tirto.id - Petaka Ransomware menghantam dunia pada Jumat waktu Amerika Serikat atau Sabtu waktu Indonesia. Dalam serangan ini, Ransomware bernama WanaCrupt0r 2.0 atau WannaCry menjadi biangnya. Ia menyerang dengan memanfaatkan celah keamanan pada komputer berbasis sistem operasi Windows. WanaCry yang menyerang akan mengunci file-file berharga milik pengguna komputer yang diserang.
Beberapa institusi dan perusahaan besar memperoleh hantaman keras pada jalannya operasional mereka. Di Amerika Serikat, misalnya, perusahaan pengiriman jasa FedEx menjadi korban. Di Spanyol, perusahaan telekomunikasi dan gas harus menghentikan aktivitas mereka. Di Inggris Raya, 61 institusi rumah sakit yang tergabung dalam jaringan NHS atau National Health System terganggu. Di Rusia, 1.000 komputer di Kementerian Dalam Negeri harus menerima konsekuensi serangan program jahat tersebut.
BBC melaporkan setidaknya hingga Senin siang ada 200.000 komputer di seluruh dunia terkena Ransonware WannaCry ini. Menurut Europol, aksi Ransomware WannaCry telah menyerang pada 150 negara di seluruh dunia. Analis dari BBC memperkirakan hingga Senin pagi, uang tebusan serangan tersebut telah mencapai senilai $38.000.
Cyber Consequences Unit memperkirakan total kerugian akibat WannaCry menyentuh angka ratusan juta dolar. Firma resiko serangan siber Cynce bahkan memperkirakan total kerugian ekonomi akibat WannaCry, termasuk memperhitungkan berhentinya kegiatan bisnis, mencapai angka $4 miliar.
Ransomware yang menjadi bencana global saat ini diyakini berhubungan dengan senjata siber yang dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat, melalui berbagai badan-badannya, memanfaatkan kelemahan atau lubang keamanan yang mereka temukan pada sistem operasi atau perangkat elektronik untuk memanfaatkannya sebagai senjata.
Pada 14 April lalu, kelompok peretas bernama Shadow Broker mengklaim mereka berhasil mencuri senjata siber dari NSA. Dan, sebagaimana diwartakan Reuters, Ransomware WannaCry bukanlah sekadar ransomware. Program jahat ini sekaligus sebuah worm alias program komputer yang memiliki kemampuan mereplikasi dirinya sendiri. Dengan memanfaatkan senjata NSA dan kenyataan bahwa WannaCry juga merupakan worm, program jahat ini bisa menyebar dengan cepat dan menjangkau komputer-komputer dengan skala yang besar.
Hingga laporan ini diturunkan, belum diketahui siapa yang berada di belakang serangan Ransomware yang menyita perhatian dunia. Menurut warta Antara yang mengutip situs berita Bitcoin, bitcoinist.com, mengungkapkan bahwa NSA atau National Security Agency berada di balik serangan global tersebut. Situs berita tersebut memaparkan, akibat serangan WannaCry yang melanda dunia, nilai Bitcoin terdevaluasi hingga 11 persen. Hal ini terjadi akibat permintaan Bitcon yang tiba-tiba melonjak akibat program jahat tersebut mengharuskan korban membayar tebusan dengan mata uang Bitcoin.
Brad Smith, President dan Chief Legal Officer Microsoft, perusahaan teknologi yang sistem operasinya menjadi bulan-bulanan serangan WannaCry, menyalahkan pemerintah Amerika Serikat. "Kami telah melihat kerentanan yang tersimpan oleh CIA muncul di WikiLeaks dan sekarang kerentanan yang dicuri dari NSA ini telah mempengaruhi pelanggan di seluruh dunia,” kata Smith. “Skenario ini, bila disamakan dengan senjata konvensional, seperti rudal Tomahawk yang dimiliki militer AS dicuri.”
Microsoft memang pantas berang. Pemerintah Amerika Serikat memanfaatkan celah keamanan mereka untuk membuat senjata siber. Sialnya, senjata siber tersebut dimanfaatkan oleh penjahat siber untuk melakukan serangan. Ransomware kali ini menyerang habis-habisan sistem operasi Windows. Target yang cukup logis, terutama jika melihat kuantitas pengguna sistem operasi tersebut.
Menurut data yang dikompilasi Tim Riset Tirto, komputer dengan sistem operasi Windows memang merajai pasar sistem operasi. Di bulan April 2016, pangsa pasar Windows di seluruh dunia menyentuh 85,3 persen. Pada April 2017, pangsa pasar Windows masih perkasa dengan 84,22 persen. Sementara di Indonesia, pangsa pasarnya April tahun lalu menyentuh angka 87,24 persen. Setahun setelahnya atau di bulan April 2017, Windows menguasai 88,87 persen pangsa pasar sistem operasi komputer di seluruh dunia.
Alasan lainnya adalah karena komputer-komputer di dunia masih banyak menggunakan sistem operasi lawas. Sistem operasi Windows dari Microsoft terdiri dari berbagai varian, mulai dari XP, Vista, 7, 8, hingga kini 10. Sayangnya, masih banyak komputer di dunia yang menggunakan varian XP. Data Net Market Share menunjukkan komputer bersistem operasi Windows XP, di bulan April 2017, masih punya pangsa pasar sebesar 7,04 persen.
Menghadapi serangan ini, Menteri Pertahanan Inggris Michael Fallon, seperti dikutip Reutersmengungkapkan bahwa pemerintah Inggris di bawah kendali Theresa May telah menyiapkan uang senilai 50 juta poundsterling untuk meningkatkan sistem komputer NHS.
NHS masih banyak menggunakan komputer Windows XP, sistem operasi yang telah tidak didukung lagi oleh Microsoft sejak 2014. Pengecualian dukungan terjadi kali ini akibat serangan WannaCry. Di India, sebagaimana diwartakan India Times, 70 persen ATM atau Anjungan Tunai Mandiri di negeri Bollywood tersebut masih menggunakan Windows XP.
Masih digunakannya sistem operasi varian lawas tentu merupakan ancaman tersendiri. Perusahaan pembuat sistem operasi jelas lebih mengutamakan produk anyarnya daripada terus-terusan memelihara produk lawas mereka. Hal inilah yang bisa dimanfaatkan siapa pun, dengan niat jahat, untuk tujuan-tujuan negatif.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani