tirto.id - Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang hanya menuntut pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan selama satu tahun (dikurangi masa tahanan yang telah dijalankan). Baginya, tuntutan itu mencederai rasa keadilan di negara ini.
"Pelaku, yang bisa saja membunuh Novel, tetap dikenakan pasal penganiayaan, sementara Novel harus menanggung akibat perbuatan pelaku seumur hidup," kata Usman lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Jumat (12/6/2020) pagi.
Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dituntut menggunakan dakwaan subsider, yaitu Pasal 353 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tenteng penganiayaan dengan rencana yang ancaman pidana maksimalnya tujuh tahun. Jaksa tidak menggunakan dakwaan primer, yaitu Pasal 355 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan berat dengan rencana yang ancaman hukumannya 12 tahun, karena menganggap itu tidak terbukti.
Jaksa Ahmad Patoni mengatakan Ronny dan Rahmat "tidak ada niat melukai" Novel. Mereka hanya "ingin memberikan pelajaran."
Usman mengatakan kejadian ini bukan hanya tentang Novel, tetapi juga masalah serius yang mengancam kelanjutan pelaksanaan agenda reformasi, khususnya dalam bidang pemberantasan korupsi dan penegakan HAM. Oleh karena itu ia mendesak agar pelaku kunci juga diungkap.
Kasus Novel mirip dengan kasus Munir, pembela HAM yang diracun di udara, kata Usman. Sebab "motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi." Selain itu, kesamaan lain adalah "ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya."
Usman juga membandingkan dengan tujuh tahanan politik asal Papua yang sedang menjalani persidangan setelah berdemonstrasi menolak rasisme tapi dituding makar. Mereka dituntut hingga belasan tahun penjara.
"Untuk sesuatu yang dilindungi oleh hukum nasional dan internasional, mereka malah terancam hukuman hingga belasan tahun. Mereka tidak bersenjata, melakukan perbuatan secara damai, tapi justru dibungkam," katanya. "Pelaku penyerangan Novel justru sebaliknya, bersenjata dan jelas melakukan kekerasan, namun ancaman hukumannya sangat ringan."
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino