Menuju konten utama

Hiperseks Butuh Terapi Kesembuhan, Bukan Stigma

Memandang kaum hiperseks dengan kacamata moral tak akan membantu mereka melepas candu. Mereka butuh pertolongan medis.

Hiperseks Butuh Terapi Kesembuhan, Bukan Stigma
Header Hyperseks. foto/istockphoto

tirto.id - Yogya merupakan kota yang menyimpan banyak rahasia bagi D. Perempuan 28 tahun itu kini sudah kembali ke tempat asalnya di Kalimantan, tapi dia tak akan pernah melupakan pergaulan bebas bersama pacar-pacarnya selama kuliah.

Gaya hidup itu dia tutup rapat-rapat dari orangtuanya, termasuk rahasia bahwa dia hiperseks. Dalam sehari, katanya, dia bisa berhubungan seksual minimal tiga kali. Kurang dari itu, dia jadi gelisah dan melampiaskannya lewat aktivitas masturbasi. Pacar-pacarnya semula kaget. Ada yang bisa bertahan cukup lama, ada pula yang kemudian pilih mengakhiri hubungan.

D tak mau menyebutkan sejak kapan dia kecanduan seks, tapi dia menolak pandangan orang-orang kalau hiperseksualitas itu menyenangkan (bagi diri sendiri maupun pasangan).

Efek negatif yang timbul rupanya mengganggu aktivitas utama D sehari-hari, seperti kuliah dan kerja. Pikirannya tak fokus. Libido yang meluap-luap membuatnya kerap kali bolos demi bisa melampiaskannya sendiri maupun mengajak (baca: agak memaksa) sang pacar.

“Pernah aku ketinggalan pesawat sampai dua kali, juga telat untuk pertemuan penting, hanya gara-gara aku sibuk ‘gituan’ sama pacarku. Dia lama-lama mengeluh. Aku juga sebenernya enggak menyukai kondisiku. Mau gimana lagi, kayak kecanduan. Kalau enggak dilakukan tahu sendiri gimana rasanya, contohnya aja yang kecanduan ngerokok itu,” ungkap D.

Satu lagi, D kerap dilanda perasaan bersalah yang amat-sangat usai beraktivitas seksual. Dia tak bisa mengendalikan gejolak birahinya. Itu yang dia sesali.

Dia menyadari dirinya tak senormal orang lain, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Dia belum pernah mencoba berobat atau terapi, karena malu. Di satu titik, dia juga tak bisa benar-benar menikmati aktivitas seksual itu sendiri sebab pada akhirnya jatuh sebagai rutinitas biasa.

Keinginan berhubungan seks secara berlebihan, seperti yang dialami D, sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1886, psikiater Jerman Kraft-Ebbing mendeskripsikan apa yang ia sebut dengan “hypersensuality” yang menjadi awal munculnya istilah dan studi atas kondisi hiperseksualitas.

Fenomena tersebut kemudian menjadi tempat tersendiri untuk dikaji, demikian juga mendapat penamaan yang macam-macam: Don Juanisme, nymphomania, erotomania, atau sekskoholisme. Titik fokus kebanyakan studi memandang kondisi ini sebagai kecanduan seks.

Randy Gilliland dari Departemen Psikologi Universitas Young Birmingham, pada 2010 silam, menerbitkan tesis yang tujuan utamanya membuktikan dua efek terbesar dari hiperseksualitas yang sebenarnya telah dikenal lama: malu dan rasa bersalah.
Header Diajeng Hyperseks
Header Hyperseks. foto/istockphoto

Kedua rasa itu diakui muncul dalam diri sejumlah responden penelitian Gilliland, barisan para pecandu seks yang mau berbagi cerita dengannya. Hal ini menandakan bahwa penderita hiperseksualitas, sebagaimana kondisi kecanduan lain, juga ingin sembuh.

Serupa pengakuan D, efek negatifnya cukup merepotkan dan melelahkan. Hiperseksualitas bukan kondisi yang mereka inginkan. Mereka ingin sembuh dan membangun hubungan yang lebih sehat bersama pasangan.

Demikian juga dalam ulasan kanal Hipersexual Disorders, hiperseksualitas lebih kompleks dari pandangan awam yang menilainya sebagai kondisi seseorang yang haus bercinta.

Sebagaimana candu jenis lainnya, hiperseksualitas juga berangkat dari titik paling remeh yang dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya tak bisa untuk dihentikan (dengan mudah). Mulai dari kebiasaan masturbasi di depan video porno, misal, hingga gelisah luar biasa jika hari ini baru bercinta satu kali.

Otak seorang hiperseks menjadi kecanduan dopamin, zat yang bertanggung jawab atas kesenangan.

“Ini berlaku untuk semua kecanduan: narkotika, alkohol, judi, seks, belanja. Mereka tak mampu untuk merasa cukup dan terlalu memaksa diri untuk merasakan hal yang bikin kecanduan itu,” kata Ethlie Ann Vare, penulis buku Love Addict: Sex, Romance, and Other Dangerous Drugs, kepada Medical Daily.

Sebagaimana hasrat pecandu alkohol yang menginginkan botol selanjutnya, atau pecandu rokok yang tidak bisa untuk tidak menggenggam rokok yang terbakar, komitmen dari si pelaku untuk berhenti bisa terasa amat sangat susah.

Sulit sebab aktivitas yang dilakukannya membuat luka hati, stres, kesepian, hingga kecemasan hilang bagi pecandu. Namun kesenangan sesaat ini, dalam tahap terekstrem, bisa membahayakan diri sendiri.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan tahun 2014 di Jurnal PLOS ONE bertajuk “Neural Correlates of Sexual Cue Reactivity in Individuals with and without Compulsive Sexual Behaviour”, dibuktikan bahwa aktivitas di otak orang yang kecanduan seks sama dengan pecandu narkotika.

Saat gambar sensual diperlihatkan penderita hiperseksualitas, tiga bagian otak yakni siatrum ventral, dorsal anterior cingulate, dan amigdala, aktif, seperti respons otak pecandu narkotika yang diperlihatkan gambar obat-obatan terlarang.

Header Diajeng Hyperseks

Header Hyperseks. foto/istockphoto

Mengenal Hiperseksualitas

Penderita hiperseksualitas biasanya juga seorang penderita gangguan bipolar, demikian kata psikiater dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dr. Natalia Widiasih, SpKJ (K), Mpd. Ked.

Gangguan bipolar muncul karena ketidakseimbangan antara dopamin dan serotonin dalam otak. Salah satu efek yang kerap muncul adalah meningkatnya libido menjadi lebih tinggi dan tak terkontrol.

Dr. Natalia mengungkapkan bahwa 57 persen penderita gangguan bipolar bisa mengalami peningkatan gairah seksual. Saat dorongan seksual ini muncul maka norma sosial, moral, hilang.

Pada tingkat pertama, kata Dr. Natalia, penderita akan mengalami suasana perasaan atau mood yang berubah drastis. Kemudian, pada fase kedua atau yang dikenal dengan fase mania, ia akan mengalami peningkatan energi, dan peningkatan gairah serta dorongan seksual yang makin makin susah dikontrol.

Seseorang menjadi hiperseks bisa juga karena terkena efek samping dari obat penyakit Parkinson yang dideritanya. Ada kemungkinan juga ia pernah menjalani terapi penyuntikan hormon testosteron atau estrogen. Namun sialnya, mungkin ia mengalami malpraktek dengan dosis atau takaran yang tak tepat.

Sejumlah riset menunjukkan hiperseksualitas dikaitkan dengan perubahan biokimia dan fisiologis akibat penyakit demensia.

Gejalanya, antara lain, tidak bisa mengontrol impuls, tidak mampu membaca dan memahami isyarat sosial sesuai aturan dan norma masyarakat dalam komunikasi sehari-hari, tak mampu fokus dan tenang (sehingga bertindak hiperaktif), juga bersikeras untuk belajar perilaku seksual dan tak mau, atau lupa cara kerja aktivitas lain (hanya fokus ke hal-hal seputar seks).

Lebih lanjut lagi, hiperseksualitas juga bisa muncul karena faktor psikologis. Ada hiperseks yang memiliki masa lalu yang agak parah sebab kekurangan afeksi dari orang terdekat juga lawan jenis, sehingga ia tumbuh menjadi seseorang yang sangat beringas tetapi menerjemahkannya murni untuk seks.

Ada juga hiperseks yang dulu pernah mengalami pelecehan seksual sehingga saat dewasa berusaha menyalurkan traumanya dengan seks yang tak terkontrol.

Menimbang berbagai faktor yang menyebabkan seseorang tumbuh menjadi hiperseks, terutama faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya, penting bagi kita untuk memposisikan dia sebagai orang yang lebih memerlukan terapi penyembuhan, bukan stigma bermodal kacamata moral.

*Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait SEKS atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Yemima Lintang