tirto.id - Ekonomi India pernah tertinggal dibanding negara berkembang lainnya. Negeri itu dulu identik dengan angka kemiskinan yang tinggi di Asia akibat kebijakan pemerintah pusat salah sasaran, birokrasi buruk, dan tarif pajak di luar kewajaran.
Tak ingin terjebak dalam situasi sama, momentum kebangkitan India jadi slogan kampanye Modi yang akhirnya terpilih sebagai perdana menteri pada 2014. Ia menyerukan reformasi ekonomi yang sempat mandek selama bertahun-tahun agar India mampu bertahan dalam percaturan global. Satu per satu usaha dilakukan seperti merombak undang-undang kepailitan, menerapkan pajak penjualan nasional untuk mengganti retribusi, hingga membuka pintu investasi.
Selain itu, Modi juga menghemat anggaran pengeluaran negara, mempersingkat jalur birokrasi, mengurangi regulasi penghambat bank. Pembangunan infrastruktur Modi menyasar perbaikan jaringan listrik, sanitasi air, sampai layanan transportasi.
Perlahan, reformasi Modi menampakkan hasil. Pertumbuhan ekonomi India melesat dari 6,4 persen pada 2013 menjadi 7,9 persen di 2015 sekaligus membuat India menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Meski demikian, reformasi ekonomi India di bawah Modi bukannya tanpa masalah. Sebagai catatan, pertumbuhan ekonomi India pada dasarnya didorong oleh pengeluaran pemerintah alih-alih investasi swasta. Ini membuat pertumbuhan PDB per kapita India turun di samping tingkat pertumbuhan lapangan kerja tetap rendah.
Baca juga: Populisme ala Perdana Menteri Narendra Modi
Berdasarkan laporan Kementerian Tenaga Kerja India, rasio penciptaan lapangan kerja di delapan sektor utama (manufaktur, perdagangan, konstruksi, pendidikan, kesehatan, teknologi informasi, transportasi, akomodasi, dan restoran) memperlihatkan penurunan pada Juli 2014 hingga Desember 2016 (6,41 lakh) daripada di Juli 2011 dan Desember 2013 (12,8 lakh).
Pendapatan sektor pertanian turun di angka 50 sampai 70 persen akibat meningkatnya utang petani, naiknya biaya kesehatan, dan biaya operasional sehari-hari. Keadaan tersebut terjadi karena kebijakan demonetisasi yang dimunculkan Modi.
Demonetisasi adalah kebijakan Modi yang menarik penggunaan uang kertas 500 dan 1.000 rupee seri pecahan Mahatma Gandhi sebagai alat pembayaran mulai 9 November 2016.
Sejumlah pengamat menilai pandangan masyarakat India terhadap pasar bebas juga jadi salah satu faktor penghambat arus pertumbuhan ekonomi. Menurut Mohan Guruswamy dari Center for Alternatives Policy, masyarakat India menolak adanya pasar bebas dan privatisasi pada seluruh aspek perekonomian. Akibatnya, tingkat kepercayaan bisnis berada di titik terendah dalam dua tahun terakhir.
Times of India seperti dilansir Forbes menyebut pemerintah belum maksimal menekan pedal reformasi ekonomi. Kolumnis Business Standard Shankar Acharya memperingatkan bahwa “reformasi ekonomi telah kehilangan momentumnya.” Sebastian Mallaby dari Council on Foreign Relations berpendapat Modi masih terjebak dalam pola pikir seorang eksekutif tingkat daerah yang lebih tertarik pada proyek daripada kebijakan.
Mengutip pernyataan Eswar Prasad dari Cornell University, untuk keluar dari kebuntuan reformasi ekonomi pemerintah harus menunjukkan komitmennya terhadap pembaruan kebijakan (reform). Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain melonggarkan regulasi ketenagakerjaan, menciptakan iklim bisnis tanpa birokrasi berbelit, meminimalisir kontrol atas bank, mengembangkan pasar modal, sampai memperbaiki regulasi pajak dan sistem anggaran.
Laporan Economic Freedom of the World 2014 mengatakan India berada di posisi 112 dari 159 negara yang memiliki kebebasan ekonomi. Kebebasan ekonomi di sini diartikan sebagai keleluasaan individu untuk memperoleh dan memanfaatkan barang maupun sumber daya ekonomi. Posisi tersebut turun sepuluh peringkat dibanding tahun sebelumnya. Penurunan posisi India tak bisa dilepaskan oleh buruknya kebebasan investasi, kebebasan finansial, kebebasan buruh, integritas pemerintah, efektivitas peradilan, dan kebebasan usaha.
Baca juga: Resep Membasmi Korupsi ala India
Economic Freedom of the World merupakan laporan yang menerangkan sejauh mana kebijakan suatu negara dan institusi di dalamnya mendukung kebebasan ekonomi. Perhitungan indeks didasarkan atas partisipasi dalam ekonomi pasar, tingkat persaingan, sampai akses keamanan untuk aset pribadi. Sebanyak 42 fokus data digunakan untuk menyusun ringkasan indeks serta menghitung kebebasan ekonomi di lima aspek pada pemerintah, hukum, perdagangan internasional, bisnis, dan tenaga kerja.
Kebingungan Arah Reformasi Ekonomi dan Stabilitas Politik
Milind Sathaye, profesor akuntansi, perbankan, dan finansial Universitas Canberra menyatakan reformasi ekonomi di bawah pemerintahan Modi tidak terarah dengan baik. Menurut Milind, sulit menentukan apakah reformasi ekonomi Modi berbasis sosialis atau pasar bebas.
Kebingungan tersebut bukan tanpa dasar. Di satu sisi, Modi tengah berlari untuk menarik investasi asing, meliberalisasi sektor pertahanan, transportasi, sampai asuransi. Tetapi, di lain sisi Modi juga memusatkan perhatian pada akses perbankan dan penyediaan asuransi untuk orang miskin serta membangun sanitasi di daerah perdesaan.
Seperti dilansir The Economist, reformasi ekonomi yang ditargetkan Modi dianggap belum berjalan baik karena tak adanya gagasan baru. Berbeda dengan pendahulunya Manmohan Singh yang kerap mencetuskan terobosan mulai dari modernisasi bandara Mumbai dan New Delhi, ekspansi institusi pendidikan, sampai rancangan sanitasi. Modi dirasa tidak cakap bekerja secara sistematis untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar seperti pengangguran atau perumusan kebijakan yang menghambat perekonomian.
Hal ini nampak saat Modi meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik pada Mei lalu. Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, Modi merekapitalisasi bank negara dan menjualnya agar pinjaman yang digunakan untuk membangun pembangkit listrik kembali mengalir. Selain itu, Modi harus bekerja keras menyederhanakan undang-undang ketenagakerjaan yang pada akhirnya merugikan pekerja dengan menghalangi perusahaan mempekerjakan mereka secara formal.
Kendala lain yang mampu mengguncang perekonomian India ialah masalah stabilitas politik. Semasa menjabat Menteri Utama Gujarat, Modi diduga bersalah atas tewasnya ratusan umat Islam dalam kerusuhan di Gujarat pada 2002, meski tidak ada bukti yang memberatkannya. Menurut laporan Komisi Kebebasan Beragama Internasional, tindak ancaman, ujaran kebencian, sampai penodaan tempat ibadah oleh nasionalis radikal Hindu telah meningkat drastis di bawah pemerintahan yang didominasi partai Modi, Bharatiya Janata Party (BJP).
Baca juga: Ketika "Rush Money" Menyergap India
Kebangkitan kelompok nasionalis radikal Hindu sudah menjadi kekhawatiran di India. Mereka tak ragu mengintimidasi orang-orang yang mengkritik pemerintahan hingga melakukan penganiayaan terhadap muslim Kashmir. Media massa yang berani menyuarakan ketidakpuasan kepada pemerintah malah dibredel.
Korupsi juga menjadi masalah yang tak kalah pelik. Menurut laporan Transparency International seperti dilansir Forbes, India menempati peringkat pertama negara paling korup di Asia.
Riwayat perekonomian India pernah berada pada keadaan buruk. Kemiskinan hingga lapangan pekerjaan yang minim adalah masalah utama di masa lampau. Namun, yang dihadapi Modi sekarang lebih dari itu: korupsi, stabilitas politik yang terancam oleh partainya sendiri, hingga persepsi publik yang negatif tentang kepemimpinannya.
Tak bisa dipungkiri Modi merupakan politisi populer di India dan mendominasi lanskap politik nasional. Reformasi ekonomi yang Modi canangkan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang baik. Akan tetapi, melihat kondisi India saat ini di mana perekonomian sedang berjalan di tempat, butuh upaya lebih agar menjauhkan India dari jurang keterpurukan sekaligus meyakinkan publik atas kemampuan Modi.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf