tirto.id - Presiden Joko Widodo membubarkan 18 kementerian/lembaga di tengah pandemi COVID-19. Lembaga paling tua yang dibubarkan dibentuk berdasarkan keputusan presiden tahun 1991. Sedangkan lembaga paling muda disahkan pada 2017.
Seminggu sebelum pembubaran, Jokowi sudah mengumumkan nama 18 lembaga tersebut di hari Senin (13/7/2020). Alasan Jokowi, kerja lembaga terkait bisa dialihkan ke kementerian/lembaga lain sehingga menghemat anggaran negara.
"Semakin ramping organisasi, ya cost-nya kan semakin bisa kita kembalikan. Anggaran, biaya. Kalaupun bisa kembalikan ke menteri, kementerian, ke dirjen, direktorat, direktur, kenapa kita harus pakai badan-badan itu lagi, ke komisi-komisi itu lagi?" kata Jokowi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menjelaskan alasan Jokowi tidak serta-merta hanya anggaran. Pembubaran yang diputus melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 tahun 2020 itu karena kementerian/lembaga terkait tidak juga menunjukkan perkembangan yang bagus setelah 4-5 tahun bekerja.
“Tidak, kita pendekatannya tidak pendekatan anggaran. Kecil sekali (jika memakai pendekatan anggaran),” kata Tjahjo.
Padahal, Perpres itu mengatur tentang Komite Penangan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dari namanya saja, salah satu tugas atau pekerjaan rumah komite ini adalah memperbaiki perekonomian Indonesia yang terpengaruh selama pandemi. Namun Tjahjo menegaskan pertimbangan paling besar adalah mencegah tumpang tindih pekerjaan.
“Daripada ini nanti menjadi sebuah birokrasi yang dalam tanda petik timbul tumpang tindih, maka sejak awal beliau (Jokowi) ingin manajemen pemerintahan itu harus smart, harus simple, sehingga melayani masyarakat memberikan perizinan bisa cepat,” ujar Tjahjo lagi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menganggap pembubaran lembaga tersebut tidak akan terlalu berpengaruh untuk penghematan anggaran dengan mengalihkannya ke penanganan COVID-19.
Dalam perkembangan terakhir, Kementerian Keuangan memperkirakan Indonesia perlu dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) mencapai Rp 695,2 triliun. Angka sejumlah itu baru bisa terbantu jika kementerian/lembaga yang dibubarkan cukup besar. Dana yang dihemat dari satu kementerian/lembaga itu mencapai Rp200 miliar hingga Rp 10 triliun. Delapan belas lembaga yang kebanyakan hanya berupa tim kecil tentu tak termasuk di antaranya.
Dengan pertimbangan kinerja, efisiensi birokrasi, dan penghematan anggaran, saya menyeleksi 5 lembaga lain di luar 18 lembaga yang sudah dibubarkan. Kelima lembaga inilah yang juga layak dipertimbangkan untuk dilikuidasi.
1. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Pada 28 Februari 2018 Presiden Jokowi menandatangani Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP. Dengan begini, Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) resmi berubah menjadi BPIP. Keberadaannya pun hendak dilembagakan secara resmi lewat UU Haluan Ideologi Pancasila yang belakangan mau berganti nama menjadi RUU BPIP.
Namun keberadaan BPIP menjadi polemik. Dalam tugas dan wewenangnya, BPIP boleh menilai apakah kebijakan suatu kementerian/lembaga sudah sesuai Pancasila atau tidak. Dengan begini, BPIP akan menjadi penafsir tunggal dari dasar negara.
Beberapa pihak, termasuk putri Sukarno, Rachmawati Soekarnoputri, merasa BPIP tidak diperlukan. Penguatan Pancasila tidak harus dilakukan BPIP, tapi juga guru sekolah melalui perbaikan sektor pendidikan. Lewat pendidikan karakter dan guru yang berkompeten, sehari-hari Pancasila bisa diajarkan tanpa harus bergantung pada BPIP.
Dalam Nota Keuangan 2020, anggaran BPIP sebesar Rp 216,9 miliar untuk program “Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan”. Uang sejumlah itu bisa digunakan untuk perbaikan ekonomi daripada digunakan untuk BPIP yang belum mendesak hingga sekarang. Wacana Revolusi Mental bahkan sudah dilakukan sebelum BPIP dibentuk, tapi tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Dengan memasukkan BPIP di program revolusi mental, anggaran negara seperti dihamburkan dua kali secara percuma.
2. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Kompolnas terbentuk berdasar UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keberadaan Kompolnas juga diperkuat oleh Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Kompolnas dan Perpres Nomor 20 tahun 2019 tentang pendapatan pengurus dan anggota Kompolnas.
Untuk jabatan ketua mendapat Rp25 juta; wakil ketua sebesar Rp23,5 juta; sekretaris dan anggota Rp22 juta. Ada sembilan anggota Kompolnas termasuk yang memegang jabatan struktural. Jika dikalkulasi, untuk gaji saja Kompolnas memakan APBN sebesar Rp 202,5 juta tiap bulan atau setara Rp 2,43 miliar setiap tahunnnya.
Keberadaan Kompolnas tidak sepenuhnya efektif. Setiap tahun, Kompolnas mengaku mendapat ribuan laporan. Pada 2018 ada setidaknya 1.104 aduan soal kinerja Polri. Setahun berikutnya ada 2.059 aduan. Banyaknya laporan yang masuk membuktikan bahwa setiap tahun tidak ada hasil signifikan antara aduan kepada Kompolnas dengan reformasi di tubuh Polri.
Dalam menjalankan tugasnya, Kompolnas bertanggung jawab kepada presiden. Lembaga ini juga bertugas membantu presiden menetapkan arah kebijakan Polri dan memilih Kapolri. Namun ini hanya di atas kertas.
Jarang pemilihan Kapolri oleh presiden bertentangan dengan pendapat Kompolnas. Kalau tidak bertentangan, apa pula yang bisa Kompolnas lakukan selain rekomendasi? Tidak ada.
Pemilihan Kapolri Idham Azis, misalnya. Kompolnas menganggap pilihan presiden sudah tepat. Padahal jika ditilik dari keektifannya, pilihan itu keliru. Idham, yang pada 2020 memasuki usia pensiun, akan segera diganti dan hanya menjabat sekitar 1 tahun.
Seharusnya Kompolnas punya calon Kapolri lain yang bisa diusulkan dan lebih baik untuk memimpin Polri dalam waktu lama. Setelah era reformasi, sebagian besar Kapolri menjabat dalam waktu dua atau tiga tahun. Ketika ditanya soal pergantian Kapolri, Kompolnas menjawab kriterianya hanya jenderal bintang tiga atau setara komisaris jenderal—jawaban yang bisa diberikan seorang reporter magang, tidak perlu anggota Kompolnas.
Di saat Kompolnas berselisih pendapat dengan presiden, suaranya juga tak dihiraukan. Pada 2015 Jokowi menunjuk Badrodin Haiti sebagai pengganti Budi Gunawan selaku Kapolri. Padahal menurut penilaian Kompolnas, Badrodin tidak lolos kriteria penilaian.
Dalam bukuKisah Para Makelar Kasus (Markus) (2010), Ismantoro Dwi Yuwono mencatat kehadiran Kompolnas diharapkan dapat membuat citra polisi yang buruk menjadi polisi yang baik dengan menindak polisi yang melakukan pelanggaran. Bagi Ismantoro, “harapan demikian tentu saja berlebihan.”
Alasannya jelas, tugas dan wewenang Kompolnas tidak ada dalam tataran fungsi pengawasan dan pembinaan anggota Polri. Bagi Ismantoro, peran Kompolnas hanya sebagai penasihat dan penasihat tidak akan bisa “mendongkrak citra Polri.”
Untuk masalah etik, Kompolnas juga tidak bisa ikut campur. Dua penyidik Polri yang ditugaskan ke KPK terlihat dalam rekaman kamera pengawas merusak barang bukti kasus korupsi daging sapi tahun 2018. Diduga, barang bukti itu berkaitan dengan Kapolri Jenderal Polisi saat itu, Tito Karnavian. Dua orang itu kemudian disidang etik oleh Polri.
Bukannya mendapat hukuman, kedua orang itu malah mengalami kenaikan pangkat dan jabatan. Namun Kompolnas toh tak bisa melakukan apa-apa. Meski mengaku melakukan klarifikasi, bukti di lapangan justru berbeda dengan hasil penyelidikan Kompolnas. Kedua penyidik itu memang "melakukan sesuatu" pada barang bukti kasus korupsi.
Seperti kata komisioner Kompolnas sebelumnya, M, Nasser, “Kompolnas itu sebaiknya dibubarkan saja.”
3. Komisi Kejaksaan (Komjak)
Komisi Kejaksaan (Komjak) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Mereka juga diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan. Tugas dan wewenang Komjak meliputi pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku jaksa.
Salah satu yang paling penting adalah pemberian sanksi kepada jaksa. Komjak berwenang untuk memberikan rekomendasi sanksi kepada jaksa untuk dilakukan oleh pengawas internal kejaksaan. Masalahnya, karena sifat rekomendasi ini, peran Komjak menjadi terbatas. Sekali lagi, komisi ini tidak punya kekuatan yang cukup untuk memperbaiki institusi ataupun jaksa secara individu.
Komjak bertanggung jawab kepada presiden. Ketika pemilihan Jaksa Agung H.M. Prasetyo oleh Presiden Jokowi, banyak pihak yang tak sepakat karena dia adalah kader partai. Komjak tidak bisa melakukan apa-apa. Kendati banyak kasus yang mangkrak di era Prasetyo, sekali lagi, Komjak tak berkutik.
Wacana ini bukan baru muncul, tetapi sudah pernah mencuat pada 2013. Kala itu jaksa Pengadilan Negeri Tigaraksa, Tangerang mengacungkan pistol secara sembarangan. Ini kali kedua jaksa itu melakukan aksi ‘koboi’.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menganggap tindakan itu adalah buah dari kinerja Komjak yang lemah. Tidak adanya pengawasan dan penilaian yang tepat membuat jaksa-jaksa seperti MP bisa pamer pistol dan bertindak seenaknya.
Dalam kasus penyiraman air keras oleh Novel Baswedan, publik ramai-ramai mengkritik kinerja jaksa yang menangani perkara itu karena hanya memberikan tuntutan rendah, yakni 1 tahun penjara. Komjak berencana memanggil jaksa tersebut untuk melakukan penilaian. Komjak bisa saja mengeluarkan rekomendasi sanksi, tapi apakah Jaksa Agung S.T. Burhanuddin mematuhinya? Belum tentu.
Kasus Novel juga sudah sampai pada tahap vonis. Kendati jaksa itu mendapat sanksi, Novel dan publik harus menerima kenyataan bukan tidak mungkin akan ada jaksa-jaksa lain dari kepolisian yang berlaku serupa dan mengulang lingkaran setan ini. Padahal mereka yang tergabung dalam Komjak setiap bulan menghabiskan puluhan juta uang rakyat yang dikonversi menjadi gaji pokok.
"Ya, dibubarin saja, karena tidak bermanfaat. Buang-buang duit rakyat," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman seperti dikutip Sindonews.
4. Komisi Yudisial (KY)
Peresmian lembaga KY didasari oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Pembentukan KY juga selaras dengan UUD 1945 amandemen ketiga. Tugas dan wewenang KY cukup banyak, di antaranya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Memilih hakim agung adalah satu-satunya tugas penting KY sejauh ini. Dalam hal menjaga dan menegakkan kehormatan hakim dan semacamnya, itu tak lebih deretan tulisan di atas kertas. Kewenangan melaksanakan rekomendasi KY tetap ada pada Mahkamah Agung, orang-orang yang diusulkan KY sendiri ke DPR.
MA boleh saja memakai usulan KY atau tidak melaksanakannya. Tidak menjadi masalah besar, toh memang kenyataannya demikian. Pada 2018 KY merekomendasikan 63 hakim dijatuhi sanksi. Namun sampai akhir tahun, hanya 10 orang yang kemungkinan besar mendapat sanksi. Keluhan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY Sukma Violetta: “MA tidak melaksanakan sebagian usul sanksi yang disampaikan oleh KY.”
Pada 2019 jumlahnya semakin meningkat hampir dua kali lipat. KY merekomendasikan 130 orang hakim mendapatkan sanksi dari MA. Lagi-lagi hanya 10 rekomendasi KY yang diproses oleh MA. Keluhannya sama, melulu soal pengabaian rekomendasi.
Bila ditilik lebih jauh, di tahun 2017 kejadiannya juga sama, begitu pula 2011. MA bahkan sempat menganggap KY menjatuhkan kredibilitas hakim di Pengadilan Tinggi karena menebar fitnah soal adanya iuran yang berlebihan di antara pengadil untuk pengadaan lomba tenis. MA yang tak terima kemudian mengadukan komisioner KY ke Polda Metro Jaya.
Bagaimana pula lembaga yang harusnya menjaga marwah dan kode etik hakim justru dilaporkan ke polisi oleh individu yang seharusnya dia atur? Bahkan ketika KY memeriksa hakim agung atas aduan masyarakat, MA menuding adanya intervensi terhadap hakim dalam memutus perkara.
Menempati jabatan struktural ataupun anggota di KY jelas suatu keuntungan. Meski sering kali dianggap angin lalu oleh MA, tunjangan yang diberikan negara mencapai puluhan juta. Ketua mendapat sejumlah Rp82,4 juta; wakil ketua Rp70,083 juta; dan anggota Rp61,83 juta. Tunjangan itu memangkas duit rakyat setiap bulannya dan mencapai Rp 102,4 miliar untuk tahun 2020.
Bagaimanapun KY harus tetap ada. Ia adalah amanat konstitusi, bukan? Soal berhasil dan tidaknya, itu perkara lain. Kecuali Jokowi punya keberanian untuk mengubah tradisi yang rasanya sia-sia belaka dipertahankan sampai sekarang. Jokowi bisa menyelamatkan uang rakyat ratusan juta setiap bulannya dan miliaran dalam hitungan tahun.
5. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Semasa duduk di bangku di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas (SMA) hiburan saya di rumah adalah menonton televisi. Berhubung keterbatasan ekonomi, pesawat televisi berlayar cembung itu kami gilir setiap hari. Pagi sampai menjelang magrib tentu milik ibu, sementara saya tidur siang. Jam 17.00 sampai 19.00 adalah waktu kami, anak-anak, menonton kartun. Dan bagi saya yang mengerjakan tugas sekolah di malam hari, tontonan film Hollywood di televisi sungguh menyejukkan.
Saat saya masuk kuliah pada 2012, ada alasan tertentu mengapa kenangan itu tak bertahan. Melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012, sensor diperketat. Masyarakat kaget betul. Pemicunya beragam. Yang paling kentara adalah adegan film aksi yang perlahan-lahan hilang dan menjadi film drama keluarga.
Sensor dilakukan bertahap, mulai dari adegan merokok, adegan seksual, adegan mesra, hingga sebagian besar adegan kekerasan. Bagus jika adegan kekerasan yang dipotong dalam film keluarga. Tapi bagaimana mungkin sebuah film aksi menghilangkan adegan kelahi?
Pada 2016 acara Puteri Indonesia yang menampilkan wanita memakai kebaya diblur di bagian dada dan beberapa bagian lain. Penyensoran berlebihan ini kemudian memicu banyak kritik, salah satunya adalah penafsiran sensor pornografi yang terlalu jauh.
Setahun sebelumnya, KPI juga menegur program kartun Spongebob Squarepants yang menurut KPI sarat dengan adegan kekerasan. Utamanya karakter Sandy si tupai yang memang tomboy dan jago karate. Di tahun 2019, kartun itu kembali kena semprot KPI karena tayangan Spongebob Family Movieyang menampilkan adegan Rabbit Invasion memukul seseorang dengan kayu, menjatuhkan bola bowling ke kepala, dan memukulkan pot kaktus.
Namun KPI justru meloloskan berbagai sinetron yang kontroversi, bahkan tidak mendidik, seperti sinetron terkait azab dan percintaan penuh drama. Tukang Bubur Naik Haji sangat melenceng dari judulnya atau Anak Jalanan yang menampilkan remaja bermodalkan motor mewah kebut-kebutan di jalan berebut pacar. Dua sinetron itu aman dari sensor KPI.
Komisioner KPI Nuning Rodiyah menyebut, "[Tayangan] azab ini kan value-nya tinggi. Ada orang yang jahat kemudian dapat balasan dan sebagainya. Itu ketika kita melihat picture, whole picture-nya kita lihat."
Nuning sempat bertanya lagi soal poin tidak masuk akal dalam sinetron azab. Padahal petir yang muncul dalam setiap adegan pengangkatan jenazah saja jelas tidak logis, sarat akan klenik, dan kebetulan semata.
Ada pula trailer film Gundala yang dianggap KPI melontarkan kata-kata kasar dan kemudian dilarang. Penilaian KPI ini tidak didasari aturan yang kuat karena selama ini tak ada kata yang harus dilarang dalam tayangan di televisi Indonesia. Pembelaan Komisioner KPI Hardly S. F. Pariela ketika diminta menyusun kata terlarang: “mau berapa banyak kata kita masukkan di situ?”
Ketika YouTube dan layanan penyedia film seperti Netflix mulai merambah Indonesia, KPI ingin mendapat perluasan kewenangan ke sana. Keinginan ini tentu menuai protes dari masyarakat. Kisruh ini mereda ketika Kemenkominfo menegaskan KPI tidak akan bisa menyentuh ranah internet.
Memang sebaiknya demikian. Jika tidak, maka bukan mustahil jika YouTube dan Netflix hanya dipenuhi sinetron-sinetron bertema azab yang menghina kecerdasan masyarakat.
Studi yang dilakukan AC Nielsen tahun 2017 di 11 kota Indonesia menunjukkan televisi masih yang paling efektif dalam menjangkau dan menarik masyarakat. Namun penggunaan internet untuk tontonan juga semakin meningkat. Angkanya mencapai 44 persen di bawah televisi sebesar 96 persen.
Ketika akses internet semakin banyak dan penggunaan tayangan digital semakin meningkat, keberadaan televisi yang menampilkan film secara terbatas tentu terancam bahkan mungkin ditinggalkan. Saat itu terjadi, KPI mungkin hanya punya dua pilihan: bubar atau evaluasi diri. Atau bisa saja pilihan ketiga: tetap menghabiskan uang rakyat dan pasang muka tebal.
Sama seperti 18 lembaga lain yang dibubarkan Jokowi, tugas dan wewenang lima lembaga di atas bisa dialokasikan kepada kementerian/lembaga lain daripada negara menghambur-hamburkan uang. Di tengah pandemi, ini saat tepat bagi seluruh aparatus pemerintahan untuk rendah hati dan tidak bertingkah layaknya borjuis. Tanpa adanya lima lembaga itu, Indonesia tetap akan baik-baik saja.
==========
KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan