tirto.id - Perekonomian yang lemah memicu deregulasi besar-besaran. Sayangnya, tidak selamanya deregulasi bisa menjadi obat yang menyembuhkan perekonomian.
Deregulasi melalui Pakto 88 adalah salah satu contoh deregulasi yang justru memicu beragam permasalahan hingga berujung pada krisis moneter paling buruk dalam sejarah Indonesia pada 1997/1998.
Itu terjadi karena deregulasi dilakukan tanpa pengawasan yang ketat. Hasilnya, deregulasi justru dimanfaatkan oleh segelintir kelompok untuk memperkaya diri.
Itulah sebabnya mengapa sejumlah kalangan memperingatkan deregulasi melalui Omnibus Law tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Salah satu yang memperingatkan adalah Wakil Presiden periode 2014-2019, Jusuf Kalla.
JK mengingatkan tentang bahaya deregulasi dan kemudahan investasi yang gencar, tanpa diiringi pengawasan yang kuat bisa memicu krisis.
“Pada 1980-an, kita mebuat pokoknya deregulasi, pajak diturunkan, investasi dimudahkan. Lahir Pakto 88 yang memudahkan membuat bank. Namun, efeknya terjadilah krisis 1998,” kata Jusuf Kalla di hadapan 100 ekonom pada 17 Oktober 2019 lalu, seperti dilansir Bisnis.com.
Omnibus Law memang mengingatkan kita semua pada serangkaian paket kebijakan yang dikeluarkan pada periode 1983 hingga 1996. Deregulasi besar-besaran melalui paket kebijakan bermula dari kelesuan ekonomi akibat anjloknya harga minyak. Kondisi diperparah dengan resesi ekonomi dunia. Kondisinya hampir serupa dengan saat ini, yakni ekonomi dunia juga sedang melemah akibat perang dagang, dan terbaru adalah wabah virus corona.
Paket-paket Penyelamatan Ekonomi
Usai kejatuhan harga minyak pada awal 1982, pemerintah sebenarnya sudah melakukan serangkaian deregulasi. Hasilnya, perekonomian memang bisa menguat sesaat. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama. Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan terus memicu penurunan harga minyak. Indonesia yang mengandalkan pendapatan dari minyak semakin terpukul. Defisit neraca perdagangan semakin lebar.
Memasuki tahun 1986, harga minyak terus turun bahkan lebih buruk ketimbang tahun 1982. Pemerintah kembali melakukan serangkaian deregulasi, terutama yang berkaitan dengan sektor riil yakni: sektor perdagangan, perbankan, dan pasar modal.
Langkah lainnya yang dilakukan pemerintah adalah melakukan devaluasi rupiah. Pada 12 September 1986, pemerintah melakukan devaluasi rupiah sebesar 31% atau dari Rp1.134 menjadi Rp1.644 per dolar AS.
Namun, devaluasi itu malah memicu rush besar-besaran. Para deposan besar menarik dana tabungannya dalam mata uang rupiah dan menukarnya menjadi mata uang asing. Dana tersebut kemudian disimpan di bank-bank luar negeri. Bondan Winarno dalam JB Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2013) menuliskan, sebanyak 1,6 miliar dolar AS dana kabur dari Indonesia.
Rush dipicu oleh beragam isu, salah satunya kabar pemerintah akan membekukan deposito berjangka dan menggantinya dengan obligasi. Menteri Keuangan JB Sumarlin membantah isu tersebut. Ia menegaskan, deposito berjangka merupakan alat penting untuk mendorong masyarakat menabung dan menempatkan dana di bank. Rumor lainnya: pemerintah akan kembali menerapkan sistem kontrol devisa seperti era setelah 1970-an.
Memasuki Juni 1987, situasi moneter kembali memanas. Isu devaluasi kembali mencuat sehingga memicu kaburnya dana ke luar negeri. Cadangan devisa menipis secara cepat.
“Kita sudah kalah kliring dengan laju sekitar 400 juta dollar AS per hari. Cadangan devisa sudah tinggal 5 miliar dollar AS. Berapa hari lagi kita bisa bertahan?,” tanya Sumarlin kepada dirinya sendiri, seperti ditulis Bondan Winarno.
Sumarlin tidak lagi memilih kebijakan devaluasi karena khawatir akan kembali memicu rush. Yang ia lakukan adalah mengeluarkan surat perintah yang isinya memerintahkan 4 BUMN besar (Pertamina, Pusri, PLN, dan Taspen) agar memindahkan depositonya yang disimpan di bank-bank pemerintah untuk dibelikan Sertifikat Bank Indonesia dan Surat Berharga Pasar Uang.
“Instrumen moneter tidak dapat lagi dipakai pada saat genting seperti itu. Satu-satunya alternatif yang tinggal adalah instrumen fiskal,” jelas Sumarlin.
Dalam kurun waktu seminggu, pemerintah berhasil menarik dana deposito BUMN dari bank-bank pemerintah hingga Rp800 miliar. Dalam 2 bulan, deposito yang bisa ditarik mencapai Rp1,3 triliun. Dana yang sudah kabur keluar negeri berhasil ditarik lagi sebagian, jumlahnya mencapa 1 miliar dolar AS.
Setelah itu, pemerintah mengeluarkan serangkaian paket kebijakan: Paket 25 Oktober 1986, Paket 25 Oktober 1987, Paket November 1987, Paket Desember 1987, diikuti dengan Paket 27 Oktober 1988. Semua paket kebijakan itu menyangkut deregulasi di sektor perdagangan, investasi dan pasar modal, perbankan.
Kebijakan Liberal Pemicu Krisis
Dari semua paket kebijakan deregulasi yang dikeluarkan pemerintah, Pakto 88 memberikan dampak paling signifikan. Pakto 88 pada intinya bertujuan untuk menjadikan sistem keuangan yang lebih kompetitif.
Isi pokok dari Pakto 88 adalah: memberikan kemudahan mendirikan bank swasta baru, kemudahan bagi bank yang sehat untuk membuka cabang, memberikan izin kepada bank asing untuk beroperasi di luar jakarta, penurunan Giro wajib minimum (reserve requirement) dari 15% menjadi 2%. Ketentuan lainnya adalah memperbolehkan BUMN menyimpang 50% dananya pada bank swasta nasional.
Pakto 88 memang membalikkan semua regulasi sebelumnya yang memperketat pendirian bank. Hampir dua dasawarsa pemerintah membekukan izin pendirian bank, karena jumlah bank swasta hingga pertengahan tahun 1971 sudah terlalu banyak, sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan manajemen.
Menurut BI dalam Sejarah Bank Indonesia, pada kurun 1971–1972 melaksanakan kebijakan Program Penertiban Bank Swasta Nasional dengan sasaran untuk mengurangi jumlah bank swasta nasional dan memperkuat bank yang ingin tetap melanjutkan kegiatannya.
Penertiban tersebut terfokus pada dua pokok usaha yaitu penghentian pemberian izin baru dan penyederhanaan jumlah bank melalui merger dengan reward dan enforcement. Langkah tersebut berhasil mengurangi jumlah bank secara signifikan, dari 129 bank pada akhir tahun 1971 menjadi 77 bank pada tahun 1980.
Namun, Bank Indonesia mencatat Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Membuat bank cukup bermodal Rp10 miliar, dan Rp50 juta untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Sungguh ‘luar biasa’ kebijakan itu. Memang kebijakan ini adalah kebijakan paling liberal sepanjang perbankan,” tulis Darmin Nasution dalam Bank Sentral Itu Harus Membumi (2013).
Darmin mencatat, kemudahan itu membuat jumlah bank bertambah dengan drastis. Dalam kurun waktu empat tahun jumlah bank melonjak hampir dua kali lipat dari 111 bank pada 1988 menjadi 208 bank. Menjelang krisis pada 1996, jumlah bank sudah mencapai 239 bank. Jumlah bank tetap bertambah meski pemerintah sudah menaikkan modal minimum pendirian bank menjadi Rp50 miliar dengan PP No.70 Tahun 1972.
Namun, kemudahan mendirikan bank itu kemudian banyak disalahgunakan oleh sejumlah pihak yang memanfaatkan celah-celah aturan. Praktik yang kemudian merontokkan perekonomian adalah penyaluran kredit ke grup usaha sendiri. Hal ini terjadi karena umumnya manajemen bank dikuasai oleh kerabat para pemegang saham.
“Kalau saja Pakto 88 mengatur pendirian bank yang prudent dan memfasilitasi peningkatan kapasitas pengawasan bank, saya percaya permasalahan bank yang ada akan lebih terkendali,” tulis Darmin.
Bank Indonesia dalam catatannya tentang sejarah perbankan Indonesia pun mengakui dampak negatif Pakto 88 ini. “Setelah berjalan lama, Pakto 88 mulai menampakkan dampak negatifnya. Kebebasan perbankan terutama dalam bank devisa, yang menghambat terciptanya sistem perbankan yang sehat,” tulis BI.
Praktik-praktik perbankan yang tidak sehat membuat sistem perbankan menjadi rapuh. Ketika krisis nilai tukar terjadi, perbankan ikut runtuh.
Krisis 1997/1998 memang merupakan gabungan antara krisis nilai tukar dan krisis perbankan. Terjadi penurunan nilai tukar yang sangat tajam sehingga menambah beban utang luar negeri yang didominasi oleh perusahaan swasta. Sementara krisis perbankan ditandai dengan tata kelola yang buruk sehingga menyebabkan bank runs, bank closures, merger, takeovers, dan bail out oleh pemerintah dalam jumlah besar untuk bank atau sekelompok bank tertentu. Krisis 1997-1998 memiliki ciri-ciri twin crisis tersebut. Demikian ditulis Tim Bank Indonesia dalam IMF & Stabilitas Keuangan Internasional (2007).
Krisis pada 1997 kemudian memicu rush perbankan besar-besaran. Banyak bank akhirnya mengalami kesulitan likuiditas yang parah. Apalagi kemudian terjadi kelangkaan likuiditas secara nasional, diikuti dengan melambungnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga 300% per tahun.
Pemerintah akhirnya mengambil keputusan dengan melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pada 26 Januari 1998, pemerintah memutuskan untuk menjamin kewajiban bank. Namun, saat itu pemerintah belum memiliki dana. BI akhirnya menyediakan dana talangan. Semua pengeluaran itu selanjutnya ditagih oleh BI kepada pemerintah. Itulah yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Berdasarkan persetujuan antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan pada 6 Februari 1999, nilai BLBI yang disepakati sebesar Rp144,5 triliun. Atas pemberian BLBI tersebut, pemerintah menerbitkan tiga surat utang. BLBI itu disalurkan kepada 48 bank dengan rincian: 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi.
Penyaluran BLBI itu sendiri ternyata juga memunculkan masalah. Seperti dilansir dari Tempo, Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 menemukan, BLBI merugikan negara sebesar Rp138,442 triliun.
Editor: Windu Jusuf