tirto.id - Realisasi penerimaan pajak selama tahun 2020 berkisar Rp1.070 triliun atau setara 89,3 persen dari target penerimaan pajak Perpres 72/2020 yang mencapai Rp1.198,8 triliun.
Berdasarkan realisasi itu, defisit atau shortfall penerimaan pajak selama tahun 2020 mencapai Rp128,8 triliun. Shortfall tahun 2020 ini relatif lebih kecil dari tahun 2019 yang mencapai Rp245,5 triliun lantaran target penerimaan pajak 2020 sudah direvisi dari semula Rp1.642,6 triliun menjadi Rp1.198,8 triliun.
“Penerimaan pajak realisasi 2020 Rp1.070 triliun. Terjadi kontraksi 19,7 persen dari 2019 masih lebih baik dari perkiraan kontraksi 21 persen,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Rabu (6/1/2021).
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan penerimaan pajak 2020 dipengaruhi oleh rendahnya aktivitas ekonomi di 2020. Di sisi lain pemerintah juga menggelontorkan stimulus pajak untuk meringankan beban dunia usaha.
Faktor lainnya juga mencangkup turunnya harga minyak dunia dari target 60 dolar AS/barel menjadi hanya 40 dolar AS/barel. Penerimaan PPh Migas tersungkur di Rp33,2 triliun atau turun 43,9 persen dari tahun 2019 yang terealisasi Rp59,2 triliun.
Pajak Nonmigas hanya terealisasi Rp1.036,8 triliun atau turun 18,6 persen dari realisasi 2019 senilai Rp1.273,5 triliun. Salah satu sebabnya adalah penurunan harga komoditas sumber daya alam selama 2020.
Berdasarkan jenis pajak, pajak karyawan atau PPh 21 mengalami terkontraksi 5,2 persen year on year (yoy) selama 2020 padahal pada 2019 tumbuh 10,07 persen. PPh badan atau pajak perusahaan terkontraksi 37,8 persen meski tahun 2019 masih tumbuh 0,15 persen.
PPh 22 impor terkontraksi 49,5 persen yoy dari sebelumnya tumbuh 1,06 persen di 2019. PPN impor terkontraksi 18,13 persen yoy padahal tahun 2019 masih tumbuh 8,06 persen yoy. Kontraksi pajak impor ini disebabkan kontraksi impor yang cukup dalam seiring turunnya permintaan dalam negeri.
Dari per sektor usaha, kontraksi penerimaan pajak terbesar mencapai 43,77 persen yoy dari pertambangan padahal 2019 masih tumbuh 20,41 persen yoy. Konstruksi real estate terkontraksi 22,56 persen yoy padahal sempat tumbuh 4,51 persen di 2019.
Industri pengolahan terkontraksi 20,21 persen yoy dari semula hanya kontraksi 2,29 persen yoy di 2019 dan perdagangan terkontraksi 18,94 persen yoy di 2020 dari semula tumbuh 3,07 persen yoy di 2019.
“Perdagangan di Q4 ada sedikit perbaikan. Sangat tergantung kalau ada PSBB dan kemudian COVID-19 menyebabkan restriksi meningkat, maka perbaikan ini bisa terganggu lagi,” ucap Sri Mulyani.
Industri jasa keuangan dan asuransi terkontraksi 14,31 persen dari semula tahun 2019 tumbuh 7,32 persen. Menurut Sri Mulyani turunnya penerimana dari jasa keuangan dipengaruhi mandeknya penyaluran kredit, rendahnya suku bunga, dan tingginya tingkat kredit bermasalah atau NPL.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan