Menuju konten utama

Pembunuhan Terhadap Jurnalis Belum Berakhir

Kematian Gauri Lankesh dikaitkan dengan matinya demokrasi di negara-negara yang mengalami masalah kebebasan pers.

Pembunuhan Terhadap Jurnalis Belum Berakhir
Gauri Lankesh. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sesosok jasad tergeletak berkubang darah di teras depan sebuah rumah. Beberapa peluru bersarang di tubuhnya, satu di antaranya mengenai dahi sang perempuan malang itu.

Perempuan itu adalah Gauri Lankesh seorang jurnalis senior yang bekerja sebagai editor di majalah independen Lankesh Patrike. Jasad Gauri ditemukan di depan rumahnya di Kota Bangalore, Karnataka, Selasa Malam (5/9/2017). Ia adalah putri penyair kenamaan P. Lankesh. Selama ini Gauri dikenal dengan kritik-kritiknya yang tajam kepada kelompok Hindu garis keras.

Sebelum kejadian menimpa Gauri, awal 2017 penulis Govind Pansare ditembak mati saat sedang berjalan bersama sang istri di dekat rumah mereka di Negara Bagian Maharashtra. Pada 2015, seorang cendekiawan bernama Malleshappa M. Kalburgi juga ditembak di rumahnya di Bangalore, menyusul ancaman dari kelompok garis keras.

Baca juga:India di Bawah Pemerintahan Modi

Menteri Utama Karnataka, Siddaramaiah turut mengungkapkan keterkejutannya dalam sebuah unggahan di akun Twitter, menyoal kematian Gauri pekan lalu. “Sebenarnya, ini adalah pembunuhan terhadap demokrasi. Dalam kepergiannya, wilayah Karnataka telah kehilangan suara progresif yang kuat, dan saya telah kehilangan seorang teman.”

Baca juga:

Jejak-jejak Pembunuhan Terhadap Pegiat Anti Korupsi

Pembantaian Para Aktivis Lingkungan

Committee to Protect Journalist (CPJ) mencatat sejak 1992 ada 68 jurnalis terbunuh di India, penyebabnya macam-macam ada yang benar-benar sengaja dibunuh dan karena penugasan di tempat berbahaya. Sebanyak 41 kasus motifnya terungkap, 28 jurnalis di antaranya tewas karena pembunuhan. Umumnya para korban adalah mereka yang biasa menangani masalah politik, korupsi, dan kriminal.

Apa yang terjadi dengan jurnalis di India juga terjadi di negara tetangganya, Bangladesh. Negara ini juga termasuk punya catatan buruk dalam hal kekerasan dan pembunuhan terhadap profesi jurnalis. Di Bangladesh, sejak 1992 tercatat ada 30 jurnalis terbunuh, 19 jurnalis sengaja dibunuh. Selain di India dan Bangladesh, pembunuhan terhadap jurnalis bukan hal baru lagi di Indonesia.

Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sejak 1996 tercatat delapan kasus kematian jurnalis di Indonesia. Sedangkan catatan CPJ, ada 10 jurnalis di Indonesia yang terbunuh antara 1996 - 2012, delapan di antaranya terkait pembunuhan. Memang Indonesia tak seburuk dengan negara lain seperti Suriah. Pada 2016, Suriah berada di peringkat pertama dengan kasus terbunuhnya jurnalis terbanyak di dunia, disusul Yaman dan Irak. Suriah menduduki peringkat kedua di 2017.

Tahun ini saja, CPJ mencatat 25 jurnalis terbunuh di seluruh dunia, sebanyak 8 orang di antaranya tewas karena pembunuhan. Pembunuhan terhadap jurnalis sering dikaitkan dengan kebebasan pers dan demokrasi di suatu negara.

Baca juga: Data-data Kekerasan dan Kematian Jurnalis di Indonesia

Infografik kebebasan pers

Pembunuhan Jurnalis, Kematian Demokrasi

Berdasarkan Indeks Demokrasi Negara di dunia, Indonesia maupun India menempati rangking 50 besar dari 167 total negara di dunia. Indonesia di peringkat ke-48, sedangkan India berada di peringkat ke-32. Namun, indeks demokrasi tersebut tidak berbanding lurus dengan indeks kebebasan pers. India menempati posisi ke-136 dari 180 negara, jauh lebih buruk dibanding Indonesia yang berada di peringkat ke-124.

Indeks demokrasi terbaik di dunia masih ditempati oleh Norwegia, paling tidak selama satu dekade terakhir ini. Norwegia berada dalam rentang skor demokrasi lebih dari 9,5 dari 10 poin. Indikatornya mencakup proses pemilu dan tingkat pluralisme di suatu negara, kemanfaatan pemerintahan terhadap masyarakat, partisipasi warga dalam politik, kultur politik, dan kebebasan publik. Bahkan, di 2016, Norwegia berada di posisi pertama dengan skor 9,93 poin.

Selain itu, dalam catatan 2017 World Press Freedom Index, negara ini berada di posisi teratas dalam hal kebebasan pers. Yang menarik dalam catatan CPJ, di Norwegia setidaknya hingga 2012 tak ada laporan jurnalis yang terbunuh apalagi dibunuh.

Sementara itu, Suriah sebagai negara yang menjadi ladang terbunuhnya jurnalis terbanyak, indeks kebebasan pers dan kebebasan berdemokrasi berada di posisi buncit. Berdasarkan Indeks Kebebasan Pers di dunia, Suriah menduduki peringkat ke-177 dari 180 negara. Seburuk dengan peringkatnya pada Indeks Demokrasi dunia, yang menduduki peringkat ke-2 terbawah setelah Korea Utara.

Ini semakin mempertegas kaitan yang kuat antara pembunuhan jurnalis dengan kondisi demokrasi dan kebebasan pers di sebuah negara. Di banyak negara, jurnalis (pers) sering dianggap sebagai salah satu pilar utama demokrasi dan mendapat perlindungan undang-undang, termasuk di Indonesia.

Apa yang terjadi di negara-negara ketika para jurnalis mengalami kekerasan apalagi sampai mengalami pembunuhan, maka demokrasi di negara itu sedang menuju kematian. K.L Ashok, seorang rekan kerjasama Gauri Lankesh, yang juga berasal dari forum Komu Souharda Vedike (Communal Harmony Forum) termasuk yang angkat bicara soal pembunuhan jurnalis dan kaitannya dengan demokrasi.

“Ini bukan hanya kematian seorang jurnalis, tapi kematian demokrasi dan nilai konstitusional. Dia (Gauri Lankes) telah bersuara melawan kekerasan komunal bersama kami dan kami tahu bahwa kami semua dalam bahaya. Tapi kami tidak menduga hal ini,” kata K.L. Ashok dikutip dari Hindustan Times.

Baca juga artikel terkait PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Suhendra