Menuju konten utama

Pengamat Energi: Izin Tambang bagi Ormas Lebih Banyak Ruginya

Menurut Fahmy Radhi, ormas keagamaan yang minim pengalaman pertambangan rawan jadi alat kepentingan swasta.

Pengamat Energi: Izin Tambang bagi Ormas Lebih Banyak Ruginya
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi saat ditemui di kediamannya, di Sleman. (ANTARA/Luqman Hakim)

tirto.id - Pengamat energi dari UGM, Fahmy Radhi, menilai pemberian izin pengelolaan tambang pada ormas keagamaan adalah kebijakan blunder. Fahmy menyodorkan beberapa alasannya. Pertama, kebijakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang lain.

Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa seluruh kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Menurut Fahmy, negara dalam konteks ini semestinya direpresentasikan oleh BUMN, BUMD, atau perusahaan swasta. Negara lantas memungut royalti, pajak, dana, dan sebagainya yang kemudian didistribusikan ke rakyat melalui APBN.

“Nah, kalau kemudian fungsi distribusi ini dipindahkan dari negara ke ormas, ini saya kira akan melanggar Undang-Undang Dasar 1945," kata Fahmi dalam diskusi daring Polemik Trijaya, Sabtu (8/6/2024).

Fahmy mengingatkan bahwa undang-undang juga mengamanatkan pemberian konsesi tambang diprioritaskan kepada BUMN dan BUMD. Sementara itu, pihak swasta harus lewat lelang. Jika izin diberikan langsung pada ormas, hal itu juga berpotensi melanggar undang-undang.

Kedua, Fachmi mengingatkan bahwa pengelolaan tambang tidak mudah. Sampai saat ini, Fahmy belum pernah mendengar ada ormas yang punya sayap bisnis pertambangan. Karena itulah, dia khawatir ormas malah menjadi alat untuk kepentingan swasta.

"Memang tidak bisa dijual begitu saja. Tapi, akhirnya ormas itu hanya sebagai makelar uang yang kemudian mengajak kerja sama swasta. Ujung-ujungnya, ditundukkan swasta dan ormas keagamaan hanya dapat sedikit," kata Fahmy.

Ketiga, dia menyoroti bahwa dunia tambang penuh “mafia”. Dia mencontohkan kasus korupsi dipertambangan timah di Bangka Belitung yang nilainya mencapai Rp300 triliun.

"Saya khawatir ormas keagamaan sekalipun bisa terjerumus kegrey area yang penuh dengan kejahatan hitam tambang. Jangan-jangan, ormas keagamaan yang ingin memperbaiki akhlak malah terseret dalam kegiatan-kegiatan mafia, dalam perusakan lingkungan yang merugikan masyarakat," kata Fahmi.

Oleh karena itu, dalam perspektifnya, kebijakan konsesi tambang untuk ormas keagamaan itu lebih cenderung merugikan daripada menguntungkan. Maka kebijakan tersebut sebaiknya ditolak.

Selain alasan-alasan itu, Fahmy juga mengingatkan bahwa daerah-daerah tambang yang disediakan oleh pemerintah merupakan daerah yang sebelumnya sudah diekploitasi lebih dari 20 tahun. Konsesi “sisa” seperti itu tentu lebih rawan merugi.

"Ini saya kira jangan maulah. Tolak saja. Itu lebih banyak mudhorotnya daripada manfaat," kata Fahmy.

Menanggapi pendapat Fahmy tersebut, Wasekjen MUI, Ikhsan Abdullah, mengakui bahwa perlu ada penyesuaian dan perbaikanregulasi untuk seturut kondisi sekarang.

"Undang-Undang Minerba mungkin perlu disesuaikan karena tidak menyangkut nomenklatur ormas. Tapi, ya lagi-lagi undang-undang bisa direvisi, diperbaiki ketika implementasinya tidak menimbulkan kemaslahatan bagi bangsa dan negara," kata Ikhsan di acara yang sama.

Berkebalikan dengan pendapat Fahmy, Ikhsan menyebut bahwa pemberian konsesi kepada ormas justru bisa berdampak positif. Pasalnya, pertambangan kini tidak lagi berputar di lingkaran elite dan masyarakat melalui ormas bisa turut mendapat ruang.

Menurut Ikhsan, ormas keagamaan pun sebenarnya punya ahli-ahli tambang, tapi tidak memiliki ruang maupun modal yang cukup untuk turut terjun mengelolanya.

Ikhsan pun menegaskan bahwa pemerintah perlu didorong untuk memberikan konsesi tambang yang belum dieksploitasi.

"Ya nanti kasih yang khusus, yang belum [dieksploitasi]. Jangan yang sudah diobrak-abrik bekas perusahaandanenggak ada lagi tambangnya," kata Ikhsan.

Baca juga artikel terkait IUP TAMBANG atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Fadrik Aziz Firdausi