tirto.id - Senin lalu, 6 Maret 2017, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan surat edaran kepada seluruh walikota di bawah kewenangannya. Surat itu berisi perintah pengerahan seluruh petugas terkait dan jajaran TNI AD untuk melakukan penanaman padi setelah panen sehingga tidak ada lahan yang kosong. Alasannya untuk “menggerakkan mendukung pencapaian target Swasembada Pangan Berkelanjutan melalui Upaya Khusus (UPSUS).”
Pokok-pokok yang kontroversial adalah:
“Petani harus menanami lagi lahannya 15 hari setelah panen, jika 30 hari setelah panen tidak dikerjakan oleh petani, maka diusahakan pengelolaannya diambil alih oleh Koramil bekerjasama dengan UPT Pertanian Kecamatan setempat.”
“Lahan yang diambil alih pengelolaannya diatur dengan kesepakatan para pihak terkait (petani dan pengelola) dengan ketentuan: 1) Seluruh biaya usaha tani ditanggung oleh pengelola; 2) Setelah panen biaya usaha tani dibagi antara petani dan pengelola dengan perbandingan 20% untuk petani dan 80% untuk pengelola; 3) Kerjasama pengelolaan antara Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan diatur lebih lanjut dengan perjanjian kerja sama tersendiri."
Isu Lawas Swasembada Pangan
Presiden Joko Widodo menargetkan tahun 2017 sebagai tahun swasembada beras. Pernyataan ini diucapkan Jokowi di Ngawi, 31 Januari 2015, dalam satu kegiatan dialog dengan para petani setempat. "Kita tidak mau lagi impor beras, gula, dan kedelai. Makanya produksi harus dinaikkan,” kata Jokowi, seperti dikutip Antara.
Sumber yang sama juga mengutip pernyataan Presiden Jokowi bahwa pemerintah akan “memperbaiki irigasi seluas 1,5 juta hektare, bantuan benih jagung untuk 98.000 hektare lahan, dan benih kedelai untuk 70.000 hektare lahan.”
Dalam tulisan bertajuk “Indonesia’s troubled quest for food self-sufficiency” yang terbit pada akhir 2016, jurnalis Selandia Baru John McBeth mencatat anggaran pemerintah untuk menyokong produksi pertanian dihabiskan untuk subsidi pupuk, dan sedikit sekali untuk riset dan infrastruktur guna meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Ironisnya, sokongan pemerintah ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Laporan singkat dari OECD Agriculture Policy Monitoring and Evaluation 2016 merinci naik-turunnya tingkat dukungan pemerintah Indonesia di bidang agrikultur, yang berkebalikan dengan tren penurunan bantuan pemerintah negara-negara OECD untuk sektor yang sama.
Dihitung dari angka penerimaan bruto, tahun 2008 tercatat sebagai titik terendah (-10%). Kenaikan drastis dicapai antara 2008 dan 2010 (20%), dan terus naik stabil hingga 30% (2015).
Orientasi menggenjot swasembada pangan berjalan seiring program TMMD (TNI Manunggal Membangun Desa), yang telah berlangsung sejak era pemerintahan sebelumnya. Program ini melibatkan TNI dalam aktivitas-aktivitas terkait pertanian mulai dari pembangunan infrastruktur hingga distribusi benih dan pupuk.
Keberatan Masyarakat Sipil
Permasalahannya, swasembada pangan berhenti menjadi hitung-hitungan teknis murni dalam implementasinya. Ketika efektivitas proyek ini dikejar dengan pelibatan militer, ia menjadi isu politik. Di tangan tentara, isu ketahanan pangan dan ketahanan nasional jadi tipis bedanya.
Mengingat sepak terjang TNI dalam banyak peristiwa kekerasan di akar rumput, termasuk kasus-kasus sengketa lahan, program TMMD yang melampaui urusan-urusan pertahanan telah mengundang banyak kritik dari masyarakat sipil.
Dalam siaran pers merespons instruksi Gubernur Sumatera Barat, Lembaga Bantuan Hukum Padang mencantumkan sejumlah kasus konflik lahan dengan petani yang melibatkan TNI. Yang teranyar adalah konflik Pembangunan Jalan Lingkar Padang yang melibatkan TMMD Bungus. Dalam sengketa ini, masyarakat Bungus menolak proyek pembangunan jalan lingkar Kota Padang sepanjang panjang 13,6 kilometer di Kelurahan Bungus Timur, Kota Padang.
Mongabay, media yang fokus isu lingkungan, mencatat Pemerintah Kota Padang dan Komando Distrik Militer (Kodim) 0312 Padang digugat pidana dan perdata ke Pengadilan Negeri Padang pada 2013. Pasalnya, tak ada sosialisasi dan ganti rugi dari Pemkot Padang untuk lahan dan tanaman warga sekitar yang diratakan untuk pembangunan jalan.
Instruksi Gubernur pada 6 Maret lalu merupakan penerjemahan yang berlebihan oleh Pemda Sumatera Barat. Hal ini lebih lanjut bisa ditafsirkan secara terbuka dan merugikan pemilik/penggarap tanah asli. Misalnya, dengan biaya pengelolaan lahan dibagi antara petani dan pengelola dengan perbandingan 20% untuk petani dan 80% pasca-panen, bagaimana status tanah tersebut di kemudian hari.
Pokok-pokok yang menyatakan pengambilalihan pengelolaan lahan dari petani ke Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan tidak mengatur rincian teknis pelaksanaan dan pengembalian lahan kepada pemilik/pengelola asli.
Saat dimintai konfirmasi, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menampik program itu akan merugikan petani.
Baca:
- Gubernur Sumbar Bantah Ambil Alih Lahan Petani
- Proyek Pertanian Padi bersama TNI di Sumbar Menuai Kecaman
"Sebelumnya saya perlu sampaikan Surat Edaran Gubernur tidak ada kekuatan hukum untuk memberi sanksi atau hukuman. SE bukan perangkat perundangan peraturan. Surat edaran bisa saja tidak dipatuhi kecuali Perda atau UU," katanya.
Namun, sulit untuk tidak memandang program TMMD ini tak mirip dengan ABRI Masuk Desa (AMD). Dimulai sejak 1980, AMD sepaket dengan kebijakan lain seperti Koran Masuk Desa dan Hakim Masuk Desa. Dalam perkembangannya, program ini lebih berperan sebagai pengawasan teritorial untuk mendukung stabilitas bangunan politik Orde Baru di desa-desa.
Sekalipun menjadi subjek utama pembangunan desa, dalam praktiknya, partisipasi petani di dalam lembaga-lembaga yang didirikan dalam kerangka AMD, misalnya dalam Badan Usaha Unit Desa, diminimalisir, jika sejak awal ditiadakan sama sekali.
Kasus-kasus di Sumatera Barat yang melibatkan TMMD bisa menjadi preseden buruk. Ketiadaan sosialisasi kepada warga dan ancaman pemaksaan pengelolaan produksi tani tentu akan membuka celah pertanyaan yang lebih luas lagi: Bagaimana pemerintah sebenarnya memandang partisipasi petani dalam program-programnya di pedesaan?
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani