tirto.id - Alviani Retno (24), pegawai swasta di Surabaya tak menyangka ibunya bakal kesulitan mencari gula pasir untuk konsumsi. Selama ini gula selalu bisa ditemukan di berbagai gerai ritel Manukan, Surabaya. Namun hampir sepekan lalu, sejak 24 April 2020 ketika mereka perlu menambah stok, gula tiba-tiba sulit dicari di pasaran.
Alviani dan ibunya biasa berbelanja ke gerai seperti Hypermart di Food Junction Surabaya, tetapi waktu itu ia mendapati pasokan gula kosong. Situasi ini ia temukan juga di Giant, Alfamart, Indomaret bahkan toko buah seperti Hokky. Alviani sampai berkata, “Juga agen-agen di Manukan pun kosong.”
Upaya Alviani dan ibunya akhirnya berbuah hasil dua hari lalu usai mencari di sejumlah tempat. Meski gula sudah di tangan, tapi kondisinya tidak terlalu menguntungkan. Ini lantaran gula yang dibeli dibandrol Rp17 ribu per kg padahal Harga Eceran Tertinggi (HET) resmi pemerintah adalah Rp12.500 per kg.
“Selama COVID-19 kalau lalu-lalu kan, palingan harga naik, tapi stok di pasar ada gitu ya. Ini rata ke mana-mana sulit cari gula. Sekalinya dapat gula harganya tinggi banget,” ucap Alviani.
Mita Berdiana (50), seorang ibu rumah tangga di kawasan Cikarang, Jawa Barat juga punya pengalaman susahnya mencari gula. Kesulitan ini ia alami selama Maret 2020 saat kasus Corona mulai melejit sejak diumumkannya kasus pertama.
Parahnya stok gula waktu itu sampai membuatnya berpikir, “Maret gula sudah hilang.” Jangankan gula, waktu itu stok pangan memang sedang anomalinya, kebutuhan pokok seperti bawang pun susah ditemukan.
Memasuki Mei 2020, Mita bilang stok gula sudah jauh lebih baik alias tidak lagi terlalu susah menemukannya. Namun, gula hanya bakal dilepas dengan harga Rp20 ribu per kg. Itu pun yang ia temukan di ritel modern.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga itu jauh di atas rata-rata Jawa Barat di kisaran Rp17.350 per kg, bahkan Jakarta sekalipun yang berada di kisaran Rp18.900 per kg. Per 5 Mei 2020, harga Rp20 ribu per kg bisa ditemukan sebagai harga rata-rata gula di Papua, Maluku Utara, dan NTT.
“Dulu awal-awal COVID-19 susah. Ke sini sudah enggak ada apa-apa, tapi harganya saja Rp20 ribu per kg,” ucap Mita saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/5/2020).
Dengan harga gula setinggi itu, Mita mengaku masih sanggup membelinya. Namun jika pembelinya bukan rumah tangga mampu apalagi pedagang kaki lima, mungkin siituasi akan jauh lebih pelik.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey tak menampik gula masih sulit ditemui dan sebagian lagi stok ada meski dengan harga meroket.
Ia bilang harga gula sudah relatif mahal di tingkat distributor sehingga praktis banyak gerai ritel enggan mengambil pasokan karena mereka sendiri didesak menjual dengan harga HET Rp12.500 per kg.
“Saat permintaan meningkat dan suplai tidak siap, otomatis yang punya gula itu lebih mau gelontorkan yang tidak jalankan harga HET. Yaitu individual seller, pasar, warung dan toko yang bukan anggota kami,” ucap Roy saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/5/2020).
Situasi ini semakin pelik usai panen tebu untuk memproduksi gula mundur dan pasokan baru datang Juni 2020. Pun impor gula yang sudah diancang-ancangkan pemerintah juga belum sepenuhnya datang secara merata memenuhi pasokan.
Roy mengatakan ia sudah dipertemukan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dengan pengusaha gula rafinasi untuk mendapat pasokan ekslusif yang bisa dijual sesuai HET. Namun itu pun tidak mudah dan butuh waktu karena peritel masih harus mengirim berkarung-karung gula pasir ke pabrik pengemas agar bisa dijual per kg.
Selebihnya peritel sendirian dalam mengurusi masalah pasokan ini. Roy bercerita peritel sempat kebingungan soal ongkos yang lebih mahal karena tak melalui distributor.
Ia pun sempat disarankan menggunakan tol laut untuk pengiriman ke luar pulau, tapi menemui kendala koordinasi dengan kementerian terkait yang sedang disibukkan urusan transportasi udara dan darat.
Tak cukup di situ, Roy mengaku distribusi gula melalui darat masih terkendala lagi karena berbagai daerah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Meski angkutan logistik dijamin, pengiriman mereka kerap terhambat pengecekan di berbagai titik yang ingin memastikan tidak ada pemudik di dalamnya.
“Soal distribusi ini kami masih berproses ya,” ucap Roy.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Tradisional (Ikappi) Abdullah Mansuri juga membenarkan stok gula sulit ditemukan di pasar, bahkan sulit didapat pedagang sekalipun. Harga juga tak kunjung turun seperti kerap digembar-gemborkan pemerintah bakal segera terjadi.
Menurut Mansuri langkanya gula ini disebabkan karena pemerintah gagal melakukan pengawasan pada distribusi. Sekalipun ada persoalan PSBB, Mansuri bilang Kemendag sudah seharusnya memiliki inisiatif untuk mencegah persoalan itu terjadi.
Selain pengawasan yang lemah, Mansuri juga menyoroti buruknya koordinasi informasi yang dimiliki pusat dan di lapangan. Gara-gara ini, ia mendapati harga sudah terlanjur bergejolak alias terlambat.
“Pemerintah sejak awal tidak mampu mengidentifikasi permasalahan. Percuma mereka koar-koar sudah turun tim tapi fakta lapangan beda lagi,” ucap Mansuri saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (5/5/2020).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kemendag Suhanto menyatakan sudah ada beragam upaya untuk menambah stok gula yang sudah kekurangan sejak akhir 2019 ini. Antara lain impor gula mentah dan konsumsi sampai pengadaan gula dari pabrik di dalam negeri.
Kemendag, kata dia, juga meminta distributor tidak menahan stok gula maupun menjual dengan harga tinggi. Suhanto menyatakan penyaluran gula ke pasar terus diawasi oleh Kemendag dan Satgas Pangan untuk memastikan distribusi lancar dan harganya sesuai ketentuan.
“Kami yakin dalam waktu tidak terlalu lama, harga gula akan mulai turun, seiring dengan bertambahnya jumlah pasokan gula di pasar,” ucap Suhanto dalam pesan singkat, Selasa (5/5/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz