tirto.id - Plh. Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud, memperkirakan ada 80 juta lapangan pekerjaan yang hilang karena teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence(AI). Namun di saat yang sama, ada jenis-jenis pekerjaan baru yang dibutuhkan.
“Dengan perkembangan teknologi yang semakin cepat ke depan, ada sekitar 80 juta lapangan kerja yang akan hilang. Sementara akan ada penambahan 67 pekerjaan yang diperlukan,” kata Musdhalifah dalam Media Briefing: Perkembangan Kebijakan Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan dan UMKM, di Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Pada saat yang sama, Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Saleh, mengungkapkan, tidak ada yang bisa memastikan 80 juta lapangan pekerjaan itu akan hilang.
Sebab, teknologi saat ini berkembang dengan sangat pesat, bahkan industri-industri yang bergerak di bidang teknologi juga belum mampu menyerap masifnya perkembangan AI.
Sementara itu, pekerjaan yang saat ini sudah tergeser oleh keberadaan AI antara lain pekerjaan-pekerjaan di industri keuangan seperti teller di perbankan yang saat ini sudah banyak digantikan oleh mesin-mesin ATM, kasir di toko yang sudah digantikan oleh dompet digital seiring masifnya budaya cashless, hingga sopir atau driver yang nantinya akan hilang dengan mulai munculnya mobil autopilot.
“Yang jelas, pertama pekerja yang sifatnya rutin dan berulang gitu. Terus kemudian (pekerjaan) yang sifatnya administratif. Itu pasti semua akan tergantikan. Karena semua sudah bisa terbaca oleh algoritma,” jelas Chairul.
Kunci untuk permasalahan ini, lanjut Chairul, adalah bagaimana industri bisa menerapkan teknologi secara tepat, sehingga dapat membantu meningkatkan produktivitas.
Selain itu, pemerintah juga telah mengubah pelan-pelan sistem pendidikan, terutama untuk vokasi yang siswanya sudah lebih siap memasuki dunia kerja.
“Kita perlu ada kerja sama dengan industri, makanya perlu dialog konstruktif. Karena industri juga perlu keep up ya, arah evolusinya ke arah mana, dengan impact dari digitalisasi tren global segala macem untuk transformasi seperti apa,” imbuh dia.
Selain itu, seiring dengan perkembangan AI, Chairul juga mengakui bahwa Indonesia membutuhkan regulasi yang tangkas dan adaptif. Menurutnya regulasi bisa dibuat dengan menggunakan pendekatan sandbox seperti yang saat ini diterapkan di industri teknologi finansial (fintech).
“Yang mungkin bisa hybrid atau pendekatan regulator sandbox kayak di fintech gitu. Karena kita nggak bisa, belum apa-apa udah kita larang,” kata Chairul.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto