tirto.id - Ketua Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi menyatakan Indonesia bisa menjadi kekuatan diplomatis Palestina untuk melawan taktik politik Israel dalam melegitimasi invasinya terhadap Palestina, terutama dalam kasus pemindahan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
“Indonesia sebenarnya dapat hadir sebagai kekuatan baru dengan pendekatan perdamaian non militer,” ujar Yon kepada Tirto pada Kamis (7/12/2017).
Pasalnya, kata dia, Indonesia merupakan satu-satunya negara strategis yang tidak memiliki kepentingan untuk memihak Israel. Selain itu, pemerintah Indonesia juga sudah lama berkomitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina atas Israel.
Namun, ia menegaskan, apabila mendukung Palestina dan melawan Israel, maka Indonesia akan berhadapan dengan Amerika Serikat sebagai negara besar yang bersekutu dengan Israel. Tetapi, hal itu akan berdampak pada hubungan bilateral Indonesia-AS yang terjalin di berbagai aspek.
“Itu bisa dinegosiasikan berikutnya. Sikap awal saya kira harus tegas (untuk mendukung),” kata Yon.
Baca: Keputusan Trump dalam Bingkai Sejarah Konflik Yerusalem
Menurut Yon, kasus ini sekaligus memperlihatkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian tetap akan dihadapkan dengan kepentingan nasional masing-masing negara, terutama hubungan bilateralnya.
“Idealnya kan untuk nilai kemanusiaan dan kebebasan ada di atas segalanya dan tidak ada kompromi. Di sini Indonesia dapat memainkan peran historis sebagai negara yang mampu menyuarakan hak-hak dasar negara-negara yang tertindas dunia,” terang Yon.
Ia menegaskan, Indonesia tidak bisa sendirian dalam melawan rencana Israel dan harus bergabung dengan negara-negara besar lainnya, seperti forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberikan tekanan kepada AS.
“Risiko yang dimiliki Indonesia sama sebenarnya ketika AS mendukung Israel, pasti akan berisiko terhadap hubungan dengan negara-negara lain,” ucapnya.
Yon menyatakan, saat ini Pemerintah Turki juga sudah memberikan dukungan ke Palestina dan akan mengevaluasi hubungan mereka dengan Israel. Selain itu, Mesir juga menyatakan penolakannya terhadap rencana Israel memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Uni Eropa juga menyesalkan keputusan AS.
“Rusia dan Cina belum bersikap padahal kedua negara ini memiliki kekuatan militer besar,” ungkap Yon.
Negara-negara besar yang memiliki kekuatan perang dikatakannya tidak secara tegas mendukung Palestina karena tidak ada kepentingan ekonomi yang kuat.
“Palestina tidak merupakan negara kaya dengan sumber daya alam, dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Sehingga, Palestina masih kalah kekuatan dengan Israel,” ucapnya.
Baca: Paus Fransiskus dan PBB Sesalkan Keputusan Trump atas Yerusalem
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan Ketua Prakarsa Persahabatan Indonesia-Palestina (PPIP) M. Din Syamsuddin telah mengimbau Pemerintah Indonesia untuk memberikan desakan kepada Presiden AS Donald Trump agar mencabut keputusannya terkait pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Kemudian, Din juga mendesak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk melakukan langkah politik dan diplomatik agar Pemerintah AS membatalkan keputusannya. “Keputusan tersebut membuka dan membuktikan kedok standar ganda AS selama ini yang tidak bersungguh-sungguh menyelesaikan konflik Israel-Palestina secara berkeadilan,” ungkap Din dalam siaran persnya.
Menurut dia, keputusan tersebut jelas akan mematikan proses perdamaian yang telah berlangsung lama dan akan mendorong radikalisasi di kalangan umat Islam sebagai reaksi terhadap ketidakadilan global yang diciptakan AS.
“Terhadap Yerusalem, sebaiknya dibagi dua. Yerusalem Timur untuk Palestina, dan Yerusalem Barat untuk Israel. Atau Yerusalem dijadikan sebagai Kota Suci Internasional bagi pemeluk tiga agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam,” sarannya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto