Menuju konten utama

Penundaan Pemilu: Aspirasi Pengusaha Lagi-Lagi Jadi yang Utama

Isu penundaan pemilu kembali mencuat saat ini karena dinyatakan oleh politikus setelah bertemu pengusaha. Lagi-lagi aspirasi mereka diutamakan.

Penundaan Pemilu: Aspirasi Pengusaha Lagi-Lagi Jadi yang Utama
Presiden Partai Buruh Said Iqbal (kedua kanan atas) menyampaikan orasinya saat unjuk rasa bersama buruh di depan Gedung DPR, Jakarta, Jumat (11/3/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.

tirto.id - “Jangan hanya berbicara ekonomi, ekonomi, ekonomi, tapi tidak melihat kesehatan; tapi juga jangan hanya melihat kesehatan, kesehatan, kesehatan, tapi tidak melihat ekonomi. Dua-duanya harus berjalan beriringan,” ujar Presiden Joko Widodo dalam Pembukaan Musyawarah Nasional ke-8 Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Juni 2021 lalu.

Ketika itu situasi Indonesia sedang tidak sehat. Pemerintah tengah memberlakukan PPKM Mikiro di Jawa-Bali dari Februari hingga Juni. Kasus terus bertambah bahkan menciptakan rekor. Pada 23 Juni kasus terkonfirmasi melebihi angka 15 ribu, kemudian sehari berikutnya mencatatkan rekor lagi, lebih dari 20 ribu.

Semua sudah terlambat ketika pemerintah menetapkan PPKM Darurat yang memperketat kebijakan sebelumnya pada Juli 2021. Kasus terkonfirmasi harian mencapai 56.757 pada 15 Juli dan menjadi rekor kasus terbanyak sejak pandemi masuk Indonesia, Maret 2020.

Meski Jokowi bicara kesehatan harus berbarengan dengan ekonomi, pemerintah dianggap cenderung lebih mengutamakan perputaran uang sejak pandemi melanda. Itu alasan mengapa kasus-kasus baru tak menunjukkan tanda mereda.

Salah satu contoh yang dianggap bukti pemerintah menomorduakan kesehatan masyarakat terjadi pada 2020. Ketika itu mereka ngotot melaksanakan pilkada serentak. Banyak pihak menentang rencana tersebut, salah satunya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Perludem mengatakan penundaan pilkada dengan alasan kesehatan bukanlah bentuk kegagalan demokrasi. Bagi Perludem, masyarakat justru akan mengapresiasi penundaan pemilu yang mungkin bisa dipersiapkan dengan lebih matang.

Pemerintah akhirnya tetap menggelar Pilkada 2020 pada Desember, hanya ditunda dua sampai tiga bulan dari rencana awal.

Tak lama kemudian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyebutkan pelanggaran protokol kesehatan adalah pelanggaran yang paling banyak ditemukan. Pada satu titik, angkanya mencapai 2.126. Tak heran, setelah hari pemilihan, kasus terkonfirmasi Covid-19 cenderung naik.

Menkopolhukam Mahfud MD saat itu mengatakan masih prematur menyimpulkan pilkada sebagai penyebab kenaikan kasus. Toh, katanya, belum ada klaster baru akibat Pilkada 2020. Namun temuan lapangan BBC menyatakan sebaliknya. Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengaku menemukan ada klaster baru, yakni di Kabupaten Serang, Tangerang Selatan, Cilegon, dan Pandeglang.

Kini, ketika kasus Covid-19 cenderung turun, justru ada usulan dari elite-elite politik semacam Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan untuk menunda Pemilu 2024 dengan alasan pemulihan ekonomi.

Jika ini benar-benar direalisasikan, makin jelas sudah bahwa kesehatan sampai sekarang memang menjadi nomor dua di agenda para elite politik.

Tak Seharusnya Menggagalkan Proses Demokrasi

Menunda pemilihan umum memang bukanlah sesuatu yang mustahil menurut undang-undang. Dalam beberapa aturan ada terminologi “pemilu susulan” dan “pemilu lanjutan”.

Pemilu lanjutan digunakan untuk melanjutkan proses demokrasi yang tertunda akibat beberapa faktor, misalnya: kerusuhan di sebagian atau seluruh daerah pemilihan; gangguan keamanan; bencana alam; dan gangguan lain. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Tidak lupa ada penetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Makna pemilu susulan sama. Untuk melakukannya, harus ada syarat-syarat semacam kerusuhan atau bencana alam. Di antara beragam alasan tersebut, ekonomi bukan salah satunya.

Usul penundaan pemilu ramai dibicarakan setelah pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pada Februari lalu. Ia menyatakan itu setelah menerima masukan dari para pengusaha. Pemilu 2024 dianggap bisa jadi hambatan bagi pemulihan ekonomi. Ini juga mengartikan bahwa aktivitas beberapa usaha akan membeku sementara karena banyak pelaku ekonomi memilih wait and see.

Dengan kata lain, menunda pemilu adalah aspirasi pengusaha yang disepakati sehingga diupayakan terealisasi.

Dari sini kita bisa bicara “manfaat” pengusaha bagi para politikus, mengapa aspirasi mereka begitu didengar dan diupayakan.

