Menuju konten utama

Pengakuan BIN Soal Pemulangan Neno Warisman yang Menuai Kritik

Pengakuan BIN soal keterlibatan mereka dalam pemulangan Neno Warisman dari Pekanbaru ke Jakarta menuai kritik politikus. Mereka menyindir BIN sebagai intel Melayu.

Pengakuan BIN Soal Pemulangan Neno Warisman yang Menuai Kritik
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberi keterangan pada wartawan seusai mengunjungi kediaman Neno Warisman di Perumahan Griya Tugu Asri, Depok, Jawa Barat, Selasa (31/7/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Beberapa jam setelah Neno Warisman dipulangkan paksa dari Pekanbaru ketika hendak mendeklarasikan gerakan #2019GantiPresiden, akhir pekan lalu, muncul pernyataan pers atas nama Juru Bicara Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto. Ia menyebut BIN daerah, terutama Kepala BIN Riau Marsekal Madya Rachman Haryadi, terlibat dalam pemulangan tersebut.

Sikap BIN kemudian dikritik para politikus. Kata politikus Gerindra kasus ini membuat BIN jadi mirip intel Melayu—sebuah istilah yang dimaksudkan untuk menyindir ketidakprofesionalan kerja intelijen.

Seorang intelijen harusnya cuma bertugas mencari informasi dan menyampaikannya ke atasan selengkap-lengkapnya. Tak boleh lebih dari itu. Dalam kasus BIN daerah, informasi juga diberikan kepada gubernur daerah setempat, selain ke BIN pusat.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah turut mengomentari keterlibatan Rachman lewat Twitter, meski tak menyebut eksplisit nama itu. Menurutnya apa yang dilakukan BIN daerah karena mereka tak mengerti isi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Karena itu pula pejabat terkait harus dipecat.

"Ada pejabat BIN daerah yang tidak baca UU Intelijen, maka dia harusnya dipecat saja... Otaknya masih bermental otoriter... Dia kira BIN punya kekuatan eksekusi... Dia kira konstitusinya masih UUD sebelum amandemen.. Capek deh," kata Fahri, Minggu (26/8/2018).

Pernyataan Fahri benar jika melihat Undang-undangnya langsung. Dalam Pasal 18 (b) UU Intelijen Negara, disebutkan kalau setiap personel intelijen negara salah satunya wajib untuk "merahasiakan seluruh upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi... yang berkaitan dengan fungsi dan aktivitas intelijen."

Disanggah, dan dibantah lagi

Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Heri Purwanto menyanggah semua keberatan tersebut. Menurutnya apa yang dilakukan mereka sudah sesuai dengan UU Intelijen Negara. Tugas intelijen daerah, katanya, juga termasuk eksekusi.

"Ini sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya: kami hanya bertanggungjawab pada support informasi," kata Wawan kepada Tirto, Selasa (28/8/2018).

Menurutnya Marsekal Madya Rachman memang harus "tampak" karena memang dia pejabat publik. Posisi demikian membedakannya dengan para agen yang harus menutupi identitasnya saat menjalani operasi. "Kepala BIN daerah kan pejabat publik, berbeda dengan agen. Agen tertutup, tidak akan muncul," katanya.

Wawan menegaskan peran BIN akhir pekan lalu sebatas memastikan terciptanya kondisi aman. Jika kerusuhan sampai menimbulkan korban, maka Kepala BIN daerah pula yang bakal disalahkan. "Itu harus dipastikan karena tugas Kepala BIN daerah. Jangan sampai riot terjadi. Kalau terjadi yang disalahkan pasti Kepala BIN daerah," kata Wawan.

Pernyataan Wawan dibantah Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) Soleman Ponto. Menurutnya memulangkan orang secara terbuka adalah tugas polisi. Kalau pun BIN terlibat, itu sebatas membantu dan lagi-lagi tak perlu diumbar. "Seharusnya tidak ada begitu [mengumumkan operasi]. Dia [intel] tertutup dan tak muncul di permukaan," katanya kepada Tirto.

Soleman menyebut ini berlaku buat semua intelijen, termasuk Kepala BIN daerah sekalipun. Lain hal kalau tidak sedang menjalankan operasi, misalnya ketika hadir ke acara pemerintah daerah. "Kepala BIN daerah itu kan pejabat publik, sama seperti Kapolsek," katanya.

Baca juga artikel terkait BIN atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino