tirto.id - Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin mengatakan, media sosial mempercepat masuknya paham radikalisasi. Pendapat itu dikemukakan berdasarkan hasil riset yang ia lakukan 2017 lalu.
Menurut Solahudin, media sosial terutama aplikasi pesan singkat membantu penyebaran paham radikal. Akan tetapi, rekrutmen anggota kelompok teror masih kerap dilakukan tanpa perantara media sosial.
"Studi saya tahun lalu memeriksa 75 terpidana terorisme menunjukkan [...] mereka rata-rata butuh waktu 5-10 tahun dari terpapar [radikalisme] sampai melakukan aksi teror. Saya menyimpulkan, elemen yang mempercepat radikalisasi terkait sosial media," ujar Solahudin di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informasi, Jakarta, Rabu (16/5/2018).
Solahudin menjelaskan, pola radikalisasi dan rekrutmen kelompok teroris di Indonesia berbeda dengan negara lain.
Menurutnya, penyebaran paham radikal di luar Indonesia juga dilakukan via media sosial. Setelah itu, orang yang terpapar direkrut melalui media serupa.
Pada konteks Indonesia, media sosial hanya berperan sebagai tempat menyebar paham radikal.
"Kepada 75 orang yang saya wawancara, hanya 9 persen mengatakan bergabung via sosmed. Sisanya mengatakan direkrut melalui forum-forum keagamaan," ujar Solahudin.
Ia mengatakan, rekrutmen anggota teroris melalui forum keagamaan cukup efektif di Indonesia karena adanya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga, forum keagamaan yang menyebar ajaran radikal sangat mudah ditemukan.
Solahudin juga menyebut, kelompok ekstrimis di Indonesia tidak percaya media sosial untuk merekrut anggota. "Banyak kasus penipuan terjadi lewat channel Telegram yang berafiliasi dengan ISIS," ujar Solahudin.
Senada dengan Solahudin, Tenaga Ahli Bidang Literasi Digital Menkominfo Donny B.U juga mengatakan, potensi masyarakat terpapar radikalisme besar. Alasannya, ada 143,2 juta pengguna internet di Indonesia.
Donny mengaku sulit menemukan dan menindak konten negatif di dunia maya. Karena itu, ia menekankan pentingnya pembenahan di sektor hulu untuk konten dunia maya.
"Makanya Kominfo melihat secara komprehensif. Kalau hanya reaksi di tiap kasus yang muncul itu tidak ada habisnya. Kita harus bicara di sisi hulu, istilahnya literasi. Di hilir ada penanganan seperti blokir, penegakan hukum," kata Donny.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto