Menuju konten utama

Pemerintah Perlu Evaluasi Pendekatan Penyelesaian HAM di Papua

Akibat minimnya perhatian pemerintah dalam proses penegakan HAM, tidak sedikit warga Papua yang menjadi korban HAM tidak percaya pemerintah.

Pemerintah Perlu Evaluasi Pendekatan Penyelesaian HAM di Papua
Aktivis dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua melakukan orasi pada aksi peringatan hari kemerdekaan Papua di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tidak kunjung selesai. KontraS mencatat publik Papua sudah tidak mulai mempercayai penanganan masalah HAM di Papua. Menurut KontraS, pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan dalam penyelesaian HAM di Papua.

Kepala Divisi Advokasi dan Pemantauan Impunitas KontraS, Feri Kusuma mengatakan, warga Papua dinilai tidak percaya lagi dengan pemerintah. Ia beralasan, pemerintahan Jokowi-JK tidak membuktikan janji dalam menyelesaikan permasalahan HAM di Papua.

"Jadi peristiwa yang sudah mereka alami dalam kasus Wamena, dalam kasus Wasiyor, Abepura, dan berbagai peristiwa kekerasan yang terjad di sana itu tidak pernah ada satu tindakan yang jelas dari pemerintah," kata Feri di Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2017).

Dalam data yang diperoleh KontraS, peristiwa kekerasan di Papua mencapai 61 kasus. Motif kekerasan didominasi oleh aparat kepolisian yang muncul pada isu pembubaran paksa kegiatan berkumpul publik secara damai serta penggunaan senjata api tidak terukur. Mereka juga menemukan sejumlah penganiayaan dan pengejaran kelompok OPM maupun lambang bintang kejora. Dari ke-61 kasus, tren tertinggi ada pada penganiayaan (24 kasus), kemudian penembakan (20 kasus), dan ketiga adalah bentrokan (17 kasus).

Koordinator KontraS Yati Andriyani menilai proses penyelesaian Papua tidak bisa dengan kekerasan. Menurut Yati, perlu ada penelaahan lebih jauh seberapa efektif pendekatan penyelesaian Papua.

"Sejauh mana pendekatan keamanan di Papua itu efektif untuk satu membuat papua menjadi lebih damai," kata Yati di Menteng, Jakarta, Minggu (10/12/2017).

Selain evaluasi keamanan, pemerintah juga harus melakukan evaluasi operasi-operasi selama ini. Ia tidak memungkiri ada sejumlah operasi di bawah tanah yang tidak termonitor untuk penanganan Papua. Menurut Yati, perlu ada evaluasi operasi-operasi yang tidak termonitor apakah baik atau tidak bagi warga Papua.

Kedua, pemerintah harus menghentikan pelanggaran HAM di Papua. Pemerintah harus terbuka dalam porses penegakan hukum dan HAM di Papua. Pemerintah harus meninggalkan tindakan-tindakan impunitas seperti membuat surat pernyataan damai di Papua. Ia mencontohkan keadian di Kimaam, Merauke, Papua beberapa waktu lalu.

Yati beranggapan jika pola impunitas tersebut terus dilalukan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua tidak akan terwujud, termasuk kasus Wasior dan Wamena yang sudah menjadi perhatian dunia internasional.

"Menurut saya kalau evaluasi keamanan dilakukan, kedua akuntabilitas di kasus pelanggaran HAM dilakukan setidaknya memberikan ruang untuk celah positif mendorong terjadinya situasi yang lebih baik di Papua," tutur Yati.

Yati tidak memungkiri pemerintah bisa menerapkan metode perdamaian di Papua seperti Aceh. Namun, ia mengingatkan, setiap konflik mempunyai ciri khas berbeda-beda. Sebagai contoh, salah satu kasus yang paling tidak ingin dihadapi pemerintah saat berhadapan dengan isu dengar pendapat.

"Yang berbahaya di Papua ini kan pemerintah terlalu alergi untuk mendengarkan pendapat mereka dalam menentukan nasib sendiri di Papua. Karena alergi tersebut jadi sejak awal keran-keran ekspresi itu sudah dibungkam," ujar Yati.

Sementara itu, terkait dengan Tim Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat yang dibentuk oleh Menko Polhukam, Yati menilai tidak ada hasil optimal. Ia justru melihat ada permasalahan besar karena organisasi tersebut dipimpin oleh Wiranto yang merupakan pelanggar HAM.

"Kenapa penyelesaian pelanggaram HAM diserahkan kepada orang yang harusnya dimintai tanggung jawab, ini cacat moril dan etis maka sejak awal kita tidak pernah setuju Wiranto jadi Menko Polhukam," ujar Yati.

Kedua, koordinasi di bawah Kemenkopolhukam menandakan pemerintah ingin melakukan penyelesaian dengan pendekatan politis. Padahal, permasalahan Papua seharusnya penyelesaiannya dilakukan oleh Komnas HAM sebagai penyelidik, kemudian hasilanya penyelidikan tersebut diserahkan ke Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk nantinya dibawa ke pengadilan HAM.

"Menko Polhukam apa wewenangnya, jadi sejak awal sudah cacat etik dan prosedural. Kami menduga ini upaya infiltrasi, upaya negara, pemerintah untuk cuci tangan menyelesaikan masalah di Papua," ucap Yati.

Oleh karena itu, Yati menilai, persoalan Papua bisa diselesaikan dengan membuka ruang aspirasi. Mereka tidak hanya perlu berbicara masalah penentuan nasib sendiri, tetapi juga masalah keamanan hingga permasalahan pengelolaan sumber daya alam. Ia yakin, permasalahan HAM Papua bisa selesai dengan cara baik.

"Kata kuncinya adalah mendengar dulu seluruh aspirasi, dibuka dulu ruang-ruang demokrasi di sana. nanti dari situ akan ada tahapan-tahapan, strategi-strategi yang efektif untuk bisa mencari cara-cara yang terbaik untuk papua," kata Yati.

Baca juga artikel terkait KASUS PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari