tirto.id - Akan ada perubahan besar di BPJS Kesehatan dalam beberapa tahun ke depan. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bilang pemerintah tengah mematangkan rencana penerapan kelas standar yang bakal menggantikan atau menghapus kelas yang selama ini berlaku bagi peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Dalam Pasal 54 B Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan, kelas standar harus diterapkan secara bertahap paling lambat 2022. Terawan bilang saat ini mereka tengah mengkaji itu.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Selasa 24 November 2020, Terawan mengatakan “amanat Perpres 64 Tahun 2020 tentang peninjauan ulang manfaat JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) agar berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) dan penerapan rawat inap kelas standar akan berkonsekuensi perubahan iuran.”
Iuran peserta mandiri kelas I dan II saat ini sebesar Rp150 ribu dan Rp100 ribu per bulan, sementara kelas III sebesar Rp25.500, dengan detail Rp16.500 dibayar pemerintah pusat dan sisanya dibayar sendiri oleh peserta. Besaran iuran ini masih berlaku tahun depan, kecuali untuk kelas III yang naik menjadi Rp35 ribu (Rp28 ribu dibayar sendiri oleh peserta) per Januari.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Muttaqien mengatakan penyesuaian total dengan skema kelas standar akan diterapkan pada 2022.
Jangan Rugikan yang Terbawah
Rencana penghapusan kelas mendapatkan kritik dari pengguna BPJS Kesehatan kelas I, Ganiya Rahma (27). Dia bilang pelayanan yang diberikan kepadanya belum optimal. Ia khawatir itu akan semakin parah jika semua kelas dihapus.
“Pernah jadi pasien umum dan ambil obatnya langsung setelah konsultasi. Terus beberapa bulan kemudian ke RS lagi, bedanya kali ini pakai fasilitas BPJS Kesehatan. Ambil obatnya baru 24 jam kemudian, habis selesai periksa,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (25/11/2020).
Hal serupa dialami Dimas Prasetyo (26), peserta BPJS Kesehatan kelas III. Ia mengeluhkan panjangnya proses yang harus ditempuh. Sekadar untuk kacamata, ia perlu surat rujukan dari puskesmas ke rumah sakit yang menyediakan pemeriksaan mata, lalu menunggu dokter periksa dari pagi sampai sore.
“Lama memang. Harus sabar kalau pakai BPJS Kesehatan. Bisa seharian, apalagi saya kelas III. Sebelum pakai BPJS kesehatan kan enggak sampai 3 jam prosesnya. Terus dikasihnya pun kacanya saja, bingkai harus bawa sendiri,” cerita Dimas.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, dengan penerapan kelas standar, pihak yang paling dirugikan adalah orang-orang seperti Dimas, yaitu mereka yang terdaftar di kelas III. Sebab, “kemungkinan [iuran] yang naik ini kelas III [sementara] kelas I dan II turun,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.
Mengingat penghuni kelas III umumnya adalah mereka yang ekonominya menengah-bawah, Timboel berharap “pemerintah harus pastikan kelas III ini mampu bayar dengan tetap memberikan mereka subsidi.”
Selain itu pemerintah perlu juga menambah kuota peserta PBI karena jumlah orang miskin dan tidak mampu bayar BPJS Kesehatan bertambah akibat krisis ekonomi selama pandemi. “Data PBI itu dibersihkan sehingga orang-orang miskinlah yang menjadi penghuni PBI. Kuotanya dinaikkan, misalnya jadi 115 juta.”
Terawan mengatakan saat ini ada 96,63 juta peserta yang jadi tanggungan negara--tercatat di segmen PBI. Angka ini telah bertambah 5,8 juta sebelum pandemi. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (16/9/020) lalu mengatakan karena pandemi, angka kemiskinan naik dari 9,4 persen. “Itu mungkin kemiskinan terendah, dan sekarang sudah kembali menjadi 9,78 persen.”
Selain itu, jumlah pengangguran pun bertambah 2,67 juta, dari 7,1 juta menjadi 9,77 juta atau dari 5,23 persen ke 7,07 persen.
Jika Timboel meminta subsidi tetap ada dan PBI ditambah, dengan pertimbangan statistik kemiskinan dan pengangguran, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengusulkan kenaikan iuran di kelas paling bawah ditunda dulu.
“Kondisinya beda sekarang, enggak normal. Kita lihat dulu perkembangan dari sisi pemulihan ekonomi, karena mungkin pertumbuhan 2021 lebih baik tapi belum merata. Jadi iuran naik jangan dilakukan di 2021,” katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino