tirto.id - Kabar viral datang dari tabloid sensasional Inggris The Sun. Juri America’s Got Talent yang juga mantan anggota Spice Girls, Melanie Brown atau Mel B, ditulis mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), gangguan psikis yang disebabkan proses perceraian antara dirinya dengan Stephen Belafonte.
Mel B dikabarkan terbang ke Inggris untuk menjalani perawatan atau rehabilitasi untuk kecanduan alkohol dan seks. Namun, berita itu kemudian disanggah pada 29 Agustus 2018. Mel B menyatakan bahwa dirinya memang mengalami PSTD, tapi tidak kecanduan seks dan alkohol. Artinya, ia tak menjalani terapi untuk dua masalah adiksi tersebut.
Terlepas dari kabar ramai yang tak benar soal Mel B, terapi bagi yang mengalami hiperseksualitas patut menjadi perhatian. Ia adalah masalah bagi yang menyandangnya, sebagaimana jenis-jenis gangguan kejiwaan lain.
Dilansir Psychology Today, hiperseksualitas merupakan gangguan kejiwaan terhadap orang yang memiliki hasrat seks berlebihan dan orang tersebut merasa tertekan jika tak terpuaskan. Gangguan hiperseks biasanya menyebabkan penderitaan bagi si penderita, tapi hasrat seksual yang menggebu menjadikan mereka tak peduli akan risiko yang akan mereka alami.
Gejala Hiperseks
Martin P. Kafka dalam artikel berjudul “Hypersexual Disorder: A Proposed Diagnosis for DSM-V” (PDF) menyebutkan beberapa ciri gangguan hiperseksual, yakni mengalami fantasi, dorongan, dan perilaku seksual selama lebih dari 6 bulan. Perilaku- perilaku tersebut mengganggu kegiatan non-seksual, selain menjadi pengalihan dari kecemasan, depresi, bosan, dan emosi berlebih. Ia bisa juga menjadi akibat dari stres.
Selain itu, mereka yang mengalaminya tidak bisa mengendalikan hasrat seksual. Keinginan untuk melakukan seks tidak menghiraukan risiko fisik dan psikologis, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Meski begitu, para penderita tak melulu melampiaskan hasrat seksual mereka melalui hubungan dengan pasangan. Kafka menyebutkan, mereka juga bisa menggunakan cara masturbasi sebagai sarana pelampiasan. Ada 70 persen dari 206 pria hiperseksual yang diteliti melakukannya.
“Masturbasi adalah sarana penyaluran seksual paling umum, tanpa memandang status perkawinan,” kata Kafka dalam esai ilmiahnya.
Kafka menyebutkan, gangguan hiperseks dapat terjadi pada pria maupun perempuan, tapi angka pecandu seks perempuan hanya menempati porsi 20 persen dari 290 pecandu seks yang diteliti.
“Kecanduan seksual yang paling umum [pada wanita] adalah fantasi seks, berperan menjadi penggoda saat seks, voyeuristic sex (keinginan untuk mengintip orang lain dalam keadaan telanjang), serta anonymous sex,” ungkap Kafka.
Dalam artikel “Differentiating the Female Sex Addict: A Literature Review Focused on Themes of Gender Difference Used to Inform Recommendations for Treating Women With Sex Addiction” yang ditulis oleh Erin L. Mc Keague (PDF), disebutkan berbagai macam faktor yang menyebabkan kecanduan seks pada wanita, di antaranya trauma, kasih sayang, rasa malu, dan budaya.
“Ada tingkat trauma berat pada masa anak-anak yang menjadi latar belakang mereka kecanduan seks, tapi pada wanita, tingkat keparahan trauma jauh lebih tinggi,” ujar Keague.
Lebih lanjut, menurut studi yang dilakukan oleh Amy Tedesco, LCSW dan John R. Bola, MSW berjudul “A Pilot Study of The Relationship Between Childhood Sexual Abuse and Compulsive Sexual Behaviors in Adults” (PDF) terhadap 24 perempuan dan 21 pria yang menghadiri pertemuan SLAA di San Fransisco Bay Area, diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pelecehan seksual yang dialami perempuan pada masa kanak-kanak, semakin tinggi pula tingkat keparahan dari gangguan hiperseksual.
“Pengamatan tentatif dari hubungan antara pelecehan seksual pada masa kanak-kanak dengan perilaku seksual kompulsif adalah sugestif, namun memerlukan penelitian lebih lanjut,” kata Tedesco dan Bola.
Kecanduan seks dan trauma berhubungan. Mereka menganggap seks sebagai cara pelarian yang kuat, yang dapat mengobati rasa sakit yang disebabkan oleh trauma tersebut.
Terapi untuk Hiperseks
Menurut peneliti seks dan ahli neurosains Debra Soh, seperti ditulis The Independent, terapi terbaik untuk mengatasi hiperseksualitas adalah mengetahui penyebab utama yang mendorong keinginan untuk melakukan hubungan seks. Selain itu, lingkungan sekitar penderita hiperseks disarankan untuk tidak terfokus pada sifat seksual mereka.
“Mereka yang memiliki masalah pornografi harus mencari cara efektif untuk mengatasi stres dan kecemasan. Konseling dengan ahli kesehatan mental juga dapat membantu untuk mengatasi masalah ini,” ungkap Soh, seperti dikutip The Independent.
Soh menyampaikan bahwa umumnya orang yang mengalami hiperseksualitas atau kecanduan seks akan mencari tahu apa yang terjadi dengan dirinya.
“’Mengapa saya seperti ini?’ merupakan pertanyaan yang paling sering saya jumpai. Sebagai peneliti seks yang bekerja dengan pria hiperseksual, masalah pornografi dan perselingkuhan menjadi efek yang sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka, dan biasanya mereka akan berhenti mencari solusi,” ujar Soh, seperti dilansir The Independent.
Meg S. Kaplan dan Richard B. Krueger pernah menulis metode untuk menyembuhkan hiperseksual dalam artikel berjudul “Diagnosis, Assessment, and Treatment of Hypersexuality” (PDF). Di situ tertulis bahwa salah satu tujuan dari terapi adalah mencegah gangguan tersebut muncul kembali.
“Terapi pencegahan adalah program pengendalian diri dengan menggunakan pelatihan ketrampilan, intervensi kognitif, dan perubahan gaya hidup untuk membantu seseorang mengidentifikasi situasi berisiko tinggi, mengubah distorsi kognitif atau pemikiran yang salah, dan mengatasi situasi stres berisiko tinggi yang bisa menjadi penyebab kambuh,” tulis Kaplan dan Krueger.
Selain menggunakan terapi psikologis, terapi hiperseksual juga bisa menggunakan obat-obatan, seperti artikel yang ditulis oleh Adrew M. Levitsky, dkk dalam “Pharmacologic Treatment of Hypersexuality and Paraphilias in Nursing Home Residents” (PDF). Namun, cara ini merupakan cara terakhir yang bisa dilakukan jika pendekatan nonfarmakologi tidak berhasil.
“SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitors) mungkin menjadi pilihan pertama yang baik, karena relatif aman. Jika SSRI tidak berhasil, dapat menggunakan [pengobatan] antiandrogen, estrogen, atau GnRH,” ungkap Letvisky, dkk.
Editor: Maulida Sri Handayani