Menuju konten utama

Path Tutup, Bagaimana Nasib Data Penggunanya?

Path akhirnya resmi ditutup mulai 18 Oktober 2018 setelah kabar beredar beberapa hari lalu.

Path Tutup, Bagaimana Nasib Data Penggunanya?
Aplikasi Path mengucapkan GOODBYE!. FOTO/Path.com

tirto.id - Setelah sempat beredar kabar simpang siur, media sosial Path akhirnya dipastikan resmi tutup. Pada laman resminya, pada 17 September 2018, pihak Path mengatakan penutupan dilakukan “dengan penuh penyesalan.”

Bermula pada 2010, media sosial yang digawangi tim kecil berisikan desainer dan programer yang dipimpin Shawn Fanning dan Dave Morin tersebut akan benar-benar mengakhiri hidupnya tepat pada 15 November 2018. Namun, sebelum itu, para pengguna Path masih diperkenankan mengakses sistem Path hingga 18 Oktober 2018.

Si “mini Facebook” alias media sosial yang membatasi jumlah pertemanan di lingkaran penggunanya, lantas meminta penggunanya mengunduh data-data yang mereka unggah di Path. Path menyediakan dua jalur pengunduhan, via situsweb path.com/settings/backup, atau mengunduh melalui aplikasi smartphone Path. Dengan catatan, pengguna telah menggunakan versi paling akhir aplikasi.

Data-data pengguna seperti teks, gambar, video, dan unggahan lain dapat dibawa pulang pengguna sebelum mereka benar-benar mematikan layanan. Ini karena kemungkinan, saat layanan resmi ditutup, data para pengguna akan dihilangkan secara permanen.

Path tak sendirian. Sudah cukup banyak layanan media sosial yang mati. Misalnya Picasa, Orkut, hingga Friendster. Layanan-layanan internet yang mati, sebelum kematian datang, sangat umum meminta penggunanya mengambil data-data mereka.

Pengguna Orkut, media sosial pertama yang diusahakan Google telah ditutup pada 30 September 2014. Pengguna bisa mengunduh data-data mereka yang telah diunggah melalui laman yang disediakan. Bagi unggahan berlabel “diskusi publik,” pengguna masih bisa membacanya melalui laman Archive yang dibuat Google.

Friendster, media sosial yang sempat populer pada masa lalu, akhirnya disuntik mati pada 31 Mei 2011. Sebelum kematiannya terjadi, pengguna pun bisa mengunduh data mereka melalui laman yang disediakan. Friendster menyediakan alat bernama “Download your Profile” yang berguna memudahkan pengguna Friendster mengunduh teks, foto, dan video yang dibungkus dalam format zip.

General Data Protection Regulation (Regulation EU 2016/679) yang diberlakukan di Eropa mengatur bahwa pengguna media sosial dapat mengunduh data pada layanan internet yang hendak mati sesuai dengan aturan. Paling tidak, ada dua sub-aturan yang memerintahkan penyedia layanan memberi kesempatan ini, yakni “right to access” dan “data portability.”

Pada “right to be access” data yang diunggah pada suatu layanan internet, secara esensial, tetaplah data milik pengguna, milik individu. Pengguna harus memiliki hak untuk mengakses, bahkan ketika layanan hendak mati. Pada “data portability” merupakan perintah otoritas untuk membuat data-data yang pengguna unggah ke suatu layanan, bisa “dibawa pulang” kembali dengan mudah. Bahkan, bisa ditransfer ke penyedia layanan lain.

Data yang Menggunung

Pada 1995, di awal-awal kemunculan WWW, dunia internet hanya diisi oleh 16 juta orang dari seluruh dunia. Kini situasinya berbeda. Ada lebih dari 4 miliar pengguna internet di dunia. Pada kelahiran Web 2.0, yang memungkinkan pengguna berinteraksi, membuat internet kini sesak dengan data pengguna.

Google, salah satu perusahaan penguasa internet, memiliki fitur bernama Takeout, yang diluncurkan pada 2008 lalu. Melalui Takeout, pengguna Google bisa mengambil data dari seluruh layanan yang ditawarkan Google, seperti Gmail, Google Maps, dan YouTube. Saya mencoba fitur tersebut, dan bisa memperoleh file data sebesar 850 megabyte atas segala aktivitas di layanan-layanan Google.

Jumlah pengguna layanan-layanan Google bervariasi. Namun, beberapa di antaranya berjumlah lebih dari 1 miliar pengguna, Gmail misalnya. Dengan asumsi setiap pengguna memiliki data sebesar 850 megabyte maka bila 1 miliar pengguna, Google menyimpan data sebesar 850 miliar megabyte atau 850 petabyte di pusat data Google.

Serupa dengan Google, Facebook pun memiliki fitur serupa Takeout. Yang memungkinkan pengguna mengunduh seluruh data yang diunggah. Jika Google memberikan data ratusan megabyte, Facebook hanya memberikan file milik saya sebanyak 15 megabyte atas segala aktivitas di Facebook. Melansir data Statista, Facebook memiliki 1,4 miliar pengguna aktif bulanan. Jika diasumsikan setiap pengguna memiliki data sebesar yang saya miliki, pusat data Facebook menyimpan data para pengguna sebesar 21 petabyte.

Guna Data dan Kekhawatiran Big Data

Data yang diunggah pengguna ke suatu layanan internet, tak sekedar bermanfaat bagi dirinya. Penyedia pun memanfaatkan, tak terkecuali Google. Melalui laman resmi mereka mengungkap bahwa data pengguna sanggup meningkatkan kemampuan layanan-layanan Google, salah satunya Maps.

“Ketika Anda menggunakan Google Maps, ponsel mengirimkan secuil data secara anonim tentang lokasi Anda ke Google. Data yang dikirim dikombinasikan dengan data milik pengguna lain di sekitar Anda, yang pada akhirnya bisa mengenali pola lalu-lintas. Secara sederhana, Maps dapat mendeteksi kendaraan yang berjalan pelan di jalan yang sama dan menandainya sebagai ‘macet’,” tulis Google.

The Economist, merilis artikel berjudul The world’s most valuable resource is no longer oil, but data, menyebutkan data sanggup menciptakan keuntungan bagi penggunanya. Istilah “big data” belakangan kian jadi perbincangan di era digital. Andrew McAfee, dalam tulisannya berjudul “Big Data: The Management Revolution,” mengatakan ada tiga hal mendasar jika merujuk big data. Ketiga hal itu ialah volume, velocity, dan variety. Di mana volume merupakan titik sentral bagi dua hal mendasar selanjutnya.

Sebagaimana namanya, big data merupakan “data yang besar.” Menurut McAfee, pada 2012 tercipta 2,5 exabyte data digital setiap hari. Kini angkanya diprediksi bertambah. Jika cepat dianalisis (velocity) dan datanya tak sekedar besar, tetapi juga beragam (variety), akan sanggup memberikan informasi yang memberikan pola tertentu, yang unik, dan bermanfaat.

Big data memang bermanfaat, tetapi sangat rawan bagi banyak pihak termasuk pengguna layanan digital. Evry, firma analisis perbankan asal Norwegia, dalam publikasi berjudul “Big Data in Banking for Marketer: How to Derive Value from Big Data,” mengungkap T-Mobile, provider telekomunikasi di Amerika Serikat, membuat 360-degree customer view menggunakan big data.

Pada 360-degree customer view memungkinkan T-Mobile menganalisis pelanggannya dengan mengukur waktu telepon yang dilakukan, penggunaan data internet, kapan waktu favorit melakukan aktivitas untuk komunikasi, hingga menghitung jumlah pesan yang dikirim.

Jika pelanggannya lebih sering berkomunikasi dengan teman atau saudara yang menggunakan provider lain, T-Mobile berkesimpulan bahwa pelanggannya tersebut sangat mungkin pindah. Hasil analisis ini digunakan mereka untuk strategi pemasaran yang tepat. Menurut publikasi tersebut, churn rate—tingkat persentase jumlah pelanggan yang tak lagi memakai nomor ponsel yang sudah dibeli—T-Mobile turun hingga 50 persen.

Teknik 360-degree customer view berbasis big data milik T-Mobile itu sanggup mengenali dengan baik siapa pelanggannya. Bagaimana jika 360-degree customer view digunakan untuk kepentingan lain? Politik misalnya. Manusia pada akhirnya tak akan memiliki privasi lagi. Para pengguna media sosial tentu harus sadar ihwal ini, termasuk segera mengamankan data mereka di media sosial yang sudah tutup.

Baca juga artikel terkait PATH atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra