tirto.id - Front Pembela Islam (FPI) tetap menganggap Sofyan Tsauri, eks narapidana terorisme yang pernah bergabung dengan Jamaah Anshar Daulah (JAD), sebagai terduga intel kepolisian. Anggapan itu bertahan sejak 2010 silam, kala pentolan FPI Rizieq Shihab bersaksi di persidangan Abu Bakar Ba’asyir.
Anggota Lembaga Dakwah Front (LDF) DPP FPI Novel Bamukmin berkata dugaan Sofyan sebagai intel muncul karena keberhasilannya merekrut sejumlah anggota FPI DPW Aceh untuk bergabung dalam aksi terorisme pada 2009. Saat itu, Sofyan disebut sempat mengajak beberapa anggota FPI Aceh berlatih di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua.
“[Sofyan] memanfaatkan relawan yang daftar jihad ke Palestina, yang sudah terdaftar dan cukup persyaratan direkrut Sofyan Tsauri. Diajak latihan dulu oleh Sofyan lalu setelah terlatih difasilitasi latihan di Aceh, dan saat Densus 88 gerebek, Sofyan menghilang,” ujar Novel kepada Tirto, Minggu malam (20/5/2018).
Pembicaraan soal tudingan Sofyan merupakan intel mencuat beberapa hari terakhir setelah kembali beredarnya video ceramah Rizieq Shihab. Dalam ceramah itu, Rizieq menyebut Sofyan adalah pencipta terorisme. Sofyan juga disebut Rizieq sebagai anggota Brimob dan bertugas merekrut anak muda, termasuk anggota FPI, untuk bergabung dengan gerakan terorisme.
Novel ikut-ikutan menyampaikan pendapat serupa dengan Rizieq. Menurut Novel, enam anggota FPI Aceh direkrut Sofyan. Keenam orang itu sebelumnya mendaftar sebagai relawan untuk membantu Palestina pada 2009.
“Itu orang FPI Aceh yang tanpa sepengetahuan DPP FPI direkrut karena arahan Sofyan jangan beritahukan kepada pimpinan pusat FPI,” ujar Novel.
Tak hanya mampu membujuk enam anggota FPI bergabung, Novel menyebut Sofyan juga dengan mudah mengajak keenam anggota FPI itu latihan menembak di Mako Brimob. Ini dianggap Novel janggal lantaran pemakaian fasilitas di Mako Brimob tak bisa dilakukan sembarang orang.
“Apalagi dapat senjata dan amunisi. Mana mungkin orang yang tidak berkepentingan bisa leluasa ke Mako Brimob, bahkan sampai latihan,” ujar Novel.
Pembelaan Sofyan
Munculnya kembali video itu membuat Sofyan bingung. Tudingan itu sudah beberapa tahun ke belakang. Ia bahkan mencurigai mencuatnya tuduhan itu sebagai upaya FPI menggoreng isu terorisme untuk menyerang pemerintah.
Bekas anggota Satuan Sabhara dan Binmas Polresta Depok itu mengaku bukan anggota Brimob apalagi intelijen kepolisian. Ia mengaku sempat menjadi teroris dan bergabung dengan JAD, tetapi sudah tobat.
“Kenapa polemik ini digoreng lagi oleh mereka? Ini kan FPI Banten yang pertama kali mengeluarkan [video kesaksian Rizieq]. Kalau saya justru curiga [mereka] mauigoreng isu terorisme untuk menyerang pemerintah?,” ujar Sofyan kepada Tirto, Senin (21/5/2018).
Sofyan mengakui dirinya sempat mengajak tiga anggota FPI Aceh--bukan enam seperti ditudunhkan Novel Bamukmin--berlatih menembak di Mako Brimob. Latihan itu diklaimnya berada dalam pengawasan Persatuan Penembak Indonesia (Perbakin).
Ketiga anggota FPI itu bagian dari 10 anggota FPI yang kemudian dekat dengan Sofyan. Mereka datang ke Jakarta untuk berangkat ke Palestina. Belakangan, kata Sofyan, ketiganya tak jadi berangkat karena ditipu Ketua FPI Aceh saat itu, Yusuf Qardhawi.
“Beberapa ikhwan FPI menelepon saya. Akhirnya saya datang ke Petamburan lalu saya tawarkan agar jangan kecewa, dari 15-17 orang ini saya hanya bisa nampung 10 orang, itu dulu saya kasih daurah," ujar Sofyan.
Saat menampung anggota FPI Aceh, Sofyan mengenalkan paham jihad global kepada mereka. Pengenalan anggota FPI Aceh dengan paham jihad global itu disebutnya melibatkan Dulmatin--Dulmatin merupakan salah seorang ideolog dan pemberi tausiah seperti disebutkan dalam sejumlah vonis terpidana kasus teroris.
Setelah dikenalkan dengan ideologi jihad global, tiga anggota FPI ini ia ajak berlatih menembak. Sofyan mengaku mendapat permintaan dari Yudi Zulfahri dan Tengku Ahmad. Dalam putusan Mahkamah Agung terhadap Yudi Zulfahri terungkap, Yudi dan Tengku merupakan dua anggota JI yang terlibat dalam persiapan dan pelatihan militer di Jalin Jantho 2010. Yudi pun diketahui sebagai orang yang dua kali membeli senjata AK47 dan AK58 dari Sofyan pada Desember 2009.
Meski begitu, Sofyan mengatakan tiga anggota FPI itu hanya diajak berlatih menembak di Mako Brimob.
“Ada pelatihan Perbakin menembak di Mako Brimob itu kan biasa dipakai masyarakat umum. Saya ajak 3 orang aja, saya ajak nembak biar ada hiburan, tapi tidak ada pelatihan militer,” ujar Sofyan.
Nyawa Terancam Karena Tudingan
Eks terpidana terorisme karena keterlibatan di pelatihan militer di Aceh itu mengaku keselamatannya kerap terancam setelah merebaknya tudingan Rizieq bahwa dirinya intelijen kepolisian. Reproduksi tudingan saat ini disebut Sofyan terjadi karena FPI tidak mengetahui banyak informasi tentang dirinya.
Menurut pengakuan Sofyan, ancaman sudah ia rasakan sejak dulu mendekam di tahanan Polda Metro Jaya dan LP Cipinang. Ia mengaku hampir diracun narapidana terorisme yang percaya dengan tudingan Rizieq.
Saat itu, Sofyan dihukum karena terbukti memasok senjata untuk pelatihan teroris di Aceh. Ia sempat terlibat dalam transaksi 4 pucuk senjata laras panjang jenis M-16 milik Polri yang tidak diperjualbelikan secara bebas.
“Saya terancam dua kali ingin diracun kelompok yang percaya perkataan [Rizieq] yang mengatakan saya bagian dari intel. Sementara kebenaran info itu juga patut dipertanyakan. Dalilnya [Rizieq] kan hanya desas-desus. Ini kan bahaya kalau desas-desus dijadikan dalil,” ujar Sofyan.
Menurut Sofyan, tudingan dirinya merupakan intel saat menjadi teroris adalah bentuk kezaliman. Ia pun sempat berencana melaporkan tudingan FPI dan Rizieq ke kepolisian, namun hal itu belum terwujud hingga kini.
“Penyebar pertama video itu sekarang sudah menutup akunnya, berarti kan dia sudah ketakutan nih. Saya sih belum laporkan ke aparat keamanan walau berkali-kali saya disuruh adukan masalah seperti ini,” ujar Sofyan.
Tudingan Intel Sukar Dibuktikan
Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyebut, isu intelijen dalam kelompok teror muncul karena masyarakat sedang terbelah menanggapi rentetan aksi terorisme belakangan.
Menurut Harits, masyarakat terpecah menjadi kubu yang percaya serangan dilakukan teroris, dan pihak yang percaya teror terjadi karena campur tangan intelijen.
“Kelompok ini mencoba untuk membeberkan argumentasinya di antaranya adalah apa yang viral di video itu. Apa yang ada di video itu masih dalam batasan analisis dan hipotesis saja," ujar Harits.
Harits berkata, fakta empiris yang digunakan dalam kesaksian Rizieq dan pernyataan FPI belum bisa menjelaskan benar tidaknya seseorang merupakan intelijen polisi. Akan tetapi, ia menganggap wajar digunakannya fakta-fakta itu sebagai dasar analisis kubu yang menganggap adanya intelijen di kelompok teror.
Menurut Harits, hasil kajian lembaganya membuktikan bahwa sangat terbuka kemungkinan intelijen masuk ke dalam kelompok teroris.
“Makanya teorinya [terror] by design itu ada kemungkinan terjadi karena ada infiltrasi. Maka intelijen di lingkaran kelompok itu mengagitasi, memprovokasi, mediasi, sampai terjadinya teror. Itu secara teoretis sangat mungkin, tapi secara faktual, mengungkapkan itu tidak mudah,” ujar Harits.
Penjelasan Polisi
Tudingan FPI dan Rizieq bahwa Sofyan merupakan intelijen dibantah Polri. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal berkata, tak ada intelijen yang dikirim polisi ke dalam kelompok teroris.
“Tidak ada intelijen. Saudara Sofyan Tsauri adalah terpidana tindak pidana terorisme yang sudah ditangani [secara] rigid dan detail,” ujar Iqbal kepada wartawan.
Pendapat senada disampaikan Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Setyo meluruskan tudingan Rizieq dan Novel yang menyebut Sofyan anggota Brimob. Menurut Setyo, selama masih menjadi polisi Sofyan tidak pernah menjadi anggota Brimob, melainkan langsung ditempatkan di Sabhara dan Binmas Polres Kota Depok sejak 1998.
Setelah itu, ia ditugaskan ke Aceh pada 2002. Saat bertugas ke Aceh Sofyan diduga terpapar paham radikal yang diusung Aman Abdurrahman dalam jaringan teroris. “Saudara Sofyan termasuk jaringan Al Qaeda Asia Tenggara dengan nama Abu Ayas yang berperan sebagai pemasok senjata teroris di Aceh,” ujar Setyo.
Sofyan diberhentikan dengan tidak hormat dari Polri pada 2009. Ia ditangkap Densus 88 di kawasan Narogong, Bekasi, 6 Maret 2010. Setelah tertangkap, Sofyan divonis penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Depok. Ia bebas karena mendapat remisi sejak 21 Oktober 2015.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih & Maulida Sri Handayani