Menuju konten utama

Negeri yang Tak Peduli Karya Adiluhung

Lebih dari 26 ribu naskah kuno atau manuskrip tulisan tangan asli Indonesia disimpan rapi di Belanda atau Inggris. Dua negara Eropa itu memboyong naskah-naskah tersebut sejak menjajah Indonesia. Padahal, banyak di antara naskah-naskah tersebut karya adiluhung yang memiliki nilai sangat tinggi.

Negeri yang Tak Peduli Karya Adiluhung
Petugas menjulukkan bagian kerusakan naskah kuno berbahasa Arab Pegon dengan media kertas Daluang di Museum Sri Baduga Bandung, Jawa Barat, Rabu (8/6). Pelestarian dan pemanfaatan naskah kuno merupakan hal penting untuk menyelamatkan sekaligus menyebarkan informasi yang terkandung dalam naskah kuno kepada masyarakat luas. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/foc/16.

tirto.id - “Indonesia, adalah negara terkaya di dunia, bahkan seluruh kesuburan tanah di Eropa jika dikumpul tak akan menyamai kesuburan di tanah Jawa.”

Petikan kalimat di atas terdapat dalam naskah kuno “Babad Tanah Jawi”. Di situ, ada kesaksian Belanda sebagai negara penjajah tentang Indonesia yang “Gemah Ripah Loh Jinawi”.

Naskah “Babad Tanah Jawi” merupakan salah satu naskah kuno tahun 1700-an mengenai sejarah Indonesia yang kini awet tersimpan di tanah air. Sayang, tidak banyak naskah kuno yang bernasib baik seperti “Babad Tanah Jawi”.

Sebagian naskah kuno tak jelas keberadaannya, sebagian lagi dibawa oleh negara lain. Maka tak perlu heran, jika para peneliti asal Indonesia yang ingin meneliti sejarah negerinya sendiri, seringkali kerepotan akan referensi naskah-naskah kuno. Banyak di antaranya yang harus terbang ke Belanda atau Inggris untuk mengakses naskah kuno yang justru tersimpan apik di negara orang.

Menurut data Perpustakaan Nasional, terhitung sekitar 26.000 koleksi naskah Indonesia terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Angka itu belum terhitung naskah-naskah kuno Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan The British Library London, The Bodleian Library di Oxford, Perpustakaan Berlin di Jerman, atau di sejumlah negara lainnya. Semua naskah-naskah itu, hampir dapat dipastikan kondisinya terawat dengan sangat baik dan dapat diakses dengan mudah. Tentu melalui prosedur tertentu.

Diboyongnya warisan budaya ini memang telah lama terjadi, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Maklum, saat itu kita masih dijajah Belanda atau Inggris di beberapa wilayah. Walau begitu, hal yang harus digarisbawahi, para negara pemboyong sangat peduli terhadap kekayaan sejarah bangsa lain.

Terbukti di Inggris, naskah-naskah Indonesia telah berdiam dan terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan MC Ricklefs dan P Voorhoeve sejak awal abad ke-17. Sebanyak lebih dari 1.200 naskah teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah.

Sebut saja Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Naskah-naskah itu, menurut Oman Fathurahman, Filolog Indonesia, tersebar di 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak bermukim di dua tempat, yakni British Library dan School of Oriental and African Studies.

Pada tahun 1990, British Library bahkan mengklaim bahwa naskah yang berada di tempatnya mulai dikoleksi sejak abad ke-15. Koleksi mereka berisi berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari abad ke-15.

Menurut Syarif Bando, Kepala Membaca Perpusnas, Inggris memang merupakan salah satu negara yang menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia terbanyak kedua setelah Belanda. Hal ini dikarenakan Inggris pernah menduduki Bengkulu. Selain itu, Raffles yang datang di abad ke-18 juga banyak membawa surat-surat dari berbagai raja yang berkuasa di Indonesia.

Surat-surat tersebut, banyak yang merupakan koleksi unggulan, seperti surat dari Sultan Pontianak kepada Gubernur Thomas Stamford Raffles yang dikirim dalam sampul terbuat dari kain sutra berwarna-warni. Inggris juga menyimpan surat dari Raja Bali kepada seorang Gubernur Belanda di Semaran yang ditulis di atas lempengan emas.

“Karena Bengkulu jajahan Inggris, lalu Belanda jajah Singapura, lalu kemudian mereka bertukar, jadi banyak juga naskah kita di sana,” kata Syarif Bando kepada tirto.id, pada Jumat (2/9/2016).

Panjangnya 12 Km

Selain Inggris, negara yang juga banyak mengoleksi naskah kuno Indonesia adalah Belanda. Maklum, Negara Kincir Angin ini telah berada di Indonesia 350 tahun lamanya. Naskah kuno di Belanda banyak tersimpan di sejumlah perpustakaan dan museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam.

Pada tahun 2015 lalu, Rektor Universitas Leiden, Belanda, Profesor Carel Stolker, pernah berkunjung ke Yogyakarta dan mengatakan bahwa naskah-naskah kuno Indonesia yang berada di negaranya, jika dijejer panjangnya bisa mencapai 12 km. Kebanyakan, naskah-naskah yang berada di sana tergolong adikarya, warisan berbagai kerajaan di Nusantara. Salah satu yang terkenal yakni naskah “Nagarakretagama” yang baru dikembalikan pada tahun 1970 oleh Ratu Yuliana kepada Presiden Soeharto setelah dikuliti isinya dan menjadi ampas.

Menurut penuturan Profesor Stolker, koleksi mereka dahsyat lantaran Universitas Leiden memiliki jurusan yang khusus mempelajari budaya timur, budaya Asia. Amsterdam juga turut menyumbang naskah kuno untuk memperkaya koleksi.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pernah menginginkan ribuan naskah yang ada di Belanda dan Inggris, khususnya yang berkaitan dengan keraton DIY, dapat ditarik ke Indonesia. Namun Stolker bergeming. Ia malah menyatakan sebagian besar naskah yang tersimpan di Leiden merupakan naskah berbahasa Belanda, sehingga sudah semestinya bermukim di sana. Walau begitu, pihaknya berjanji akan fokus pada digitalisasi naskah yang rapuh agar kajian Asia atau Indonesia tersebut dapat diakses dengan mudah.

Berdasarkan data Keraton Yogyakarta, ada sekitar 7.000 naskah atau manuskrip milik keraton yang ada di Belanda dan Inggris. Sedangkan Museum Sonobudoyo hanya mengoleksi 363 naskah saja. Inggris sendiri baru mengembalikan 21 microfilm kepada pihak keraton. Hal ini lantaran mereka khawatir pihak keraton tak mampu merawatnya.

Menurut Syarif, selain Belanda dan Inggris, terdapat negara lain yang juga menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia, misal Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Secara keseluruhan, diperkirakan naskah-naskah ini tersebar di 30 negara di dunia.

Tidak Boleh Sembarangan

Jhohannes Marbun, Koordinator Masyarakat Warisan Budaya (Madya) mengatakan, Belanda sebenarnya sudah ingin Indonesia merawat sendiri naskah-naskah kuno itu. Sayangnya, Indonesia belum bisa merespons sejumlah syarat untuk perawatannya.

“Belanda sebenarnya sudah mengurangi besar-besaran anggaran terhadap museum. Mereka berharap Indonesia mengelola manuskrip atau benda bersejarah dari nusantara lainnya. Tapi Indonesia dianggap belum merespon karena mereka mensyaratkan harus bisa dikelola baik,” katanya kepada tirto.id, pada Senin (5/9/2016).

Konservasi naskah kuno, apalagi manuskrip atau naskah asli, tentu tidak mudah. Sebab naskah asli biasanya lebih rapuh dibandingkan salinannya yang sudah banyak dipajang di Perpusnas. Apalagi cara penulisan yang digunakan pun beragam. Biasanya ukiran naskah pada media kayu atau bambu akan diberi minyak kemiri untuk menghitamkan. Cara merawatnya hanya dilap lembut, sehingga minyak kemiri akan tersisa di bagian dalam bambu yang sudah dikerik.

Tempat dan alat penyimpanannya juga tak sembarang. Perpusnas mengaku harus menyiapkan alat yang tahan pada perubahan suhu, karena naskah harus disimpan pada ruangan berudara 18 derajat celsius.

Perlu juga dilakukan fungigasi guna membunuh jamur-jamur yang bertengger pada naskah. Untuk mengurangi kelembaban, ruangan diberi kapur barus dan disemprotkan obat anti serangga secara berkala.

“Menjaga naskah kuno itu sulit, tanganmu tidak boleh kotor atau berminyak karena akan membuatnya lapuk,” kata Syarif.

Oman Fathurahman, Filolog Indonesia, juga menyatakan dalam hal kesadaran untuk melakukan konservasi naskah-naskah kuno, harus diakui Indonesia memang sangat jauh terlambat dibanding negara-negara maju, khususnya di Eropa.

Hal ini, tidak lepas dari faktor sejarah kolonialisme yang terlalu lama menjerat bangsa Indonesia. Walau di satu sisi, terdapat rasa senang bahwa naskah-naskah kuno Indonesia tersimpan dan terawat dengan sangat baik di perpustakaan-perpustakaan di luar negeri. Namun di sisi lain, ada keprihatin lantaran perhatian negara terhadap pentingnya pemeliharaan naskah-naskah kuno yang masih sangat kurang.

“Di museum-museum provinsi, umumnya ada puluhan naskah tersimpan. Meski perawatannya tidak selalu memenuhi standar konservasi,” kata Oman kepada tirto.id, pada Minggu (4/9/2016).

Anggaran Hanya Rp500 Miliar

Indonesia boleh bangga. Meskipun naskah budayanya banyak yang bertempat di negara orang, tapi jika dihitung naskah-naskah yang tersimpan di Indonesia masih tetap lebih banyak. Naskah-naskah itu ada di tangan masyarakat. Sayangnya, naskah-naskah koleksi pribadi itu kurang terawat dengan baik, sehingga kondisinya sangat rentan.

Minimnya teknologi konservasi yang kita miliki, tentu saja berakibat pada lambatnya proses konservasi naskah yang seharusnya dilakukan dengan lebih cepat. Apalagi dari waktu ke waktu, proses kerusakan naskah terus terjadi. Belum lagi persoalan penyimpanan jika tidak dalam suhu yang stabil.

“Tapi, menurut saya, penyebab pertama yang paling penting itu bukan akibat teknologi yang kurang memadai. Melainkan kesadaran kolektif kita yang masih di bawah standar bahwa naskah kuno ini adalah artefak yang perlu mendapat prioritas untuk diselamatkan. Karena mindset kita belum sampai ke sana, maka dampaknya sangat besar. Termasuk belum maksimalnya pengadaan teknologi konservasi itu,” paparnya.

Oman menjabarkan, kebanyakan staf-staf di perpustakaan yang memiliki koleksi naskah di berbagai daerah di Indonesia tidak memiliki latar pendidikan dan pelatihan khusus di bidang konservasi naskah. Terkecuali staf di Perpustakaan Nasional. Itu pun masih belum maksimal dibandingkan dengan tanggungjawab mereka merawat puluhan ribu naskah kuno yang tersimpan.

Masalahnya, Indonesia memang masih belum memiliki institusi pendidikan atau pelatihan khusus di bidang konservasi naskah atau artefak kuno. Padahal, di luar negeri, pendidikan tersebut diselenggarakan sampai tingkat magister di bidang museumologi dan kearsipan.

Selain minimnya kualitas konservator, Indonesia juga dihalangi masalah klasik dalam perawatan naskah, yakni anggaran. Syarif menyatakan, konservasi naskah sebenarnya tidak memakan banyak biaya jika sudah memiliki alat-alatnya. Hanya saja, konsistensi pemerintah terhadap salah satu sumber ilmu pengetahuan sejarah ini memang minim. Bisa dibayangkan, setiap tahunnya, anggaran perpustakaan hanya digelontorkan sebesar Rp500 miliar untuk meng-cover 250.000 perpustakaan di seluruh Indonesia.

“Bayangkan, itu belum anggaran untuk membina tenaga perpustakaan, mencetak naskah dari dalam dan luar negeri, sehingga anggaran konservasi naskah ini juga minim,” ujarnya.

Beruntung, Perpusnas banyak mendapatkan hibah microfilm, sehingga isinya dapat dinikmati publik Indonesia tanpa harus jauh-jauh ke luar negeri. Beberapa naskah kuno yang pernah dimicrofilmkan adalah naskah-naskah Jawa milik Kraton Yogyakarta. Misalnya yang ditangani oleh Dr Jennifer Lindsay dari Australia, atau naskah-naskah lontar Bali yang dikomputerkan dengan sponsor IBM.

Pada tahun 1989, pemerintah Inggris juga pernah menghadiahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X ratusan microfilm semua naskah Jawa yang disimpan di Inggris.

Betapa penghibahan tersebut merupakan bentuk tingginya apresiasi negara-negara lain terhadap warisan budaya Indonesia. Ironis, apabila ternyata negeri ini bahkan tidak dapat menjaga dengan sebaik-baiknya.

Baca juga artikel terkait DOKUMEN HISTORIS atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti