Menuju konten utama
Polemik RUU HIP

Pemuda Siaga Pancasila Desak DPR Cabut RUU HIP, Bukan Ganti Judul

Ketua Umum Bintang Muda Indonesia (BIM) Farkhan Evendi berkata yang ditolak Kesatuan Pemuga Siaga Pancasila bukan hanya judul RUU HIP, melainkan keseluruhan isi dari RUU tersebut.

Pemuda Siaga Pancasila Desak DPR Cabut RUU HIP, Bukan Ganti Judul
Ketua DPR Puan Maharani didampingi Wakil ketua DPR Rachmat Gobel, Azis Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad dan Muhaimin Iskandar saat memimpin Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/6/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pras.

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tetap berupaya melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) meski ditolak sejumlah kalangan. Bahkan alih-alih dihentikan, DPR justru berkilah dengan berencana mengganti nama dari RUU HIP menjadi Rancangan Undang-Undang Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP).

Melihat “kengototan” DPR itu, kata Ketua Umum Bintang Muda Indonesia (BIM) Farkhan Evendi, perlu penegasan sikap bahwa yang ditolak bukan hanya judul RUU HIP, melainkan keseluruhan isi dari RUU tersebut mulai halaman pertama sampai akhir.

“Dasar dari penolakan tersebut adalah bahwa Pancasila merupakan konsensus final dari para founding fathers,” kata Farkhan dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (16/7/2020).

Karena itu, kata dia, Kesatuan Pemuda Siaga Pancasila yang terdiri dari BMI, Pemuda Muhammadiyah, GP Ansor, SAPTA Pemuda Pancasila, dan Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (PERADAH) mendesak DPR agar mengeluarkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dari program legislasi nasional (prolegnas).

Selain itu, kata Farkhan, Kesatuan Pemuda Siaga Pancasila mendesak Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait penghentian RUU HIP tersebut.

Hal senada diungkapkan Abdul Qodir dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Ia menilai Pancasila yang hari ini kita kenal merupakan hasil akhir dari dinamika dan perdebatan para founding fathers ketika menggagas kemerdekaan Indonesia, sehingga upaya menarik kembali pada salah satu argumentasi yang pernah muncul dalam dialektika pembentukan Pancasila adalah hal yang ceroboh.

“Ketika masih memiliki pemahaman bahwa Pancasila bisa disederhanakan menjadi Trisila dan Ekasila, maka itu merupakan bentuk ketidak mampuan memahami secara utuh aspek historis Pancasila,” kata Abdul Qodir.

Sehingga, kata dia, menarik kembali pemahaman tersebut artinya hendak membuka kembali peluang untuk bisa menggugat dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sementara Fany Hamza dari pemuda Muhammadiyah mengatakan posisi RUU HIP juga bisa membahayakan ketatanegaraan kita, karena melalui RUU ini mampu menurunkan Pancasila menjadi hanya sekadar UU.

Padahal, kata Fany, Pancasila merupakan sebuah landasan filosofis serta dasar negara yang dijadikan sumber utama dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia, maka RUU HIP sejatinya tidak penting.

Selain itu, kata Sekjen SAPMA Pemuda Pancasila Willy, lembaga yang sebelumnya telah dibentuk Presiden Jokowi bernama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bisa membahayakan jalannya pemerintahan. Jangan sampai BPIP memicu kecurigaan akan menjadi Lembaga indoktrinasi gaya baru.

“BPIP cukup menjadi penata kelola yang sifatnya memfasilitasi dan sosialisasi nilai Pancasila kepada masyarakat luas melalui tokoh-tokoh lintas agama, lintas budaya, lintas bidang, dan lintas sektor,” kata dia.

Karena itu, Kesatuan Pemuda Siaga Pancasila mendesak DPR dan pemerintah menghentikan dan cabut RUU HIP dari Prolegnas 2020. Selain itu, mereka juga minta hentikan politisasi Pancasila untuk kepentingan mendelegitimasi pemerintahan yang sah.

Kesatuan Pemuda Siaga Pancasila juga meminta pemerintah untuk fokus dan bersiaga dalam menangani pandemi Covid-19, menjaga persatuan dan perdamaian, dan menangani bahaya kelaparan akibat pandemi yang melanda Indonesia sejal awal Maret lalu.

Baca juga artikel terkait RUU HIP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Politik
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maya Saputri