Politikus butuh pengusaha untuk berkuasa, atau lebih tepatnya uang milik pengusaha. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam buku Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and The State in Indonesia (2019).

Dalam buku tersebut terdapat cerita dari Abdullah, bukan nama sebenarnya, yang mengaku menghubungi calon anggota parlemen dalam Pileg 2014. Ia mengaku bisa menjanjikan suara kepada siapa pun yang bersedia membayar dalam kapasitas sebagai Ketua RW di Tangerang dan punya banyak pekerja. Singkat cerita, ada calon anggota legislatif dari PDIP yang tertarik.

Suara dari Abdul ditukar dengan penyemprotan pestisida di perumahan, perbaikan sarana dan prasarana gedung, serta sejumlah uang untuk membiayai pesta anak-anak kompleks tempat Abdul tinggal.

Ketika calon legislatif dari daerahnya sendiri ogah untuk membiayai perbaikan jalan sepanjang 1,3 kilometer, Abdul lantas banting setir ke calon dari Partai Golkar. Dari hasil barter suara orang kampungnya, Abdul akhirnya mendapatkan Rp50 juta.

Praktik semacam ini dikenal dengan nama klientelisme.

Untuk membeli suara, politikus tidak selalu mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Dari sinilah relasi dengan pengusaha dibangun. Relasi timbal balik ini yang kemudian menghasilkan hubungan patron-klien dan membuat pengusaha berpeluang menentukan kebijakan atau memengaruhi keputusan penguasa.

“Di semua tingkatan, partai politik dibayang-bayangi oleh utang budi. Politisi yang berkuasa sering kali harus memberikan proyek, uang, atau semacamnya kepada pemilih dan komunitasnya. Mereka mendapat uang untuk itu dari hasil menukar kontrak kerja, pemberian lisensi, atau hasil bisnis lain dengan pengusaha. Tidak lupa, politisi ini juga berebut dengan birokrat lain untuk menguasai kekayaan negara agar bisa ditukar menjadi keuntungan politik mereka,” catat Aspinall dan Berenschot.

“Ketika praktik-praktik klientelistik seperti menukarkan uang dan barang adalah kunci kesuksesan politik, politisi kaya dan sekutu bisnis mereka punya keuntungan alami.”

Dosen dari FISIP Universitas Udayana Muhammad Ali Azhar punya pandangan serupa. “Pengusaha adalah pemburu rente dari hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa,” katanya dalam penelitian berjudul Relasi Pengusaha-Penguasa Dalam Demokrasi: Fenomena Rent-Seeker Pengusaha jadi Penguasa (PDF).

Selain hanya menyokong dari belakang, kita juga mengenal pebisnis yang jadi politikus langsung. Misalnya Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, Hary Tanoesoedibjo dari Partai Perindo, dan Surya Paloh yang menguasai Partai Nasdem.

Tidak heran jika partai kemudian juga bermental pengusaha. Calon yang maju ke pemilu ditimbang berdasar kedekatan atau apa materi yang bisa dia berikan ke partai. Akan lebih mudah jika calon yang maju punya sumber keuangan yang cukup.

Untuk menjadi kepala daerah, calon harus menyiapkan sampai dengan belasan bahkan puluhan miliar rupiah. Sekali lagi, uang-uang ini sangat mungkin didapat dari pengusaha yang kemudian memungkinkan praktik balas budi di kemudian hari.

“Besarnya komposisi sumbangan pengusaha dapat dipandang sebagai besarnya kepentingan bisnis dalam memengaruhi kebijakan parpol. Transaksi ini terjadi biasa pada saat proses untuk mencapai kekuasaan lewat pemilu dan berlanjut ketika kekuasaan didapat dan diimplementasikan. Hal ini berdampak pada otoritas penguasa parpol dalam mengimplementasikan kebijakan dapat mudah dipengaruhi kepentingan pengusaha sebagai pamrih dukungan saat pemilu,” tulis Ali.

Pengusaha Puas dengan Jokowi

Pada Pilpres 2019, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat setidaknya ada 17 pengusaha tambang di balik calon presiden yang berkompetisi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Enam pengusaha tercatat berada di belakang Prabowo, sedangkan sisanya berkumpul di kubu Jokowi.

Beberapa pengusaha yang mendukung Jokowi saat itu adalah Hary Tanoe, Bahlil Lahadalia, dan Erick Thohir. Ketika Jokowi menang, Angela, anak Hary Tanoe, kemudian mendapatkan jabatan sebagai staf khusus milenial; Erick menempati jabatan Menteri BUMN; dan Bahlil menjadi Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Memang, dari hasil survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kepuasan pengusaha kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf sebesar 64,8 persen (cukup puas dan sangat puas). Di bawah Jokowi pula aturan soal UU Cipta Kerja omnibus law, yang sangat disukai pengusaha, berhasil disahkan. Aturan ini berulang kali ditentang oleh publik dan dinyatakan inkonstitusional, tetapi pemerintah dan legislatif bergeming dan tetap mengesahkannya secara terburu-buru.

Pertanyaannya, memodifikasi temuan Aspinall, sampai kapan demokrasi Indonesia mengikuti kemauan pengusaha?

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino