tirto.id - Presiden Joko Widodo mengancam akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) apabila revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tak selesai setelah lebaran. Di sisi lain, lamanya pembahasan regulasi ini pun justru menjadi ajang politisasi partai-partai politik untuk mencari dukungan.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus mengatakan faktor politis ini memang menjadi salah satu kendala dalam penyelesaian revisi UU No. 15 tahun 2003. Ia membandingkan dengan revisi UU MD3 yang diselesaikan DPR dengan cepat, sementara RUU Terorisme justru terbengkalai.
Hal itu, kata Lucius, karena pembahasan RUU Terorisme hanya menjadi panggung politik bagi partai-partai yang tengah berkontestasi. Setiap ada peristiwa terorisme, kata dia, pembahasan soal revisi UU Terorisme kembali disuarakan. Akan tetapi, penyelesaian tidak pernah ada.
“Cuma janji saja, besok lupa,” kata Lucius saat ditemui Tirto di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).
Menurut Lucius, yang menjadi masalah, banyak aturan dalam RUU Terotisme yang belum selesai, seperti definisi terorisme atau masalah penindakan terduga teroris sendiri. Lucius menyatakan, ini bisa menjadi peluang bagi partai politik untuk mengkampanyekan sikap partainya secara tidak langsung.
Karena itu, semakin lama pembahasan RUU Terorisme digarap, maka semakin banyak juga pihak-pihak yang mengkampanyekan dirinya.
“Ada yang menjadikan ini panggung politik. Misalnya [menunjukkan sikap] soal definisi terorisme, atau soal HAM. Partai-partai saling menunjukkan bahwa mereka pro rakyat. Ini kesempatan mereka. Tapi ke arah mana dulu? Itu mungkin yang dipolitisasi," kata Lucius menambahkan.
Polemik TNI dan Polri di RUU Terorisme
Selain masalah politik antarpartai, Lucius juga melihat peluang RUU Terorisme ini menjadi alat bagi TNI untuk meminta kewenangan lebih dalam penegakan hukum. Lucius menilai, ada alasan lain TNI ingin ikut dalam penegakan hukum dan meminta kewenangan lebih banyak.
Selain masalah dana yang digelontorkan kepada TNI, Lucius menilai TNI bisa menjadi alat perpanjangan tangan pemerintah.
“Ini sebetulnya agak bahaya, jangan sampai dia malah nanti jadi alatnya Presiden. Karena komando dari Presiden. Panglima TNI di bawah Presiden. Jangan sampai ini kayak Orde Baru 'kan?" katanya.
TNI memang menginginkan untuk masuk dalam penanganan terorisme sejak lama. Pada Januari 2018, keinginan ini makin nyata dengan adanya surat dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto kepada DPR. Salah satu poin dalam surat tersebut menyatakan definisi terorisme adalah masalah serangan terhadap keamanan negara.
Definisi itu membuka kemungkinan lebih besar agar TNI bisa dilibatkan.
Kepala Divisi Pembelaan Hak Asasi Manusia KontraS, Raden Arif Nur Fikri mengatakan, pelibatan TNI tak bisa dibenarkan. Menurutnya, kejahatan terorisme adalah tindak pidana yang masuknya dalam ranah penegakan hukum.
Akan tetapi, apabila TNI tetap dilibatkan dalam penegakan hukum, ia berharap aturan itu agar dibuat lebih transparan. Ia khawatir akan ada banyak prosedur penegakan hukum yang dilanggar oleh TNI.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz