tirto.id - Pemerintah mencabut larangan penggunaan cantrang dan payang di kapal nelayan. Kebijakan itu dikeluarkan usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertemu dengan perwakilan Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI), Rabu (17/1/2018).
Keputusan pencabutan larangan cantrang dan payang disampaikan langsung oleh Menteri Susi ditemani perwakilan ANNI yang juga Ketua KUD Karya Mina, Tegal, Hadi Santoso.
Menurut Susi, pencabutan larangan cantrang tersebut harus diikuti dengan janji nelayan untuk tidak menambah kapal yang menggunakan alat tangkap tersebut.
"Saya tidak mau ada kapal cantrang ilegal, tak punya ukuran, ukuran markdown, masih melaut. Kemudian tak boleh ada kapal tambahan lagi," ujar Susi di Monumen Nasional, Jakarta pada hari ini.
Susi menyampaikan hal itu saat berbicara dari atas mobil komando peserta aksi ribuan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) di Taman Pandang Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Hari ini, ANNI menggelar demo menuntut Menteri Susi melegalkan penggunaan cantrang dan payang.
Menurut Susi, pemerintah juga berniat memberi bantuan kredit bagi nelayan yang hendak mengganti kapalnya. Selain itu, Susi berkata akan membantu nelayan yang memiliki kredit macet.
Menteri kelahiran Pangandaran, Jawa Barat itu juga meminta nelayan tidak berbohong lagi mengenai ukuran kapal mereka. Susi mengancam akan menenggelamkan kapal-kapal nelayan pengguna cantrang yang memasang keterangan ukuran palsu.
"Saya ingin anda-anda kuasai laut Indonesia, bukan kapal-kapal ikan asing. Kapal asing diapain? Bom, tenggelamin. Hidup nelayan Indonesia," ujarnya.
Polemik Larangan Cantrang
Cantrang adalah penangkap ikan berbentuk kantong terbuat dari jaring dengan dua panel dan tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Jaring cantrang yang ditarik dengan kapal yang bergerak mampu menangkap ikan di dasar perairan.
Bagi nelayan, menggunakan cantrang memang menguntungkan karena dapat memperoleh hasil tangkapan ikan yang banyak. Selain itu, harga jaring cantrang juga terjangkau ketimbang pukat cincin yang harganya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Akan tetapi, Cantrang dianggap tidak ramah lingkungan karena tidak hanya menangkap ikan yang bernilai ekonomis saja, namun biota laut berjenis tangkapan sampingan atau tidak termanfaatkan juga ikut terangkut.
Ekosistem tempat tumbuhnya jasad renik atau organisme, yang menjadi makanan ikan, bisa terganggu atau rusak akibat penggunaan cantrang. Tak hanya itu, ikan-ikan kecil pun juga ikut tertangkap, sehingga mengganggu keberlanjutan kelautan dan perikanan Indonesia. Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Sedangkan, sebanyak 60-82% adalah tangkapan sampingan.
Polemik soal alat tangkap ikan laut di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak era Presiden Soeharto. Pada 1980, para nelayan kecil meminta kapal pukat harimau (trawl) dilarang beroperasi karena dianggap telah merugikan mereka. Soeharto pun mengeluarkan Keputusan Presiden No. 39/1980 tentang penghapusan jaring trawl yang berlaku mulai 1 Oktober 1980 untuk perairan Laut Jawa. Lalu menyusul, berlaku di Pulau Sumatera mulai 1 Januari 1981.
Selang 35 tahun kemudian, polemik alat tangkap nelayan kembali muncul di masa pemerintahan Presiden Jokowi. Ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Kelautan No. 2/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Penggunaan cantrang termasuk yang dilarang sesuai dengan aturan ini yang mulai ditetapkan 8 Januari 2015.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu sontak direspons protes keras dari para nelayan. Mereka menolak larangan penggunaan cantrang. Nelayan menilai, cantrang berbeda dengan trawl yang memang membahayakan lingkungan. Sejak saat itu, gelombang aksi unjuk rasa nelayan terus terjadi, bahkan sampai di depan Istana Negara, Jakarta.
Pemerintah pun akhirnya menunda larangan penggunaan cantrang. Hingga saat ini, larangan penggunaan cantrang sudah tiga kali diperpanjang pemerintah. Perpanjangan pertama ditetapkan hingga Desember 2016, melalui Surat Edaran No. 72/MEN-KP/II/2016, tentang Pembatasan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Cantrang di WPPNRI. Alasan perpanjangan karena pemerintah belum menuntaskan alat pengganti cantrang.
Namun, pelarangan cantrang kembali diperlonggar hingga Juni 2017, melalui Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap No. B.664/DJPT/PI.220/VI/2017. Setelah itu, kelonggaran ketiga berlangsung hingg akahir Desember 2017 melalui Surat Edaran Dirjen Perikanan Tangkap No. B.743/DJPT/PI.220/VII/2017 tentang Pendampingan Peralihan Alat Penangkap Ikan Pukat Tarik dan Pukat Hela di WPPNRI. Lagi-lagi, alasan perpanjangan karena alat tangkap pengganti yang belum tuntas.
Kebijakan yang memberi "angin" ini tentu berdampak pada populasi cantrang yang dipakai oleh nelayan. Jumlah alat tangkap cantrang justru bertambah dalam 2 tahun terakhir ini. Pada 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mencatat terdapat 5.781 unit cantrang di seluruh Indonesia. Namun, jumlah itu bertambah menjadi 14.357 unit pada awal 2017.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Addi M Idhom