Menuju konten utama

PDIP & Gerindra Belum Sepakati RUU Penyelenggaraan Pemilu

PDIP melontarkan wacana untuk menaikkan ambang batas parlemen hingga 5-6 persen, sementara Gerindra ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka.

PDIP & Gerindra Belum Sepakati RUU Penyelenggaraan Pemilu
Presiden Joko Widodo (kanan) memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (13/9). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

tirto.id - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu diwarnai oleh berbagai wacana baru dari partai-partai besar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melontarkan rencana untuk menaikkan ambang batas parlemen (“parliamentary threshold”), sedangkan Gerindra meminta pemerintah untuk mempertahankan sistem suara terbanyak atau proporsional terbuka.

Wacana menaikkan ambang batas parlemen dikemukakan oleh Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira.

"Ambang batas parlemen itu prinsipnya semaksimal mungkin mengurangi jumlah fraksi, ideal fraksi di DPR," kata Andreas di Jakarta, Rabu, (26/10/2016).

Andreas menyatakan, PDIP sebenarnya menghargai dan melihat realitas pluralitas politik di Indonesia, namun proses pengambilan keputusan haruslah efektif.

Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas tersebut, menurutnya, adalah lewat pemangkasan jumlah fraksi di DPR.

"Justru menurut saya idealnya (ambang batas parlemen) adalah 5-6 persen," ujarnya.

Andreas juga sepakat atas Partai Nasdem mengusulkan kenaikan parlementary threshold sebesar 100 persen, yaitu dari 3,5 persen menjadi 7 persen.

Dalam kesempatan berbeda, partai Gerindra mengimbau pemerintah untuk tetap mempertahankan sistem proporsional terbuka, agar sesuai dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi.

"Gerindra berharap adanya konsistensi antara konsep pemerintah dengan keputusan MK," kata Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR, Ahmad Muzani, di Jakarta, Rabu, (26/10/2016).

Muzani menilai, apabila pemilu dilakukan dengan konsep tertutup maka bertentangan dengan Keputusan MK. Ia mengingatkan pemerintah bahwa dalam UU Pemilu tahun 2009, konsep awalnya berdasarkan nomor urut, lalu diajukan ke MK yang kemudian diputuskan berdasarkan suara terbanyak sehingga 2009 dan 2014 dilakukan konsep berdasarkan suara terbanyak.

"Artinya, jika dilakukan secara tertutup bertentangan dengan keputusan MK yang final dan mengikat," tandasnya.

Sebelumnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008 mengamanatkan pelaksanaan pemilu sejak 2009 dengan menggunakan sistem proporsional terbuka dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra itu menjelaskan, sistem pemilu yang diajukan pemerintah merupakan salah satu yang menjadi poin krusial pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Selain itu menurut dia, terkait ambang batas parlemen, jumlah kursi yang diperoleh parpol, dan pembahasan terkait daerah pemilihan (Dapil) yang juga menjadi sorotan Gerindra.

"Kami akan mengkaji dahulu draft yang diajukan pemerintah, baru kami bersikap," katanya.

Dia mengatakan belum mendapatkan draft RUU Penyelenggaraan Pemilu tersebut sehingga Gerindra belum dapat mempelajari dan mengkaji persoalan itu lebih dalam.

Sementara itu, terkait sistem proporsional terbuka terbatas, menurut Andreas, tidak sejalan dengan model standar dunia.

Andreas mengatakan sistem Pemilu itu ada dua yaitu proporsional tertutup atau proporsional terbuka, sementara itu ada sistem seperti di Jerman.

"Nah kalau itu yang bisa jadi melenceng dari model standar yang ada di dunia. Terbuka terbatas tuh yang seperti apa," katanya.

Sebelumnya, pemerintah telah mengajukan draft RUU Penyelenggaraan Pemilu kepada DPR pada Jumat (21/10).

Dalam draf terbaru RUU Penyelenggaraan Pemilu kepada DPR tersebut, Pasal 138 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.

Selanjutnya, di Pasal 138 ayat (3) menjelaskan bahwa sistem proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.

Dalam perkembangannya, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada Selasa (25/10) memutuskan pembahasan RUU itu dilakukan di tingkat Panitia Khusus (Pansus) dengan tujuan agar pembahasannya komprehensif karena melibatkan komisi-komisi di DPR.

Dalam Pasal 393 ayat (1) disebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Politik
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra