjadi sekali ini saja. Pada tahun 2008, juga terjadi kehilangan di wilayah yang sama. Namun kali ini berada di Museum Radya Pustaka, Solo. Puluhan naskah kuno dan arca koleksi museum berpindah tangan secara ilegal.

Saat itu, Joko Widodo yang masih menjabat Walikota Solo, membentuk tim investigasi untuk membongkar ketidakberesan manajemen preservasi warisan budaya di museum tersebut.

Selain naskah kuno, pencurian benda-benda bersejarah juga pernah terjadi pada Agustus 2010, di wilayah yang tak jauh dari Solo, yakni Yogyakarta. Sebanyak 87 artefak emas masterpiece milik museum Sonobudoyo, raib.

Selanjutnya, pada tahun 2013, di Museum Nasional, Jakarta yang konon memiliki pengamanan paling ketat di seluruh Indonesia, juga kehilangan empat artefak emas koleksinya.

“Kebanyakan kasus kehilangan seperti ini memang melibatkan orang dalam sehingga terus dan terus berulang,” ujar Koordinator Masyarakat Warisan Budaya (Madya) Jhohanes Marbun kepada tirto.id, pada Senin (5/9/2016).

Warisan-warisan budaya ini diduga dijual secara ilegal kepada penadah ataupun kolektor di luar negeri. Selain dicuri, naskah-naskah itu sebelumnya juga sudah banyak yang berada di luar negeri, dibawa oleh negara penjajah Inndonesia.

Beberapa negara yang kini menguasai warisan budaya Indonesia itu sebagian sudah ada yang menyatakan minatnya untuk mengembalikan. Sayangnya, pemerintah belum bisa memenuhi syarat-syarat untuk pengembalian warisan budaya tersebut. Salah satu syaratnya adalah secara fisik harus bisa membuktikan ada tempat untuk pemeliharaan. “Sedangkan museum kita masih menunjukkan persoalan dalam hal pengamanannya. Ini yang juga tak diinginkan oleh pemerintah Belanda,” papar Jhohanes.

Ia menyayangkan akibat kurangnya perhatian negara, maka para peneliti Indonesia kembali harus menjadi konsumen referensi buku atau naskah kuno di luar negeri atas produk negaranya sendiri.

Nilai Jual Fantastis

Seorang kolektor naskah klasik dari Aceh, pada awal tahun lalu, pernah menyampaikan kegundahannya lewat pernyataan di salah satu situs yang menggalang petisi online, change.org.

Ia menyatakan, di wilayah Aceh, khususnya daerah Sigli, banyak terjadi penjualan naskah kuno secara ilegal. Lagi-lagi, pokok persoalannya menyasar pada biaya perawatan serta harga jual tinggi yang membuat penjual tergiur mengalirkan naskah kuno ke tangan asing.

Pada dua bulan pertama di tahun 2016, dinyatakan sekitar 311 naskah raib terjual ke Malaysia dengan angka penjualan mencapai Rp1,2 miliar. Tak perlu heran, salah satu artefak yang dimiliki Indonesia di Flores, yang disebut Mamaulu, pada tahun 2014 juga terjual di angka Rp55 miliar.

Jhohanes Marbun, menaksir nominal asuransi penjualan naskah kuno bisa mencapai Rp500 juta sampai Rp1,5 miliar. Artinya, proses jual beli bisa lebih besar dari nominal tersebut dan sangat tergantung pada peminat.

“Itu untuk rate manuskrip yang berumur masehi, abad ke 10-15. Tapi itu tidak persis sama, perkiraan rata-rata karena Indonesia sendiri belum memiliki penaksir benda kuno,” katanya

Padahal jelas disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang “Cagar Budaya”, soal larangan praktik penjualan benda cagar budaya. Termasuk di dalamnya naskah-naskah kuno. Juga Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang “Perpustakaan”, serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang “Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan”, bahwa masyarakat juga turut wajib dalam dalam menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah kuno yang dimilikinya, serta mendaftarkannya ke Perpustakaan Nasional.

Sedangkan pemerintah, wajib memberikan penghargaan kepada setiap orang yang menyimpan, merawat dan melestarikan naskah kuno. Amanat UUD 1945, pasal 32 ayat 1, juga menyatakan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Jika bangsa asing yang bukan ahli waris manuskrip kuno dan artefak Indonesia saja berani berburu dan membeli dengan harga tinggi, sudah seharusnya pemerintah lebih peduli dalam menjaga dan merawat kekayaan budaya dengan menggelontarkan anggaran yang sepantasnya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho