tirto.id - Sebuah batu nisan terlihat menonjol di Permakaman Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat. Di atasnya terdapat patung perunggu anak laki-laki yang tengah berdiri di atas kursi roda.
Wajahnya menengadah, lengan kirinya menggapai ke atas--gerakan yang tidak mampu dilakukan saat ia masih hidup. Sedangkan lengan kanannya terlipat dengan tangan tergantung sebagaimana kesehariannya.
Foto makam ini sempat viral di jejaring sosial pada 2011. Beberapa boneka dan aneka mainan banyak ditinggalkan pengunjung di batu nisan tersebut. Karya seni ini berdiri di atas blok persegi dengan epitaf cukup singkat: "Matthew Stanford Robison: 23 September 1988-29 Februari 1999".
Dirancang oleh ayahnya, Ernest Robison, kuburan ini melambangkan pelariannya dari keterbatasan fisik.
Matthew Stanford Robison yang hidup dengan keterbatasan, menentang vonis dokter yang menyebutnya punya harapan hidup hanya beberapa jam. Ia menjalani hidup selama 10 tahun, dikelilingi oleh cinta keluarga serta orang-orang di sekitarnya.
Lahir dengan Segala Keterbatasan
Matthew lahir pada 23 September 1988 di Salt Lake City, Utah. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Sarah. Keluarganya dikenal sebagai warga yang sangat religius.
Ia lahir dengan kondisi yang sangat sulit, didiagnosa cerebral palsy yang menyebabkan lahir dalam keadaan buta dan sebagian organnya lumpuh dari leher ke bawah karena kekurangan oksigen. Ia hanya mampu mengucapkan beberapa kata.
Cerebral palsy juga berpengaruh pada gangguan neurologis yang memengaruhi kontrol gerakan dan koordinasi tubuhnya. Kondisi ini disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang mengatur gerakan dan postur.
Umumnya, cerebral palsy terjadi sebelum atau selama kelahiran, meskipun beberapa kasus muncul pada awal masa kanak-kanak.
Kondisi ini dapat menghasilkan berbagai tingkat kelumpuhan motorik, mulai dari gangguan ringan hingga parah. Gejala cerebral palsy termasuk kesulitan dalam berjalan, gerakan tidak terkendali atau kaku, masalah postur, serta kesulitan berbicara dan menelan makanan dalam kasus-kasus tertentu.
Cerebral palsy bisa terjadi karena berbagai penyebab, termasuk faktor genetik, infeksi selama kehamilan, komplikasi kelahiran, atau kerusakan otak yang terjadi selama awal kehidupan anak.
Dalam kasus Matthew, diperkirakan terjadi karena persalinan yang lama dan sulit yang dialami ibunya, Anneke Robison. Ia lahir dengan berat badan yang rendah dan membutuhkan bantuan ventilator untuk bernapas.
Meski demikian, Matthew belajar berkomunikasi dengan menggunakan papan abjad braille. Ia juga belajar menggunakan kursi roda dengan mandiri dan aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk olahraga, musik, dan seni di sekolahnya.
Dalam keadaan apapun, Mathew selalu berusaha tersenyum dan tertawa, serta berusaha untuk menjalani hidup dengan penuh semangat. Ia dicintai oleh keluarga dan teman-temannya.
Kehadirannya membuka hati dan mata siapa saja, meninggalkan dampak yang tak terhapuskan bagi semua orang yang mengenalnya. Ia memberikan inspirasi dan menggugah kekaguman banyak orang.
Matthew meninggal dunia pada 21 Februari 1999. Sosoknya diabadikan dalam sebuah monumen satu tahun kemudian. Memorial Matthew yang sedang melompat keluar dari kursi rodanya melambangkan kebebasan dari dunia fana.
Patung memorial itu seperti ingin menunjukkan kepada dunia bahwa tidak ada yang mustahil, bahkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan.
Ketika Matthew meninggal dunia, ayahnya memutuskan untuk membuat batu nisan yang unik yang dibantu sepupunya sebagai pemahat patung.
"Alih-alih kesedihan, patung itu membuat makam putra kami Matthew menjadi tempat kebahagiaan," kata Ernest Robison seperti dikutip situs lokal, Enjoy Utah.
Permakaman Bersejarah dan Yayasan Amal
Permakaman Salt Lake City merupakan salah satu permakaman terbesar di Utah, Amerika Serikat. Luasnya sekitar 120 hektare dan berisi sekitar 130.000 kuburan.
George Wallace menjadi sexton (pengelola permakaman) yang pertama. Ia kemudian menatanya dalam bentuk pelat, yaitu bidang tanah yang dikembangkan pada waktu tertentu.
Pada tahun-tahun awal, infrastruktur seperti irigasi, tembok penahan, dan jalan dibangun di lahan tersebut, termasuk rumah sexton dan sebuah gerbang masuk yang masih berdiri hingga hari ini.
Orang pertama yang dimakamkan di perkuburan ini adalah Mary Wallace, putri George Wallace, pada 27 September 1848.
Di area terdapat beberapa pohon yang membentuk hutan kota. Hutan ini dimulai lebih dari 170 tahun yang lalu oleh para sexton yang berusaha meneruskan penatalayanan dengan menanam pohon-pohon baru agar yang datang dapat menikmati keindahannya.
Permakaman Salt Lake City menjadi tempat peristirahatan terakhir para tokoh, menarik dan terkenal, seperti Lester F. Wire, penemu lampu lalu lintas.
Ada pula makam Jane Manning James, wanita pionir Mormon kulit hitam pertama. Juga peristirahatan terakhir Lily E. Gray yang nisannya tertulis secara misterius, "the victim of the beast 666".
Makam Matthew Stanford Robison berada di sebelah barat area permakaman, kini telah menjadi inspirasi banyak orang untuk berkunjung dan mendengar kisah tentangnya. Banyak komunitas sejarah lokal mengadakan tur wisata ke nisannya. Sebagian besar bahkan terdiri dari anak-anak sebayanya.
"Terutama anak-anak, karena mereka melihat anak kecil ini, agak melayang keluar dari kursi rodanya, dan dia terlihat bahagia," ujar Keith Van Otten, salah satu sexton yang kini merawat area permakaman tersebut seperti dikutip dari NPR.
Meski sebagian besar permakaman di AS memiliki peraturan yang membatasi ukuran dan desain batu nisan, tetapi patung di nisan Matthew dianggap sebagai pengecualian yang langka karena inspirasi dan pengaruhnya yang luar biasa.
Terinspirasi oleh kondisi anaknya, Ernest dan Anneke mendirikan sebuah badan amal bernama Ability Found pada 1993 untuk menyediakan peralatan bantu bagi penyandang disabilitas.
Mereka menyediakan kursi roda dan peralatan mobilitas gratis atau dijual dengan potongan harga kepada yang membutuhkan, menyebarkan harapan, dan mengatasi kekhawatiran dunia akan keterbatasan fisik.
Mereka juga mengumpulkan dana melalui sumbangan dan menjual versi miniatur patung Mathew seperti di nisannya. Kemudian sering memperhatikan bahwa banyak penyandang disabilitas kesulitan untuk membeli peralatan bantu yang diperlukan.
Mereka melakukannya sebagai bentuk rasa syukur akan pengaruh kisah anaknya kepada khalayak dan menganggap apa yang mereka kerjakan sebagai bentuk pelayanan yang terbaik di dunia.
Patung di nisan Matthew melambangkan harapan dan penyembuhan bagi mereka yang menghadapi tantangan serupa.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi