tirto.id - AY, seorang pelajar SMP di Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi korban penganiayaan dari teman-teman kakaknya. Kasus penganiayaanya pun viral di media sosial dan memunculkan #justiceforaudrey.
Para pelaku penganiayaan AY ini bisa dimintai pertanggungjawaban hukum, meski misalnya mereka masih di bawah umur. Hal ini ditegaskan ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir.
"Jika pelaku berusia di atas 14 tahun, maka dapat diminta tanggung jawab di depan hukum. Bisa mengajukan ke pengadilan anak dan dipidana penjara dalam waktu tertentu meski dikurangi satu per tiga hukuman," kata Mudzakir ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (9/4/2019).
Ia menyatakan para pelaku bisa dijerat Pasal 351 ayat (2) KUHP yang berbunyi "jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
Dalam kasus ini, cedera pada bagian vagina AY bisa dikategorikan luka berat. Dan untuk membuktikan itu harus ada visum.
"Kalau kemaluan korban jadi sasaran, maka itu penganiayaan berat," tambahnya.
Informasi soal penganiayaan AY diketahui lewat pengguna Twitter bernama @syarifahmelinda. Ia mengatakan pengeroyokan bermula dari saling sindir soal asmara antara salah satu pelaku, DA dan kakak korban berinisial PO, yang tak lain mantan pacar dari pacar DA sekarang, di WhatsApp, pada 29 Maret lalu. DA dan PO berasal dari SMA 4 dan SMA 2 Pontianak.
Seluruh pelaku adalah teman-teman kakaknya. Pelaku memanfaatkan AY untuk meminta PO keluar. DA meminta AY memanggil kakaknya. Kakaknya pun keluar. Mereka kemudian digiring ke tempat sepi di belakang Aneka Pavilion Pontianak.
Di sinilah pengeroyokan terjadi, termasuk terhadap AY yang sebetulnya tak kenal dengan para pelaku. Kepala AY dibenturkan ke aspal, perutnya juga ditendang. Seorang pelaku, kata @syarifahmelinda, bahkan mencolok vagina AY dengan jari.
Cuitan @syarifahmelinda lantas viral. Hingga berita ini ditulis, Selasa sore, cuitan itu sudah di-RT hampir 30 ribu kali dan mendapat like nyaris 18 ribu.
Sebagian keterangan dari pengguna Twitter ini dibenarkan Kasat Reskrim Polresta Pontianak Kota AKP Husni Kamil, sebagian lagi tidak. Ini ia katakan berdasarkan informasi yang diberikan ibu korban.
Menurut Kamil, penganiayaan itu dilakukan tiga orang yakni T (17), E (17) dan L (17). Namun, Kamil belum bisa memastikan apakah perusakan vagina itu benar terjadi atau tidak.
"Orangtua korban tidak memberikan keterangan itu [merusak vagina korban]," kata Husni ketika dihubungi reporter Tirto.
Saat ini T, E, dan L berstatus saksi terlapor.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, memperingatkan penegak hukum agar kasus ini ditangani secara hati-hati. Soalnya yang menganiaya juga masih di bawah umur.
"Pendekatan yang harus digunakan adalah kepentingan terbaik buat anak dan penghukuman buat anak tidak akan efektif. Maka diperlukan perspektif keadilan restoratif," katanya kepada reporter Tirto.
Maidina melanjutkan, aparat bisa mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan benar.
"Pembimbing Kemasyarakatan (PK) itu tugasnya untuk cari solusi yang tepat bagi korban, pelaku dan masyarakat. PK harus mampu buat anak sadar kesalahannya, mampu memahami perbuatannya berdampak buat orang lain," jelas Maidina.
Penyembuhan Psikologis
Selain secara fisik, AY bisa jadi cedera secara psikis. Dan itu tentu saja juga harus dipulihkan.
Pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada, Koentjoro, mengatakan yang pertama-tama perlu dilakukan untuk itu adalah menjauhkan korban dari para pelaku. Selain itu, AY juga mesti mendapat dukungan keluarga.
"Korban terlebih dulu dijauhkan dari lingkungan tersebut, lalu mendapatkan dukungan keluarga dan diberikan ketenangan jiwa kemudian dirasionalisasi," kata Koentjoro kepada reporter Tirto.
Rasionalisasi yang dimaksud, lanjut Koentjoro, misalnya memberi pemahaman kepada AY bahwa peristiwa itu sudah terjadi, dan itu bukan kehendaknya.
"Tidak perlu kecewa yang dapat menimbulkan perasaan bersalah. Jika timbul perasaan itu maka akan semakin parah seperti menyesal dan merasa berdosa," jelas dia.
Soal para pelaku yang berlaku sadis, menurut Koentjoro, itu adalah bentuk konformitas. Dalam ilmu psikologi, itu adalah keadaan saat seseorang mengubah tingkah lakunya agar sesuai dengan norma kelompok.
"Ada kepatuhan dari kelompok sehingga menyerang satu orang. Tapi kepatuhan itu tidak selalu dari pemimpin kelompok, tapi siapa pun yang berteriak ‘serang’, maka yang lain mengikuti omongan itu akan menyerang, tapi tidak selalu ketua dan tidak selalu disegani,” jelas Koentjoro.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino