tirto.id - Pemerintah bakal memasukkan variabel kebutuhan hidup layak (KHL) dalam formulasi penghitungan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa hal itu merupakan upaya pemerintah dalam menghormati dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review (JR) atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja.
“Kemudian, terkait dengan keputusan MK, tentu pemerintah akan melihat keputusan tersebut dan akan menghormati keputusan dan melaksanakan keputusan tersebut dengan penetapan UMP yang memperhitungkan kebutuhan hidup layak,” beber Airlangga dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Selasa (5/11/2024).
Bahkan, menurut Airlangga, variabel KHL telah diformulasikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dengan variabel-variabel lainnya, seperti variable inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu (alpha) dengan rentang nilai 0,10-0,30.
Dengan telah dirilisnya data inflasi dan juga pertumbuhan ekonomi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dia berharap Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Yassierli, dapat segera menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) tentang formulasi penghitungan UMP 2025.
“Nah, ini sudah diformalisasikan dan diharapkan dalam 1-2 hari ini Kementerian Ketenagakerjaan dapat mengeluarkan Permenaker tentang hal tersebut,” ujar Airlangga.
Sebelumnya, Putusan MK telah mengamanatkan untuk mengembalikan komponen KHL dalam struktur penghitungan UMP. Variabel KHL sempat dilenyapkan oleh UU Cipta Kerja.
Dengan ini, MK meminta agar pasal soal pengupahan mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja atau buruh dan keluarganya, yang di dalamnya termasuk juga kebutuhan terhadap makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Menaker, Yassierli, yang juga merangkap sebagai Ketua Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional mengatakan berkomitmen menghormati dan mematuhi Putusan MK soal UU Cipta Kerja. Tidak hanya dirinya, penghormatan dan kepatuhan terhadap putusan MK juga harus dilaksanakan oleh semua anggota LKS Tripartit Nasional yang terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh.
"Saya kira Putusan MK ini adalah sesuatu yang harus kita hormati dan kita patuhi bersama-sama. Selanjutnya, kami akan mencari solusi yang terbaik untuk bangsa," kata Yassierli dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (5/11/2024).
Salah satu hal paling krusial untuk segera ditindaklanjuti adalah penetapan UMP 2025. Ia harus ditetapkan sebelum 21 November 2024. Sementara itu, penetapan upah minimum kabupaten/kota harus dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2024.
“Beberapa poin masukan dari serikat pekerja/serikat buruh terkait penetapan UM 2025 yaitu memberikan keleluasan kepada gubernur dan Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) untuk berkolaborasi terkait penetapan UM Provinsi, UM Kabupaten/Kota, dan UM Sektoral dengan berbasis kebutuhan hidup layak (KHL),” kata Yassierli.
Dengan ini, penetapan UMP 2025 dipastikan tidak akan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Selain itu, formulasinya akan turut serta memasukkan survei KHL dari unsur Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (Depekab/Depekot).
“Dengan memperpanjang waktu penetapan upah minimum sampai dengan tanggal 10 Desember 2024,” sambungnya.
Sementara itu, unsur pengusaha mengusulkan beberapa hal, di antaranya tetap memberlakukan PP 51/2023 sebagai kepastian penetapan UMP 2025 dan menghindarkan pembahasan UMP ini dari politisasi penetapan upah minimum. Lalu, KHL yang digunakan adalah KHL yang didasarkan pada data BPS.
“Serta upah minimum sektoral tidak ditetapkan terlebih dahulu untuk sektor padat karya,” tukas Yassierli.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi