tirto.id - "Apapun alasannya, gubernur tidak berhak mengambil alih lahan pertanian masyarakat, dan petani berhak mengelola lahan sesuai ilmu pertanian yang dipahaminya," tegas anggota Majelis Nasional Petani (MNP) Serikat Petani Indonesia (SPI) wilayah Sumbar Eka Kurniawan Sago Indra kepada reporter Tirto.
Ia menegaskan hal tersebut terkait Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi yang menuai kontroversi, karena dinilai merampas hak-hak petani secara paksa.
Surat edaran bertanggal 6 Maret 2017 yang ditandatangani Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyebutkan bahwa petani harus menanam kembali lahannya 15 hari setelah panen. Jika 30 hari setelah panen tidak dikerjakan, maka diusahakan pengelolaannya diambil alih oleh Koramil bekerjasama dengan UPT Pertanian kecamatan setempat.
Kemudian lahan yang diambil alih pengelolaannya diatur dengan kesepakatan para pihak terkait (petani dan pengelola) dengan ketentuan seluruh biaya usaha tani dikembalikan pada pengelola.
Poin lain dari surat edaran itu menyebutkan bahwa keuntungan dari usaha tani dibagi antara petani dan pengelola dengan perbandingan 20 persen untuk petani dan 80 persen untuk pengelola.
Kerjasama pengelolaan antara Koramil dan UPT Kecamatan diatur lebih lanjut dengan perjanjian tersendiri.
Menurut Eka, lahan pertanian tidak bisa dipaksa terus-terusan untuk ditanami. Ada masa jeda yang harus dilakukan untuk mengembalikan kesuburan tanah.
"Dulu, masa jeda itu bahkan sampai tiga bulan. Mengapa sekarang tiba-tiba petani dipaksa untuk merusak lahan sendiri dengan memaksa penanaman 15 hari setelah panen," kata Eka, seperti dikutip dari Antara Sumatera Barat.
Ia meminta gubernur untuk memahami ilmu tentang pertanian sebelum mengeluarkan kebijakan, demikian juga dengan para pembantunya di bidang tersebut.
"Kalau tidak paham pertanian, jangan urusi pertanian," katanya.
Menurutnya, sekarang banyak lahan pertanian di Sumbar yang tidak bisa digarap karena tidak ada air yang tersedia. Seharusnya itu lebih menjadi perhatian daripada program yang merugikan petani.
Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Sumbar Chandra membenarkan adanya surat edaran yang bertujuan untuk mencapai luas tanaman padi dalam Gerakan Percepatan Tanam di seluruh Indonesia.
"Ini sebenarnya sudah dijalankan sejak 9 Februari 2017 pada 11 kabupaten dan kota di Sumbar. Namun, kendala di lapangan banyak petani yang enggan menggarap lahan karena beberapa faktor," kata Chandra.
Di Kabupaten Tanah Datar, menurutnya, petani menolak menanami lahan setelah panen karena sesuai tradisi masa tanam dimulai kembali setelah Lebaran.
Sementara di Kabupaten Pesisir Selatan petani lebih memilih untuk mengelola lahan gambir daripada sawah karena harga gambir sedang tinggi.
"Ini menjadi persoalan, karena program yang ada tidak berjalan sesuai harapan. Kami berkoordinasi dengan Koramil mencari solusi. Salah satunya seperti yang tertera dalam surat edaran itu," katanya.
Namun, Chandra membantah hal itu sebagai upaya perampasan lahan petani, apalagi seperti sistem tanam paksa zaman Belanda, karena semua berdasarkan kesepakatan dan perjanjian kerja sama yang jelas.
"Praktiknya seperti persetujuan yang biasa dilakukan oleh petani di Sumbar. Nanti, TNI dan UPT pertanian yang mengelola, petani pemilik lahan akan mendapatkan 20 persen dari keuntungan sebagai sewa lahan," jelasnya.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri