tirto.id - Belum lama ini lonjakan harga bawang putih sempat menjadi sorotan publik. Kenaikan harga bawang putih mewarnai "tradisi" tahunan kenaikan harga menjelang Puasa dan Lebaran.
Sebelum bawang putih, harga tiket pesawat juga melambung tinggi, bahkan menjadi salah satu pemicu melambatnya pertumbuhan ekonomi pada awal 2019. Pelbagai kenaikan harga ini tentu saja tak disukai konsumen, karena ujung-ujungnya berdampak pada inflasi yang bisa "menggerogoti" nilai uang.
Kenaikan harga secara umum yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu tertentu ini dikenal sebagai inflasi. Menurut Bank Indonesia (BI), kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Ada dua faktor yang dapat memicu inflasi: demand-pull inflation dan cost-push inflation. Pada demand-pull inflation, kenaikan harga disebabkan oleh meningkatnya permintaan barang/jasa oleh masyarakat namun hasil produksi tidak sebanding dengan permintaan tersebut.
Sementara pada cost-push inflation, kenaikan harga dipicu oleh kenaikan harga pada komoditi yang merupakan faktor produksi. Kenaikan harga antara lain bahan mentah dan upah pekerja yang menyebabkan meningkatnya harga di pasar. Dalam kondisi ini, permintaan masyarakat cenderung tetap. Inflasi pada momen Ramadan dan Lebaran sendiri lebih cenderung dipicu oleh faktor demand-pull inflation, atau karena meningkatnya permintaan.
Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir, kenaikan tingkat inflasi pada momen Ramadan dan Lebaran cenderung mulai terlihat sejak dua bulan sebelum Lebaran. Pada 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Juli mencapai 0,93 persen. Lebaran Idul Fitri 2014 jatuh pada 28-29 Juli. Pada dua bulan sebelumnya, tingkat inflasi mencapai 0,16 persen pada Mei, dan 0,43 persen pada Juni.
Pada 2016, momen Lebaran jatuh pada 6-7 Juli. Pada bulan Juli tersebut, tingkat inflasi mencapai 0,69 persen. Bulan sebelumnya, Juni, tingkat inflasi mencapai 0,66 persen. Sementara pada Mei, tingkat inflasi mencapai 0,24 persen.
Kondisi yang sama terjadi pula di 2018. Pada tahun itu Lebaran jatuh pada 14-15 Juni. Di bulan tersebut tingkat inflasi mencapai 0,59 persen. Dua bulan sebelumnya, April dan Mei, tingkat inflasi masing-masing sebesar 0,10 persen dan 0,21 persen.
Dari Konsumsi ke Transportasi
Berdasarkan kelompok pengeluaran, tingkat inflasi setiap bulannya disumbang oleh tujuh kelompok, mulai dari bahan makanan, sandang, kesehatan, hingga transportasi. Periksa data Tirto sebelumnya mencatat kelompok bahan makanan merupakan kelompok yang paling sering menyumbang inflasi pada periode Ramadan dan Lebaran 2007 hingga 2016.
Pada 2014, bahan makanan merupakan kelompok dengan tingkat inflasi tertinggi, yakni sebesar 0,99 persen pada Juni dan 1,94 persen pada Juli. Andil kelompok pengeluaran tersebut terhadap inflasi umum yaitu sebesar 0,19 persen pada Juni dan 0,38 persen pada Juli.
Di 2016, bahan makanan juga menjadi kelompok dengan tingkat inflasi tertinggi pada Juni (1,62 persen) dengan andil pada inflasi umum sebesar 0,34 persen. Sedangkan di bulan Juli, meskipun bukan kelompok dengan tingkat inflasi tertinggi (1,12 persen), namun kelompok bahan makan memiliki andil tertinggi terhadap inflasi umum sebesar 0,23 persen.
Namun, mulai terjadi perubahan sejak 2017. Bahan makanan memang masih menjadi penyumbang andil inflasi terbesar pada bulan Mei dengan inflasi sebesar 0,17 persen. Namun, di bulan Juli yang bertepatan dengan Lebaran, justru kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan tingkat inflasi sebesar 1,27 persen yang paling berpengaruh terhadap inflasi umum, sebesar 0,23 persen.
BPS dalam rilis resminya mencatat tarif angkutan udara (pesawat) merupakan komoditas yang paling memberikan andil dalam kelompok tersebut, sebesar 0,12 persen. Sementara itu, tarif angkutan angkutan antar kota memberikan andil sebesar 0,08 persen dan tarif kereta api sebesar 0,01 persen.
Begitu juga pada 2018. Tingkat inflasi pada bulan Mei paling dominan disumbang oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau serta kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar. Masing-masing kelompok menyumbang sebesar 0,05 persen. Namun, pada bulan Juli (periode Lebaran), kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan kembali menjadi penyumbang andil terbesar dengan 0,26 persen dan tingkat inflasi sebesar 1,50 persen.
BPS mencatat, komoditas tarif angkutan udara kembali paling dominan memberikan andil inflasi sebesar 0,15 persen, disusul tarif angkutan antar kota sebesar 0,08 persen dan tarif kereta api sebesar 0,01 persen.
Faktor Harga Tiket Pesawat
Angkutan udara atau pesawat merupakan salah satu moda favorit masyarakat dalam menjalankan tradisi mudik pada periode Ramadan dan Lebaran. Pada H-8 hingga H+7 Lebaran 2018 (7-23 Juni 2018), misalnya, penumpang pesawat di 36 bandara tercatat sebanyak 5,94 juta penumpang. Angka tersebut meningkat 5,35 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sebanyak 5,63 juta penumpang.
Pada kondisi 'normal,' lonjakan penumpang tersebut tentunya dapat memicu inflasi sesuai dengan konsep demand-pull inflation yang telah dibahas di atas. Tingginya permintaan masyarakat dapat memicu adanya kenaikan harga pada tarif tiket pesawat.
Namun, animo masyarakat dalam menggunakan moda angkutan udara di lebaran tahun ini bisa jadi berbeda. Penyebabnya, kisruh kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi sejak akhir tahun lalu.
Kementerian Perhubungan sempat menaikkan tarif batas bawah tiket pesawat dari 30 persen menjadi 35 persen. Keputusan tersebut memicu reaksi masyarakat hingga muncul petisi daring yang meminta pemerintah menurunkan harga tiket pesawat.
Penerbangan pada medio Januari-Februari 2019 juga banyak yang dibatalkan karena melambungnya harga tiket. Salah satunya terjadi di Bandara Sultan Syarif Kasim II Kota Pekanbaru. Sebanyak 433 penerbangan di bandara itu dibatalkan sejak awal Januari hingga 22 Februari 2019.
Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) akhirnya sepakat menurunkan harga tiket pesawat pada 13 Januari lalu. Namun, di lapangan harga tiket pesawat masih tinggi.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara